Minggu, 26 Februari 2012

SUDAHKAH ANDA KUFUR TERHADAP THOGHUT?

Oleh: Abu Sulaiman

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, para sahabat dan para pengikutnya sampai akhir kiamat.

Amma ba’du:

Suatu hal yang mengenaskan adalah realita di mana banyak orang-orang yang mengaku Islam dan mereka mengaku pengikut Muhammad shallallahu’alaihi wa salam, namun mereka tidak mengetahui apa hakikat Al Islam itu dan tidak mengetahui inti dakwah Rasulullah itu? Hal ini diperparah dengan realita bahwa mereka itu tidak mengetahui apa itu syirik dan apa jalan-jalan kaum musyrikin yang mereka jauhi?

Sehingga tidak heran bila di antara umat yang mengaku muslim itu banyak di antara mereka malah menjadi musuh-musuh bagi ajaran Islam ini, dan mereka loyal kepada musuh-musuh Allah Ta’ala, mereka menjunjung tinggi syirik dan ajaran syaitan serta mereka berbondong-bondong dan bersaing untuk menjadi aparat thaghut dan syaitan manusia.

Engkau akan banyak melihat orang-orang yang di waktu shalat mereka melaksanakan shalat, di musim shaum mereka shaum, bahkan di musim haji mereka menunaikan haji, namun di waktu yang bersamaan mereka menjadi abdi hukum iblis dan penegak ajaran syaitan serta loyalitas kepada undang-undang thaghut. Oleh sebab itu tidak heran bila Abul Wafa Ibnu Uqail rahimahullah berkata: “Bila engkau ingin mengetahui posisi Islam di tengah manusia zaman ini dan gemuruh mereka dengan ucapan “labbaik” (saat ibadah haji) akan tetapi perhatikanlah keselarasan mereka dengan musuh-musuh ajaran (Islam) ini!” (Aqidatul Muwahhidin)

Ketahuilah wahai orang yang mencari selamat, sesungguhnya inti pokok dakwah Rasulullah dan bahkan rasul seluruhnya adalah ibadah kepada Allah dan menjauhi semua thaghut, yang mana ini adalah kandungan makna Laa Ilaaha Illallaah dan kedua rukunnya, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul bagi setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”. (QS. An Nahl: 36)

Dia Ta’ala berfirman:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasal-pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadati) kecuali Aku”. (Al Anbiyaa’: 25)

Surat An Anbiyaa’ ayat 25 ini menjelaskan bahwa semua Rasul itu telah Allah wahyukan kepada mereka Laa Ilaaha Illallaah, sedangkan surat An Nahl ayat 36 menjelaskan bahwa semua Rasul mengajak umatnya untuk beribadahlah kepada Allah Ta’ala dan menjauhi thaghut. Ini artinya bahwa kandungan kalimat Laa Ilaaha Illaallah adalah perintah ibadah hanya kepada Allah Ta’ala dan menjauhi thaghut. Laa Ilaaha Illaallah (tidak ada Tuhan yang haq) artinya jauhilah, dan Illallaah (kecuali Allah) artinya beribadahlah kepada Allah Ta’ala.

Orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala akan tetapi dia tidak menjauhi thaghut maka dia belum mengamalkan kandungan makna Laa Ilaaha Illalaah, karena keduanya adalah rukun kalimat tauhid itu, yang bila salah satunya tidak terpenuhi maka syahadat Laa Ilaaha Illallaah yang dia ucapkan adalah tidak sah, dan bila syahadatnya tidak sah maka keislamannya tidak sah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut. Dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)

Al “Urwah al Watsqa adalah Laa Ilaaha Illallaah, di dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang tidak dikatakan telah memegang Laa Ilaaha Illallaah kecuali bila memenuhi dua hal yaitu: Kafir kepada Thaghut dan Iman kepada Allah.

Di dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mendahulukan kafir kepada thaghut terhadap iman kepada Allah Ta’ala, ini supaya menutup pengakuan orang yang mengatakan bahwa dirinya telah mengamalkan kalimat tauhid akan tetapi dia belum kafir kepada thaghut.

Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illaallah dan dia kafir kepada segala yang diibadati selain Allah maka terjagalah harta dan darahnya”. (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Malik Al Asy Ja’iy radliyallahu ’anhu)

Hadits ini mengaitkan keislaman atau keterjagaan darah dan harta seseorang terhadap pengucapan Laa Ilaaha Illallaah dan sikap kafir kepada thaghut yang diungkapkan dengan sabdanya “dan dia kafir kepada segala yang diibadati selain Allah”. Walaupun sikap kafir kepada thaghut itu sudah dikandung di dalam kalimat Laa Ilaaha Illallaah namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkannya dengan sabdanya “dan dia kafir kepada segala yang diibadati selain Allah” untuk mengukuhkan begitu pentingnya sikap kafir kepada thaghut itu.

Oleh sebab itu para ulama kaum muslimin telah ijma (sepakat) bahwa pengucapan Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat bila tidak disertai sikap kafir kepada thaghut. Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ali Al Khudlair:

Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya (yaitu berupa komitmen dengan tauhid dan meninggalkan syirik akbar serta kafir kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.” (Al Haqaaiq: 8)

Sedangkan di antara thaghut yang harus dijauhi dan kafir kepadanya adalah hukum atau Undang-undang buatan dan para tuhan jadi-jadian yang membuat hukum tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 60)

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala meniadakan iman dari orang-orang yang ingin berhukum kepada thaghut yaitu selain hukum Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala nyatakan bahwa iman mereka itu bohong dan klaim belaka. Jadi selain hukum Allah Ta’ala adalah thaghut, dan juga falsafah atau ideologi atau sistem selain apa yang Allah Ta’ala turunkan adalah ajaran thaghut yang Allah Ta’ala perintahkan kita untuk kafir kepadanya.

Adapun bentuk kafir kepadanya adalah tidak mengibadatinya, tidak mengikutinya, tidak mentaatinya, tidak menyetujuinya, tidak loyalitas kepadanya, tidak mencintainya, tidak membelanya, tidak merujuk kepadanya dan tidak memutuskan dengannya. Sedangkan sikap-sikap kebalikannya adalah sebagai sikap iman kepada thaghut dan pembatalan Laa Ilaaha Illallaah dan keislaman.

Adapun peribadatan kepada thaghut hukum adalah dengan bentuk penerimaan selain Allah Ta’ala sebagai pembuat hukum atau penyadaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah Ta’ala itu atau penerimaan komitmen dengan produk hukumnya itu. Ini berdasarkan firma Allah Ta’ala:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menetapkan beberapa vonis bagi kaum Nasrani, di antaranya:

- Mereka mempertuhankan alim ulama dan para rahib mereka.

- Mereka beribadah kepada alim ulama dan para rahib itu.

- Mereka melanggar Laa Ilaaha Illallaah.

- Mereka musyrik.

- Alim ulama dan para rahib itu memposisikan dirinya sebagai arbab (tuhan-tuhan pengatur).

Perlu diketahui bahw vonis-vonis itu mereka dapatkan bukan karena mereka shalat, sujud dan memohon kepada rahib dan alim ulama tersebut, akan tetapi karena mereka menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada para rahib dan alim ulama itu dan kemudian mereka mengikutinya. Sebagimana tafsir ayat yang ada di dalam hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dihasankan sanadnya oleh Ibnu Taimiyyah dari ‘Adiy Ibnu Hatim, saat ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ia masih Nasrani, di mendengar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut, maka dia berkata: “Kami tidak mengibadati mereka (alim ulama dan pendeta)”, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan terus kalian (ikut) menghalalkannya pula, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan terus kalian (ikut) mengharamkannya? Adiy berkata: “Ya benar,” maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Itulah peribadatan kepada mereka itu”.

Jadi peribadatan di dalam ayat tersebut adalah penyadaran kewenangan perbuatan hukum kepada alim ulama dan para pendeta, ini dikarenakan bahwa kewenangan perbuatan hukum hanyalah ada di tangan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. (QS.Al An’am: 57).

Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al A’raf: 54)

Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan hukum dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 70)

Jadi penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu adalah murni hak Allah dan merupakan ibadah yang hanya boleh disandarkan kepada Allah Ta’ala saja, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia.” (QS. Yusuf: 40)

Bila hak pembuatan hukum ini disandarkan kepada selain Allah, maka itu adalah salah satu bentuk penyekutuan Allah, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam putusan-Nya.” (QS. Al Kahfi: 26)

Dan di dalam qira’ah Ibnu ‘Amir mutawatir dibaca:

dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun di dalam hukum-Nya”

Oleh sebab itu Allah telah menamakan para pembuat hukum selain-Nya sebagai sekutu-sekutu yang diibadati di dalam firman-Nya Ta’ala:

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS.As Syuura: 21)

Sedangkan di dalam dien (ajaran) demokrasi, dien Undang-Undang Dasar 1945, dien Pancasila, dan dien-dien lainnya, yang berhak membuat hukum dan Undnag-undang itu bukanlah Allah Ta’ala, akan tetapi rakyat yang diwakilkan kepada wakil-wakil mereka di Parlemen yang merupakan tempat peribadatan kaum musyrikin. Apakah para anggota legeslatif yang menerima kewenangan pembuatan hukum atau orang yang menyetujui bahwa kewenangan pembuatan hukum itu berada di tangan para anggota legeslatif atau orang-orang yang mendukung demokrasi padahal dia mengetahui hakikat maknanya, apakah mereka itu sudah kafir kepada thaghut?

Bila saja kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada ulama dan para pendeta ahli ibadah itu merupakan pengangkatan mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan orang-orang menyetujui hukum buatan tersebut adalah divonis musyrik, bagaimana halnya dengan keadaan bila yang diberi kewenangan pembuatan hukum itu adalah orang-orang yang lebih busuk daripada alim ulama dan pendeta itu?

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata:

Bahwa setiap orang yang mengikuti aturan, Undang-undang dan hukum yang menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah lewat lisan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu musyrik kepada Allah, kafir lagi telah menjadikan apa yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan)”. (Al Hakimiyyah Fi Tafsir Ablwail Bayan)

Bersegeralah kalian wahai para anggota dewan, para pengurus semua partai yang berkecimpung di dalam demokrasi serta semua pendukung agama syirik demokrasi bersegeralah kalian berlepas diri darinya sebelum datang hari penentuan yang mana semua alasan yang kalian utarakan dan semua syubhat dan dalih yang dilontarkan ulama sesat kalian dalam rangka melegalkan atau menganggap ringan apa yang kalian lakukan semua itu tidak berguna lagi di hadapan Allah Ta’ala.

Bila sekarang kalian tidak percaya kepada apa yang saja katakan tapi, “Kelak kalian akan ingat kepada apa yang saya katakan kepada kalian.” (QS. Al Mu’min: 44)

Di antara bentuk peribatadan kepada hukum itu adalah sikap mematuhi dia dan mentaati atau menyetujui hukum buatan tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al An’am: 121)

Ayat ini menjelaskan prihal keharaman bangkai, dan bangkai ini dalam ajaran musyrik dahulu mereka namakan sebagai sembelihan Allah dan mereka menghalalkannya. Mereka melontarkan syubhat kepada kaum muslimin agar ikut menyetujui kehalalan bangkai itu, maka Allah menghati-hatikan kaum muslimin dari menuruti mereka dan Dia akan mencap mereka sebagai orang musyrik bila menuruti prihal penghalalan bangkai. Al Hakim meriwayat dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih bahwa kaum musyrikin mendebat kaum muslimin prihal hukum bangkai, mereka mengatakan: “Apa yang kalian sembelih halal sedang apa yang Allah sembelih kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian adalah lebih baik daripada sembelihan Allah”, maka Allah turunkan “Dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik.”

Bila saja orang yang menyetujui satu hukum apa yang menyelisihi hukum Allah adalah divonis musyrik, maka apa gerangan dengan orang yang menyetujui atau mematuhi banyak hukum? Dan apa gerangan dengan orang yang menyetujui penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada wakil rakyat sebagaimana di dalam agama demokrasi dan Undang-Undang Dasar?

Allah Ta’ala menvonis murtad orang yang asalnya dihukumi muslim, karena sebab dia menyatakan akan setia atau akan mematuhi atau akan mentaati dalam satu urusan kekafiran orang-orang kafir atau hukum kafir mereka, Dia Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang murtad ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 25-28)

Bila ini adalah vonis bagi orang yang mengatakan AKAN mematuhi sebagian hukum atau Undang-undang buatan (thaghut) maka bagaimana dengan orang yang mengatakan: Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945” sebagaimana dalam sumpah prajurit TNI?

Dan bagaimana dengan orang yang mengatakan:

“Demi Allah, saya bersumpah

Bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil AKAN setia dan taat SEPENUHNYA kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah. Bahwa saya AKAN mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku……….”

Sebagaimana di dalam sumpah PNS berdasarkan Perpu No. 21 Tahun 1975 Pasal 6. Dan bahasa singkat sumpah ini adalah “Demi Allah, saya bersumpah akan iman sepenuhnya kepada thaghut dan kafir kepada Allah”!!! Maka cepatlah kamu sadar wahai abdi thaghut dari kekafiran sebelum datang ajal menjemputmu!

Di antara bentuk kafir kepada thaghut hukum adalah tidak loyalitas kepadanya, yaitu tidak menjadikan para pemerintah thaghut itu sebagai pemimpin dan pelindung. Oleh sebab itu orang yang menjadikan pemerintah thaghut sebagai pemimpin atau imam atau amir atau ulil amri bagi dia dan bagi kaum muslimin padahal dia mengetahui bahwa pemerintah thaghut ini berhukum dengan hukum buatan atau berpaham demokrasi atau berideologi bukan Islam (umpamanya Pancasila) atau kekafiran nyata lainnya, maka orang itu telah menjadikan thaghut itu sebagai pelindung dan pemimpinnya, sedangkan orang yang menjadikan thaghut sebagai pelindung adalah orang-orang kafir yang tidak kafir kepada thaghut dan tidak beriman kepada Allah walaupun dia mengaku beriman kepada Allah, sebagaimana firmannya Ta’ala:

Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 257)

Oleh sebab itu tidak boleh orang muslim ikut memilih orang yang akan menegakkan selain hukum Allah, dan barangsiapa ikut memilih Presiden atau yang lainnya sedangkan dia mengetahui bahwa yang dipilihnya itu akan menegakkan selain hukum Allah maka dia itu adalah orang kafir. Dan perlu diingat bahwa pemerintah atau penguasa yang berhukum dengan hukum thaghut adalah bukan pemimpin atau ulil amri bagi kaum muslimin, karena kepemimpinan mereka itu tidak sah.

Di antara bentuk kafir kepada thaghut hukum adalah tidak membelanya dan tidak berjuang di jalannya, karena yag membela atau berjuang di jalan thaghut hanyalah orang-orang kafir, Allah Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. An Nisaa’: 76)

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala mencap orang yang berperang atau yang berkiprah dalam rangka membela, melindungi, menjaga dan mengokohkan sistem dan hukum atau ajaran thaghut sebagai orang kafir dan wali syaitan, sedangkan kamu hai Polisi, Tentara dan Badan Intelejen, apa dinas kalian dibentuk untuk mengokohkan hukum Allah Ta’ala atau hukum buatan (hukum thaghut)? Apakah kalian ini kesatuan Pembela Negara yang berhukum dengan hukum Allah atau justru Negara yang berhukum dengan hukum thaghut? Jawabannya ada nampak pada berhala UUD kalian sendiri.

Di Bab 12 Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 yang sudah diamandemen dinyatakan bahwa: “TNI terdiri dari AD, AL, dan AU sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.”

Dan di ayat 4 dinyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.”

Negara apa yang kamu lindungi, apa negara yang menerapkan hukum Allah Ta’ala atau negara thaghut? Hukum apa yang kamu tegakkan, apa hukum Allah atau hukum thaghut? Kenapa kalian membela hukum thaghut, padahal kalian ini ciptaan Allah dan akan kembali kepada Allah? Apa kalian tidak sadar bahwa hukum thaghut ini akan menjerumuskan ke dalam jurang neraka jahannam?

Bila saja orang yang sedikit cenderung kepada orang-orang zalim telah diancam Allah Ta’ala dengan sentuhan api neraka, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.(QS. Huud: 113)

Sedangkan orang-orang zalim yang paling dasyat adalah kaum musyrikin yaitu para thaghut kalian diantaranya:

Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar“. (QS. Lukman: 13)

Kalian ini bukan sekedar cenderung namun menjadi benteng dan kekuatan serta aparat thaghut yang dengannya si thaghut melindungi diri dan memaksakan sistem dan hukum kafirnya, sehingga bila tidak taubat maka nasib kalian dan para thaghut kalian adalah seperti yang Allah firmankan:

Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, Dan bala tentara Iblis semuanya.” (QS. Asy Syu’araa’: 94: 95)

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. Andaikata berhala-berhala itu Tuhan, tentulah mereka tidak masuk neraka. dan semuanya akan kekal di dalamnya. Mereka merintih di dalam api dan mereka di dalamnya tidak bisa mendengar.” (QS. An Anbiyaa’: 98-100)

Di antara bentuk kafir kepada thaghut adalah tidak berhukum atau merujuk hukum kepadanya. Allah Ta’ala meniadakan iman dari orang yang berpaling dari hukum Allah Ta’ala dan malah merujuk kepada selain hukum Allah (yaitu thaghut). Allah Ta’ala Berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An Nisaa’: 60)

Kalian wahai para penguasa hukum thaghut, para pejabat, para anggota dewan, para hakim dan para jaksa, kepada apa kalian merujuk saat menjalankan dinas syirik kalian? Apa kepada hukum Allah Ta’ala ataukah kepada hukum yang modern (UUD dan Undang-undang lainnya)?

Al Iman Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang status kalian ini:

Barangsiapa meninggalkan hukum yang baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para Nabi, dan dia malah berhakim kepada syariat-syariat (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang berhakim kepada Alyasa serta dia mengedepankannya terhadap hukum (Allah), maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. (Al Badiyah Wan Nihayah: 13/119)

Alyasa adalah yasiq yaitu kitab hukum yang disusun oleh Jenggis Khan, di mana merangkumnya dari ajaran Islam, Nasrani, Yahudi, dan buah pikirannya sendiri, persis seperti hukum yang diibadati kalian sekarang….

Di antara sikap iman kepada thaghut dan kafir kepada Allah Ta’ala adalah memutuskan dengan hukum selain hukum Allah, seperti yang biasa dan merupakan pekerjaan hukum, jaksa dan wali-wali syaitan lainnya. Allah Ta’ala menvonis mereka dengan firman-Nya:

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(QS. Al Maidah: 47)

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata di dalam Risalah Fi Ma’na Ath Thaghut saat menuturkan tokoh thaghut:

Yang ketiga: Orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah Ta’ala turunkan, sedangkan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al Maidah: 44)

Jadi peribadatan atau penyembahan atau pemujaan kepada hukum thaghut itu bukan dengan shalat, sujud, dan ruku’ kepada-nya, akan tetapi ketaatan, kepatuhan, loyalitas, perujukan, dan pemutusan dengannya.

Apakah kalian wahai penguasa negeri, semua anggota dewan, semua pejabat, semua jaksa, semua hakim, semua panitra, barisan tentara, barisan polisi, barisan intelejen, dan para sipir penjara, apakah kalian berada di barisan penegak hukum Allah Ta’ala atau di barisan penegak hukum thaghut yang merupakan golongan syaitan?

Mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al Mujadilah: 20-21)

Silahkan cari berbagai alasan, pelegalan dan ulama-ulama suu yang mengiyakan apa yang kalian lakukan atau yang mengakui keislaman kalian tapi ingat!

“Siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?” (QS. An Nisaa: 109)

Bila kalian tidak percaya terhadap apa yang saya katakan maka itu urusan kalian, namun:

Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. dan Aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Mu’min: 44)

Salam sejahtera kepada orang yang mengikuti petunjuk.

Abu Sulaiman di LP. Sukamiskin Bandung UB 30

Selasa Siang 16 Rajab 1428 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar