Sabtu, 31 Maret 2012

Siapakah Ahli Kiblat Itu

AZ ZANAD FI SYARHI LUM’ATIL I’TIQAD

penulis:

Fadlilatusy Syaikh Ali Bin Khudlair Al Khudlair

Alih Bahasa

Abu Sulaiman Aman Abdurrahman



قال ابن قدامة رحمه الله في لمعة الاعتقاد :

ولا نجزم لأحد من أهل القبلة بجنة ولا نار إلا من جزم له الرسول صلى الله عليه وسلم لكنا نرجو للمحسن ونخاف على المسيء .ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بعمل.

Ibnu Qudamah Al Maqdisiy rahimahullah berkata :

Dan kami tidak memastikan bagi seseorang dari ahli kiblat dengan surga, kecuali bagi orang yang telah di pastikan baginya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi kami mengaharapkannya untuk orang yang berbuat baik dan kami khawatir atas orang yang berbuat jelek. Dan kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat dengan (perbuatan) dosa dan kami tidak mengeluarkannya dari Islam dengan amal (kemaksiatan).

الــشـرح

بعد أن انتهى المصنف من الشهادة لأهل الفضل والثناء أنهم من أهل الجنة ، انتقل فقال: هل يشهد لأحد غيرهم بجنة أو نار ؟

الجواب : أن غير السابقين مما ذكر ، كالمسلم العادي الذي لم ينتشر فضله ، فهذا لا يشهد له بالجنة ، لكن يُرجى له الجنة ، وكذا لا يُشهد لأحد منهم بنار، وإنما يخاف على المسيء من النار ، فجعل الأمر دائر بين الرجاء للمحسن والخوف على المسيء

Setelah mushannif memberikan persaksian bagi para ahli fadhl (keutamaan) dan orang-orang yang mendapatkan pujian bahwasannya mereka termasuk dari ahli surga, kemudian ia berkata: “Apakah seseorang selain mereka dipersaksiakan dengan surga atau neraka?”

Jawabnya adalah: Bahwa selain dari para saabiqiin dari apa yang telah disebutkan, seperti seorang muslim yang biasa-biasa yang belum tersebar keutamaannya, maka ia tidak dipersaksiakan baginya surga akan tetapi diharapkan untuknya surga, dan begitu juga tidak dipersaksikan bagi seseorang dari mereka dengan neraka, akan tetapi ditakutkan atas orang yang berbuat buruk akan (terjerumus) ke neraka. Maka permasalahannya adalah berkisar antara pengharapan (akan surga) bagi orang yang berbuat baik dan dikahawatirkan atas orang yang berbuat jelek (akan neraka).

وقول المصنف ( ولا نجزم ) نفى الجزم ، وقوله ( نجزم ) ولم يقل لا أجزم بالإفراد لأنه أراد باللفظ أهل السنة ، وقوله ( من أهل القبلة ) يُقصد بأهل القبلة هو من أتى بالتوحيد ( شهادة أن لا إله إلا اللَّه ) ولم يأتِ بناقض ، هذا تعريف أهل القبلة شرعاً ، ويشترط شرطان :

أ – أن يأتي بالشهادتين ، وهذا شرط إيجابي .

ب – أن لا يأتي بناقض من نواقض الإسلام وهذا شرط سلبي .

فإذا لم يأت بالتوحيد فليس من أهل القبلة ، وإن أتى بالتوحيد وأتى بناقض فليس من أهل القبلة ، أما الذين ليسوا من أهل القبلة كالجهمية ، فهؤلاء عندهم ناقض وهو إنكارهم للأسماء والصفات ، وغيره من المكفرات التي عندهم .

Dan perkataan mushannif (Dan kami tidak memastikan) adalah penafian akan pemastian. Beliau mengatakan (Kami tidak memastikan) dan beliau tidak mengatakan (saya tidak memastikan) dengan lafadh mufrad, karena beliau memaksudkan dengan ungkapannya itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah. Dan perkataannya (dari ahlu kiblat) beliau maksudkan dengan ahlu kiblat itu adalah orang yang bertauhid (kesaksian laa ilaaha illaah) dan tidak melakukan satupun dari pembatal keislaman, inilah definisi Ahlul kiblah secara syar’i. Jadi disyaratakan dua syarat untuk dikatakan seorang itu termasuk Ahlul kiblah :

Dia mendatangkan dua kalimah syahadat (bertauhid), ini adalah syarat ijabiy (positif).
Dan dia tidak melakukan satupun dari pembatal keislaman, ini adalah syarat salbiy (negatif).

Sehingga apabila ia tidak bertauhid maka ia bukan termasuk dari Ahli Kiblah, dan apabila ia bertauhid namun ia melakukan pembatal keislaman maka ia tidak termasuk dari Ahli Kiblah juga.

أما الذين ليسوا من أهل القبلة كالجهمية ، فهؤلاء عندهم ناقض وهو إنكارهم للأسماء والصفات ، وغيره من المكفرات التي عندهم .

ومثل الرافضة اليوم فهم ليسوا من أهل القبلة لوجود نواقض فيهم، وكالعلمانيين والحكام المرتدين في وقتنا ممن يدعي الإسلام فهم ليسوا من أهل القبلة لوجود ناقض ، ويشمل الحداثين والقوميين والبعثيين والديمقراطيين والاشتراكيين وغيرهم من الطوائف الأخرى الذين ليسوا من أهل القبلة ، وفائدة ذلك أن من مات من هؤلاء الطوائف على ذلك لا يدخل في هذه المسألة ، ولا يقال لا نشهد له بالنار ، ويدل على ذلك أن من مات من المرتدين يشهد له بالنار .

ويدل لذلك حديث بني المنتفق وهو حديث صحيح ، فأتوا النَّبِيّ عليه السلام وسألوه في حديث طويل عمن مات من أهل الفترة فقال النَّبِيّ عليه السلام : ” لعمر اللَّه ما أتيت عليه من قبر عامري أو قرشي من مشرك فقل : أرسلني إليك محمد فأبشرك بما يسوءك تجر على وجهك وبطنك في النار “([1]) ، قال ابن القيم في (الهدى) من فوائد الحديث أنه يُشهد على من مات على الشرك بالنار .

2 – قصة المرتدين ، فإنهم لما تابوا وطلبوا الصلح من أبي بكر شرط عليهم شرط ، وقال حتى تشهدوا أن قتلانا في الجنة وقتلاكم في النار ” ([2])، والشاهد قوله: ” وقتلاكم في النار ” ، فدل على أنه يجوز الشهادة على المرتد إذا مات على الردة بالنار.

ثم تطرق المصنف إلى مسألة التكفير وهل يكفّر أحد من أهل القبلة أم لا يكفر.

Adapun orang-orang yang bukan termasuk dari kalangan Ahlul kiblah, di antaranya adalah :

Jahmiyyah, pada mereka ini ada pembatal keislaman yakni pengingkaran mereka akan Asma` dan Shifat Allah, serta pembatal-pembatal keislaman yang lainnya yang ada pada mereka.

Seperti Rafidlah pada masa sekarang, mereka itu bukan tergolong Ahlul Kiblah, karena pada mereka terdapat banyak pembatal keislaman.

Dan seperti orang-orang sekuler, para penguasa yang murtad pada masa sekarang ini yang mengaku dirinya sebagai orang Islam, mereka itu bukan termasuk Ahlul Kiblah, karena adanya pembatal keislaman pada diri mereka.

Termasuk juga Al Hadatsin.
Orang-orang Nasionalis.
Orang-orang pengikut Partai Bath (Sosialis Arab).
Orang-orang Demokrat/orang-orang yang berhaluan Demokrasi.
Orang-orang Sosialis.
Dan Aliran-aliran/paham-paham lain yang bukan termasuk Ahlul Kiblah.

Faidah dari penyebutan ini adalah bahwa orang yang mati dari kalangan-kalangan tersebut di atas pahamnya itu tidak termasuk dalam masalah ini, tidak boleh dikatakan: Bahwa kita tidak boleh memastikan dia itu masuk neraka,” dan ini dibuktikan bahwa orang yang mati dari kalangan para murtaddin (pada zaman sahabat) dikatakan dia calon penghuni neraka. Dan dalilnya adalah:

1. Hadits Bani Al Muntafiq, yaitu hadits shahih, “Mereka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau dalam hadits yang panjang sekali tentang orang yang meninggal dunia dari kalangan Ahlul Fatrah (orang-orang yang berada di antara tenggang adanya Rasul), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Demi Allah, bila engkau melewati kuburan orang musyrik, baik orang Bani Amir atau orang Quraisy, maka katakanlah: “Muhammad mengutus saya kepada kamu untuk memberi kabarmu dengan berita yang menyedihkanmu, kamu digusur di neraka dengan wajah dan perutmu di bawah,”[3] Ibnu Al Qayyim dalam Al Hadyu (Zadul Ma’ad) menyebutkan di antara faidah hadits ini: Bahwa boleh menyatakan calon penghuni neraka terhadap orang yang mati di atas kemusyrikan.

2. Kisah orang-orang murtad, sesungguhnya mereka tatkala taubat dan meminta damai dengan Khalifah Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, beliau mensyaratkan satu syarat atas mereka, beliau berkata: “Sampai kalian bersaksi bahwa orang yang mati di antara kami (para sahabat) masuk surga, dan orang-orang yang mati di antara kalian masuk neraka,”[4] dan bukti di sini adalah, ”dan orang-orang yang mati di antara kalian masuk neraka,” maka ini menunjukan bahwa boleh mengatakan bahwa orang yang mati dalam status murtad adalah calon penghuni neraka.

Kemudian mushannif mulai membahas masalah takfir, dan apakah boleh orang yang tergolong Ahlu Kiblah itu dikafirkan atau tidak.

قال المصنف : ( ولا نكفر أحد من أهل القبلة بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بعمل ) .

تكلم المصنف عن حكم تكفير أهل القبلة ، وفيه مسائل :

المسألة الأولى : ما المقصود بكلمة “بذنب” ، وكلمة “بعمل”

هاتان الكلمتان قد تفهم خطأ ، وقد تفهم أحياناً على وجه التعميم ، فيظن أن كلامه عام وليس كذلك ، فيقصد “بذنب” أي المعاصي، التي تسمى الكبائر ، ومثله كلمة” بعمل” فإنها تطلق على ثلاثة أشياء :

أ – على الكبائر : كالسرقة والزنا والغيبة والنميمة واللواط وما شابه ذلك فهذا لا يكفر به أهل السنة والجماعة .

ب – الشرك الأصغر ، فهذا أيضاً يدخل ضمن كلام المصنف فلا يكفر بالشرك الأصغر .

جـ – الصغائر وهي ما جاء تحريمها بالشرع ولم يرد فيها وعيد خاص ، فهذه لا يكفر بها أهل السنة والجماعة .

وهناك ذنوب لم يقصدها المصنف هنا كالشرك الأكبر والكفر الأكبر ، فهذه يكفر فيها أهل السنة والجماعة ، سواء كان كفراً أكبر اعتقادي أو عملي أو قولي.

وقول المصنف ( بعمل ) يراد به عمل المعاصي .

Mushannif rahimahullah berkata: Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahlu Kiblat dengan sebab dzanbun/dosa (yang dia lakukan), dan kami tidak mengeluarkannya dari Islam dengan sebab ‘amal.

Mushannif berbicara tentang hukum mengkafirkan Ahlul Kiblah, dan di dalamnya ada beberapa masalah:

Masalah pertama: Apa yang dimaksud dengan kata dzanbun/dosa dan kata ‘amal.

Dua kata ini terkadang dipahami keliru, dan terkadang dipahami dengan cara menganggapnya umum, sehingga diduga perkataan beliau ini bermakna ‘aam/umum, padahal tidak seperti itu. Beliau bermaksud dengan kata, ”dzanbun/dosa” adalah maksiat yang dinamakan pula Al kabaa’ir (dosa-dosa besar). Dan seperti kalimat dzanbun adalah kalimat ‘amal, di mana kalimat ‘amal ini dipakai untuk tiga hal:

Untuk dosa-dosa besar: seperti mencuri, zina, ghibah, namimah, liwath (homo seks) dan yang semisalnya, maka ini (pelakunya) tidak dikafirkan oleh Ahlussunnah Waljama`ah.

Syirik asghar: ini juga tidak masuk di dalam perkataan Mushannif, (maka seseorang) tidak dikafirkan dengan sebab (melakukan) syirik asghar.

Dosa-dosa kecil yakni apa-apa yang dan diharamkan oleh syari`at namun tidak ada ancaman kusus padanya, maka ini (pelakunya) tidak dikafirkan oleh Ahlussunnah Waljama`ah.

Dan ada dosa-dosa yang tidak dimaksudkan oleh mushannif di sini seperti syirik akbar dan kufur akbar, maka dosa-dosa ini (maksudnya syirik akbar dan kufur akbar) dalam hal ini Ahlussunnah Walajama`ah mengkafirkan (pelakunya), baik itu kufur akbar i`tqady (yang bersifat keyakinan), kufur akbar `amaly (amalan), ataupun kufur qouly (perkataan).

Perkatan Mushannif: “sebab amalan” dimaksudkan dengannya adalah amal maksiat (melakukan maksiat).

المسألة الثانية : قول المصنف ( أهل القبلة ) ما القصود بهم :

يقصد أهل القبلة طوائف :

أ – السابقون .

ب – المقتصدون .

وهذان القسمان هم أهل المدح والثناء وهم أهل الجنان ، قال تعالى: {ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات بإذن اللَّه}([5]) وهؤلاء لا يكفرون.

جـ – الظالم لنفسه ، وهم أهل التوحيد الذي فعل شيء من المعاصي ومات عليها، أو مصراً عليها ، ويشترط في هؤلاء حتى يسموا أهل القبلة ، أن يأتوا بالتوحيد ، وأن لا يأتوا بناقض من نواقض الإسلام.

د – المبتدعة : أو الذين فيهم بدعة ، بشرط أن تكون بدعتهم غير مكفرة ، كالذين يحيون ليلة النصف من شعبان وكتقديم الخطبة على الصلاة في العيد ، وترك بعضهم للتكبير علناً ، وكتأخير الصلاة لآخر وقتها الضروري ، ومثل الكلابية ومثل متقدمي الأشاعرة كأبي الحسن الأشعري والباقلاني ، ومثل الكرامية فإنهم مبتدعة ومثل الخوارج الأولى ويسمون المحكّمة ، فهؤلاء مبتدعة وليسوا كفاراً . ومثل مرجئة الفقهاء ، هذه الطوائف هي التي تسمى أهل القبلة .

Masalah kedua: Perkataan mushannif “Ahlul kiblat”, siapakah yang dimaksud dengan mereka ; Yang dimaksud dengan ahlul kiblat adalah kelompok-kelompok berikut ini:

1. As-Sabiquun.

2. Al-Muqtasiduun.

Kedua bagian ini adalah mereka yang mendapatkan pujian dari Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah ahli surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات بإذن اللَّه (سورة فاطر : 32)

“Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantar mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara merka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaiakan dengan izin Allah” (QS. Al-Fathir: 32) dan mereka ini tidak dikafirkan.

3. Adh-Dhalimu linafshi, mereka adalah ahli tauhid yang melakukan sesuatu dari kemaksiatan dan ia mati dengan membawa maksiat itu, atau terus-menerus melakukannya, dan disyaratkan bagi mereka untuk bisa dinamakan Ahlul kiblat, mereka harus bertauhid dan tidak melakukan pembatal dari pembatal-pembatal keislaman.

4. Mubtadi`ah (Ahlul Bid’ah), atau pada dirinya ada unsur kebid`ahan dengan syarat kebid`ahan mereka itu bukan bid`ah mukaffirah (yang mengakibatkan mereka kafir), seperti orang-orang yang mengagungkan malam nisfu sya`ban, mendahulukan khutbah sebelum shalat pada shalat `Ied, perlakuan sebagian mereka meninggalkan takbir dengan terang-terangan, mengakhirkan shalat dari waktu yang dlaruriy, begitu juga orang-orang Kullabiyyah dan orang-orang terdahulu dari Asya`irah seperti Abu Hasan Al-Asy`ary dan Al-Baqilany, dan begitu juga Al-Karraamiyyah, mereka adalah para mubtadi`ah, dan begitu juga Khawarij awal, yang dinamakan dengan Al-Muhakkamah, mereka adalah para mubtadi`ah dan bukan orang-orang kafir, dan semisal Murji`ah Fuqaha, maka kelompok-kelompok ini dinamakan Ahlul Kiblat.

المسألة الثالثة : أهل القبلة ينقسمون إلى قسمين :

أ – أهل القبلة بالحقيقة ، بمعنى أنه يجوز إطلاق هذا الاسم عليهم ، وهم الطوائف السابقة .

ب – أهل قبلة بالادعاء والانتساب أو لمجرد التعريف ، أو باعتبار ما قبل التكفير ، وهو كل من انتسب إلى القبلة وقد قام به مكفر ، فتسميته بأهل القبلة زور وبهتان . ولا يجوز إطلاق هذا الاسم عليه.

وهذا القسم لم يرده المصنف ، وهم طوائف يتسمون بأهل القبلة وهم كفار ، وهم كالتالي : الجهمية ، وغلاة المعتزلة : فهؤلاء على الصحيح كفار .

الرافضة : وهم ليسوا من أهل القبلة على الحقيقة وهم كفار ، علماؤهم وعوامهم

عباد القبور : وهؤلاء مشركون بالإجماع وليسوا بمسلمين ، نقل تكفيرهم الشيخ محمد بن عبد الوهاب ، في نواقض الإسلام – الناقض الثاني – ، وقبله نقله ابن تيمية كما في كشاف القناع ، أن من جعل بينه وبين اللَّه وسائط يدعوهم ويسألهم الشفاعة كفر إجماعاً .

الصوفية الذين عندهم كفريات ، كالاستغاثة بالأولياء ونحو ذلك ، فهؤلاء مشركون وإن تسموا بأهل القبلة .

العلمانيين : بجميع أصنافهم ، فإنهم كفار وإن تسموا بالإسلام ، أو قالوا نحن دولة إسلامية وحكام مسلمين ، وهم في حقيقة الأمر علمانيون كفار .

وأصناف العلمانيين مثل : الحداثيين والديمقراطيين والبرلمانيين والبعثيين والقوميين ، والشيوعيين والاشتراكيين ، فهؤلاء كلهم كفار سواء كانوا كتّاباً أو صحفيين أو سياسيين أو إعلاميين أو مثقفين أو عسكريين ، أو اقتصاديين إلخ.

ومنهم من يتسمى بالإسلاميين وقد قام بهم مكفر كالإسلاميين الذين يبيحون التشريع لغير اللَّه أو الذين يتحالفون مع العلمانيين ، ويستلزم من تحالفهم مع العلمانيين أن يفعلوا كفرا عالمين به فهؤلاء كفار وإن ادعوا أنهم إسلاميون .

ومن هذه الطائفة صنف يسمى العصرانيين ، وهم الذين يدعون تطوير الشريعة لكي تواكب العصر ، أو تطوير أصول الفقه لكي يواكب العصر ، وأمثالهم ممن يفعل مكفرا من هؤلاء .

Masalah ketiga: Ahlu kiblat dibagi menjadi dua bagian

Ahli kiblat yang sebenarnya, dalam arti dibolehkan memakai nama ini untuk mereka, dan mereka adalah kelompok-kelompok yang telah disebutkan tadi.

Ahli kiblat dengan sekedar klaim (mengaku-ngaku saja) dan penisbatan atau hanya sekedar nama saja, atau didasarkan pada saat sebelum pengkafiran mereka, yaitu setiap orang yang menisbatkan (dirinya kepada Ahlu) Kiblat sedangkan pada dia itu ada sesuatu yang membuat dia kafir, maka penamaan dirinya dengan ahlu kiblat merupakan kebohongan dan kedustaan, dan nama ini tidak boleh dipakai untuknya.

Dan pada bagian ini ada yang belum disebutkan oleh mushannif, mereka adalah kelompok-kelompok yang menamakan diri dengan Ahli Kiblat, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir, mereka adalah: Jahmiyyah, dan Ghulaatul Mu`tazilah, mereka ini (sesuai dengan pendapat yang ) shahih adalah orang-orang kafir.

Rafidlah: Hakekatnya mereka bukan termasuk dari ahli kiblat, mereka adalah orang-orang kafir, baik ulama`-ulama` mereka ataupun orang-orang awam mereka.

`Ubbaadul qubuur (penyembah kuburan): Mereka adalah orang-orang musyrik secara ijma`, dan bukan sebagai orang-orang muslim, pengkafiran mereka dinukil dari Syaikh Muhammad Ibnu `Abdul Wahhab di dalam Nawaqidlul Islam (pembata-pembatal keislaman) -pembatal yang kedua, dan sebelumnya telah dinukil dari Ibnu Taimiyyah di dalam Kasysyaful Iqna`, bahwa barangsiapa yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara yang di mana mereka berdo`a kepadanya dan mereka meminta syafa`at kepadanya maka ia kafir secara ijma`

Shuufiyyah yang memiliki berbagai kekufuran, seperti istighasah kepada para wali dan yang semisalnya, maka mereka adalah orang-orang musyrik dan tidak dinamakan dengan ahli kiblat.

Al-`Ilmaaniyyah (sekulerisme): dengan segala bentuknya, mereka adalah orang-orang kafir walaupum mereka memakai nama Islam atau mereka mengatakan kami negara-negara Islam dan hakim-hakim muslim, dan pada hakekatnya orang-orang sekularisme itu kuffar.

Dan di antara bagian-bagian dari sekulerisme tersebut adalah:

Al-Haddatsin.
Para demokrat.
Orang-orang parleman.
Anggota partai bath.
Para nasionalis.
Komunis.
Dan sosialis.

Mereka semuanya adalah kuffar, baik mereka itu para penulis, wartawan, politikus, I`lamiyyin (bidaang informasi), ilmuwan, militer atau para ekonom, ataupun yang lainnya. Dan diantara mereka ada yang menamakan diri dengan Islamiyyin yang telah melakukan kekufuran, seperti para Islamiyyin yang membolehkan pembuatan hukum bagi selain Allah atau yang bersekongkol dengan orang-orang sekuler, dan persekongkolannya itu memestikan mereka melakukan kekufuran sedangkan mereka mengetahuinya, maka mereka ini adalah orang-orang kafir, walaupun mengaku sebagai Islamiyyin. Dan yang termasuk dari kelompok ini, adalah yang bernama `Israniyyin, mereka adalah orang-orang yang mengajak kepada pengembangan syari`at agar sesuai dengan zaman, atau pengembangan Ushul Fiqih agar sesuai dengan zaman, dan yang lain sebagainya dari orang-orang yang melakukan kekafiran di antara mereka.

[1] مسند الإمام أحمد 4/13 (16251) .

[2] رواه أحمد في مسنده 1/387 (ح2609) .

[3] Musnad Imam Ahmad 4/13 (16251)

[4] Riwayat Ahmad 1/387 (2609)

[5] سورة فاطر : 32 .

Senin, 12 Maret 2012

APAKAH MESJID DLIRAR ITU ?

MESJID DLIRAR DAN HUKUM SHALAT DI DALAMNYA

OLEH: SYAIKH ABU QATADAH AL FILISTHINIY

ALIH BAHASA: ABU SULAIMAN

Menjauhi Mesjid Dlirar

Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:

“Dan (di antara orang-orang munaflq itu) ada orang-orang ysng mendirikan rnesjid untuk menimbulkan kemudlaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukrnin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah:”Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu melakukan shalat di mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu melakukan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri. Maka apakah orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridho’an-Nya itu yang lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak mernberikan petunjuk kepada orang-orang yan dzalim. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

“(At Taubah : 197-110)”

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalarn faidah-faidah yang diambil dari perang Tabuk: (Di antaranya membakar dan merobohkan ternpat-tempat maksiat yang mana di dalamnya dilakukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah membakar Mesjid Dlirar dan memerintahkan untuk merobohkannya padahal ia adalah mesjid yang dilakukan shalat di dalamnya dan juga disebut Nama Allah di dalamnya, karena pembangunannya mendatangkan kemadlaratan dan memecah belah kaum mukminin serta menjadi sarang bagi kaum munafiqin. Begitu juga setiap tempat yang keberadaannya seperti ini maka imam (pemimpin kaum muslimin) wajib menghentikannya, baik dengan dirobohkan atau dibakar maupun dirubah bentuknya dan dikeluarkan dari tujuan awal pembangunannya).

Dan di antara yang masuk di dalam kategori mesjid dlirar dan memenuhi sifatnya secara syari’at adalah: Mesjid-mesjid yang dibangun para thaghut agar nama mereka disebut-sebut di dalamnya dan diberi nama dengan nama-nama mereka. Mesjid-mesjid semacam ini di dalamnya mengandung banyak makna dlirar, di antaranya bahwa ia dibangun karena riya’ dan sum’ah dan biayanya berasal dari hasil pencurian para thaghut itu dan sebagian dananya berasal dari riba.

Penting sekali kaum muslimin mengetahui bahwa di antara metode syaitan dan bala tentaranya serta di antara jalan orang-orang kafir adalah mereka mengkaburkan agama Islam yang haq di hadapan para pemeluknya. Dan di antara cara memalingkan kaum muslimin dari dien mereka adalah memutarbalikan dien itu sendiri dan mengedepankan ajaran/ideologi lain di balik baju islam, sehingga karenanya terkaburlah di hadapan banyak kaum muslimin agama yang mereka ikuti, di mana semuanya mengajak kepada satu nama dan satu syi’ar, terus pada akhirnya banyak dari mereka rnemiliki hujjah -seraya berdalih- bahwa dien ini memiiiki banyak bentuk dan dia tidak rnarnpu mengetahui yang benar di antara sekian bentuk itu, sehingga akhirnya diapun rneninggalkan semuanya, baik yang haq maupun yang batil, Ini adalah metode yang sudah sama lagi baru, kejadian-kejadian dan bentuk-bentuknya adalah selalu berulang. Di antara kejadian-kejadian dan bentuk-bentuknya adalah pembangunan mesjid-mesjid untuk mendatangkan kemadlaratan terhadap islam dan pemeluknya.

Mesjid Dlirar yang dibangun oleh Abu ‘Amir Ar Rahib -di mana dia adalah seorang dari suku Khazraj, ayah bagi Handhalah Al Ghasil radliyallaahu ‘anhu dan dia itu dicap fasiq oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam- sebab-sebab pembangunannya sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat tadi adalah:

1, Pendiriannya dalam rangka mendatangkan madlarat kepada kaum musiimin dan untuk mendatangkan bahaya terhadap mereka. Di mana[1]

pembangunannya adalah untuk memalingkan kaum muslimin dari Mesjid Quba, bukan karena kecintaan terhadap ketaatan, akan tetapi untuk rnendatangkan gangguan bagi diri kaum musiimin dan untuk menimbulkan perseteruan dan pertentangan di tengah mereka, sedangkan ini adalah tergolong kemadlaratan yang paling besar.

2. Kekafiran dan pengokohannya.[2] Itu karena penyendirian mereka di mesjid khusus mereka adalah memudahkan mereka dan saudara-saudara mereka dari kalangan orang-orang kafir dan munafiqin untuk berkumpul dan bertukar pikiran, sedangkan kaum muslimin tidak merasa ragu terhadap mereka, karena keberadaan mereka di dalam mesjid dirasa tidak mungkin muncul bahaya dari mereka, terus sesungguhnya ia adalah hujjah bagi orang yang rneninggalkan shalat di mesjid kaum muslimin bahwa ia shalat di mesjid itu, sehingga hal itu memudahkan’bagi kaum munafiqin kemunafiqkannya dan peninggalannya terhadap perintah Allah. Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

3. Memecah belah kaum muslimin di dalam satu agama, karena sesungguhnya di antara tujuan shalat berjama’ah adalah mempererat kesatuan, keharmonisan dan adanya kasih sayang.[3] Syaikh Rasyid Ridla berkata di dalarn Al Manar: Oleh sebab itu sesungguhnya memperbanyak jumlah mesjid dan memecah belah jama’ah adalah menafikan tujuan-tujuan Islam.” Selesai.

Saya berkata: (Memperbanyak jumlah mesjid bila karena banyaknya jumlah (kaum musiimin) dan meluasnya kota pemukiman, maka tidak apa-apa. Dan bila tidak karena hal itu, maka ia merupakan sikap memecah belah kaum muslimin.

4. Menunggu kedatangan orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya,di mana ia itu menjadi sarang bagi setiap orang yang datang untuk memerangi kaum mukminin, di rnana dengan hal itu programnya menjadi mudah dan tujuannya untuk merusak kaum muslimin menjadi lancar. Bagaimana tidak, sedangkan pengrusakan terhadap mereka itu telah datang dari rumah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan khathib mereka di mesjid itu.

Hukum Mesjid Dlirar

Hukum mesjid dlirar ini adalah Allah melarang Rasul-Nya dari melakukan shalat di dalamnya dengan firman-Nya:

Janganlah kamu melakukan shalat di mesjid itu selama-lamanya.” (At Tauubah:108).

Jadi shalat di dalamnya adalah haram, dan menurut sebagian ulama adaiah batal -dan ini adalah pendapat yang benar-, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk merobohkan dan membakarrnya. Bisa jadi hukum perobohan dan pembakarannya adalah diambil dari firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:

ataukah orang-orang yang mer.dirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (At Taubah:l09)

karena sesungguhnya banyak ulama ushul fiqh memandang bolehnya berhujjah dengan tindakan-tindakan Adalah kepada hamba-hamba-Nya terhadap kebolehan melakukan tindakan itu terhadap mereka kecuali kalau ada qarinah. Ibnu Taimiyyah berkata: (Landasan dasar adalah firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan tindakan-Nya, meninggalkan-Nya dari mengatakan dan meninggalkan-Nya dari melakukan, sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan perbuatannya, serta meninggalkannya dari mengatakan dan meninggalkannya dari melakukan, meskipun kebiasaan ahli ushul bahwa mereka tidak menuturkan dari sisi Allah kecuali firman-Nya yang mana ia adalah Kitab-Nya). (Al Muswaddah, Alu Taimiyyah hal 296)

As Sam’anil berkata: (Penjelasan dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa terbukti dengan ucapan, pebuatan, kinayah (kiasan) dan pengingatan terhadap ‘illat (alasan hukum), namun tidak terjadi dengan isyarat). (Lihat Irsyadul Fuhul:173).

Pendapat ini diberi hujjah dengan istidlal para ulama salaf terhadap pengrajaman orang yang sodomi (liwath} dengan apa yang Allah lakukan terhadap kaum Nabi Luth. Penulis Kitab AI Mughni berkata:(Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengadzab kaum Luth dengan pengrajaman, maka seyogyanya orang yang melakukan seperti perbuatan mereka diberi sangsi seperti sangsi mereka). (Al Mughni 8/188).

Saya berkata: Tidak seyogyanya ucapan itu dilontarkan secara muthlaq, karena Allah mengadzab para ahli maksiat dengan api, namun tidak boleh seorangpun menyiksa dengan api kecuali bila itu qishash «sebagaimana pendapat yang shahih dari pendapat jumhur selaian madzhab Hanafi». Wallaahu ta’aala a’lam.

Pembicaraan tentang mesjid dlirar adalah pernbicaraan yang panjang, akan tetapi saya akan membatasi pernbicaraan di sini terhadap masalah kebolehan menghancurkan mesjid-mesjid yang telah dibangun untuk mendatangkan kemadlaratan kepada kaum muslimin atau karena suatu alasan dari alasan-alasan atau sebab-sebab yang telah disebutkan. Ini bila mesjid tersebut pada awalnya dibangun untuk tujuan itu. Adapun bila mesjid itu dibangun dalam rangka taqarrub kepada Allah Subhaanaahu Wa Ta’aalaa terus muncul kejadian terhadapnya seperti penguasaan ahli bid’ah terhadapnya atau pengrubahan fungsinya menjadi tempat ibadah kaum musyrikin atau pengangkatan imam yang tidak boleh shalat di belakangnya, maka mesjid semacam ini tidak ada kaitannya dengan pembicaraan kami dan tidak masuk dalarn kategori mesjid yang boleh dirobohkan, akan tetapi -bila ada kemampuan terhadapnya- wajib kerusakan ini dilenyapkan, dan mesjid ini tetap sesuai tujuan asal pembangunannya berupa pengakuan dan pujian pembangunannya dan yang membangunnya, Penganggapan tujuan asal ini dijadikan acuan dalam fiqh pada berbagai masalah, di antaranya: Membedakan antara mesjid yang dibangun di atas kuburan, dimana yang lebih dahulu adalah kuburan. sedangkan mesjid adalah belakangan, dengan mesjid yang dikubur rnayat di dalamnya, di mana kuburan datang belakangan.

An Nawawi berkata di dalam fatawanya, beliau ditanya tentang pekuburan yang diwaqafkan bagi kaum muslimin yang mana seseorang membangun sebuah mesjid di didalamnya dan membuat mihrab di dalamnya, apakah hal itu boleh? Dan apakah wajib merobohkannya? Maka be!iau rahimahullah berkata: (Hal itu tidak boleh baginya dan wajib merobohkannya),

Ibnul Qayyim berkata di dalam Zadul Mua’ad (masalah ke 77): (Masjid dirobohkan bila dibangun di atas kuburan, sebagaimana mayat dibongkar kembali bila dikubur di mesjid, hal itu ditegaskan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya, maka tidak boleh berkumpul di dalam dienul Islam antara mesjid dengan kuburan, akan tetapi mana saja yang dibangun di atas yang lainnya, maka ia dicegah darinya dan hak hukum adalah bagi yang lebih dulu ada, dan seandainya diletakkan keduanya secara bersamaan, maka tindakan itu adalah tidak boleh).

Kebolehan Merobohkan Mesjid karena Alasan bahaya Dan

Mendatangkan Madlarat

Sebagian orang mengingkari pembicaraan tentang perobohan mesjid dlirar dan dia mengklaim bahwa mesjid-mesjid itu sendiri tidak menjadi alasan, namun alasan itu hanyalah pada diri si imam atau jama’ah mesjid. Mesjid-mesjid itu diakui dan diingkari terhadap perbuatan, dan dia tidak membedakan antara hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya,dan itu dengan melihat tujuan asal pembangunan mesjid tersebut. Konsekuensi pendapat ini adalah bahwa tidak ada satupun mesjid yang diharamkan shalat di dalamnya karena hal lain selain mesjid, seperti keberadaan patung atau imam yang zindiq, atau karena hal lain.

Dan dalam kesempatan ini saya akan menuturkan sejumlah ucapan para ulama perihal keharaman shalat di sebagian mesjid yang berstatus sama dengan mesjid dlirar pertama yang mana Allah Suhhaanahu Wa Ta’aalaa telah melarang Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dari shalat di dalamnya dengan firman-Nya:” Janganlah karnu melakukan shalat di mesjid itu selama-lamanya.” Dan bahwa kebolehan bagi orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan merobohkan dan melenyapkan mesjid-mesjid ini, sebagiannya wajib dilenyapkan dan sebagiannya termasuk yang boleh bagi rnereka merobohkannya, membakarnya dan melenyapkannya.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Zadul Ma’ad saat rnenuturkan faidah-faidah perang Tabuk:” Di antaranya adalah membakar dan merobohkan tempat-tempat maksiat yang mana di dalamnya di lakukan maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membakar mesjid dlirar dan rnemerintahkan untuk merobohkannya, padahal ia adalah mesjid yang dilakukan shalat di dalamnya dan disebutkan Nama Allah di dalamnya, karena pembangunannya mendatangkan kemadlaratan yang memecah belah antara kaurn mukminin serta menjadi sarang bagi kaum munafiqin. Begitu juga setiap tempat yang keberadaannya seperti ini, maka imam wajib menghentikannya, baik dengan dirobohkan atau dibakar, ataupun dirubah bentuknya dan dikeluarkan dari tujuan awal pembangunan.”

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: (Shalat tidak sah di mesjid yang dibangun untuk kebanggaan atau untuk mendatangkan kemadlaratan terhadap mesjid lain, bila ahli mesjid itu mendengar adzan mesjid yang pertama dan tidak ada kesulitan atas mereka untuk mendatanginya, dan sewajibnya adalah merobohkannya dan merobohkan setiap mesjid yang dibangun agar orang-orang bisa menyendiri di dalamnya seperti pendeta, atau agar dijadikan tujuan oleh orang-orang jahil dalam rangka mencari keutamaannya.” Berkata: Dan Ibnu Mas’ud telah merobohkan mesjid yang dibangun oleh ‘Amr Ibnu “Utbah di tengah Kufah dan mengembalikannya kepada mesjid jama’ah). (Al Muhalla: Masalah no 399)

Muhammad Ibnu Rusydi Al Jadd (wafat: 255H) berkata: (Sesungguhnya orang yang membangun mesjid di dekat mesjid yang lain untuk mengganggu ahli rnesjid yang pertama dengannya, dan dengannya dia memecah belah jama’ah rnereka, maka ia terrnasuk pendatangan madlarat yang terbesar, karena pendatangan madlarat pada suatu yang berkaitan dengan dien adalah lebih bahaya dari apa yang berkaitan dengan jiwa dari harta, apalagi di mesjid yang dibangun untuk shalat yang merupakan tiang agama, dan dalam hal itu Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah menurunkan firman-Nya:

“Dan ( di antara orang-orang imunafiq itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk mendatangkan kemadlaratan (kepada orang-orang mukmin)….” Sampai firman-Nya:” Bangunan-bangunan yang mereka dirikan Itu senantiasa menjadi pangka keraguan di dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka telah hancur” (At Taubah: l07-110),

Bila terbukti bahwa orang yang membangunnya memaksudkan pendatangan kemadlaratan dan memecah belah jama’ah bukan untuk tujuan kebaikan, maka ia wajib dibakar dan dirobohkan serta dibiarkan puing-puingnya menjadi sampah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap mesjid dlirar). (Al Bayan Wat Ta-shil 1/411)

Al Wansyarisiy berkata: (Ibnul Hajj ditanya tentang mesjid yang dibangun di dekat mesjid dengan tujuan dlirar (mendatangkan kemadlaratan), maka beliau menjawab: (Bila suatu mesjid dibangun di dekat mesjid yang lain yang dianggap mendatangkan suatu kemadlaratan, maka permasalahan adalah pada mesjid yang belakangan dari keduanya, begitu juga ucapan ini ada dalam riwayat itu. Hukum mengharuskan perobohan mesjid yang terakhir bila ia sudah dibangun, dan pelarangan dari pembangunan bila belum dibangun. Dan tanah tersebut kembali kepada si pemilik bila dia memaksudkandl dlirar dengan pembangunan mesjid tersebut, karena dia tidak mernaksudkan kebaikan dengan pewakafannya itu. Dan bila dia tidak memaksudkan dlirar maka bisa saja dikatakan bahwa tanah itu tetap sebagai wakaf, di rnana bisa jadi suatu saat manusia menjadi semakin banyak ditempat itu sampai ia dibangun. Wallahu a’lam). (Al Mi’yar Al Mu’arrab Wal Jami’ Al Mugharrab 7/229).

Al Sayuthiy berkata: (Dan di antara hal yang bid’ah adalah banyaknya mesjid di satu komplek, itu dikarenakan ia memecah belah jama’ah, mencecerkan kesatuan orang-orang shalat, mengurai persatuan di dalam ibadah, melenyapkan keindahan banyaknya orang-orang yang beribadah, rnemperbanyak kelompok dan perselisihan paham, dan membahayakan hikmah pensyari’atan jama’ah -yaitu kesatuan suara terhadap pelaksanaan ibadah dan satu sama lain saling mernberikan manfaat dan bantuan-, mendatangkan madlarat kepada rnesjid yang lama atau seperti mendatangkan madlarat atau kecintaannya kepada kemasyhuran dan ketenaran serta menggunakan harta pada suatu yang tidak penting). (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’)

Al Bahutiy berkata: (Haram mernbangun mesjid di dekat mesjid kecuali karena kebutuhan, umpamanya sempitnya mesjid yang pertama atau hal lainnya seperti khawatir fitnah kumpulnya mereka di satu mesjid. Dan dhahir madzhab (Hanbali) meskipun tidak bermaksud mendatangkan madlarat). (Syarhul Iqnaa’ 1/545).

Syaikh Jamaluddin Al Qasimiy berkata: (Ayat itu menunjukan bahwa setiap mesjid yang dibangun atas dasar yang sama dengan mesjid dlirar, maka ia itu tidak rnemiliki nilai hukum dan kehormatan serta tidak sah waqaf untuknya. Ar Radli Billah telah membakar banyak mesjid kaum Bathiniyyah, Musyabbihah dan Mujabbirah, dan beliau mewakafkan sebagiannya. Ini dinukil oleh sebagian ahli tafsir). (Mahasin At Takwil),

Az Zamakhsyari (yang bermadzhab Hanafi di dalam fiqh dan bermadzhab Mutazilah di dalam aqidah) berkata: ( Setiap mesjid yang dibangun dalam rangka bangga-banggaan atau riya’ atau sum’ah atau untuk tujuan selain ridla Allah atau dibangun dengan harta yang tidak halal, maka ia sama statusnya dengan mesjid dlirar. Dari Syaqiq bahwa ia tidak melakukan shalat di mesjid Bani ‘Amir, maka dikatakan kepadanya: Mesjid Bani Fulan, mereka tidak pernah shalat di dalamnya.” Maka beliau berkata: “Saya tidak senang melakukan shalat di dalamnya, karena ia dibangun di atas dlirar.” Dan setiap mesjid yang dibangun di atas dlirar atau riya’ dan sum’ah, maka hukumnya berakhir pada mesjid yang dibangun dalam rangka dlirar). (9/3268).

Saya berkata: Kisah Syaqiq ini ada dalam Tafsir Ath Thabariy dengan isnadnya.

Ibnu Taimiyyah berkata: (Adalah salaf mernbenci shalat di mesjid menyerupai mesjid dlirar dan mereka memandang mesjid yang tua adalah lebih utama daripada yang baru, karena mesjid yang tua lebih jauh dari keberadaannya dibangun dalam rangka dlirar daripada mesjid yang baru yang dikhawatirkan hal itu ada padanya). (Tafsir Surat Al Ikhlash hal 256).

Saya berkata : Hal serupa dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalarn Tafsirnya. Dan untuk mengetahui orang-orang dari kalangan salaf yang membenci hal itu, silahkan dilihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 2/231 Thab’ah Hindiyyah, dan di sana bisa dilihat hukum karaahah (dibencinya) shalat di tempat-ternpat pembenaman 2/377, sedangkan karaahah itu bagi salaf adalah bermakna haram. (Silahkan rujuk A’laamul Muwaqqi’iin, lbnul Qayyim 1/39-43 dan Badaalul Fawaaid 4/6).

Syaikh Abdullathif Alu Asy Syaikh berkata: (Dan lebih dahsyat dari itu bahwa Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah merobohkan mesjid dlirar, maka di dalam kisah ini ada dalil terhadap perobohan mesjid-mesjid yang lebih dahsyat kerusakannya dari mesjid itu). (Majmu’atur Rasaail Wal Masaail An Najdiyyah 3/414).

Al Imam AI Qurthubiy berkata: (Ulama kita berkata: Tidak boleh rnembangun mesjid di dekat mesjid yang lain, dan wajib merobohkannya dan mencegah dari pembangunannya, agar jama’ah mesjid awal tidak beralih sehingga ia menjadi kosong, kecuali kalau komplek itu menjadi besar dan satu mesjid itu tidak mencukupi mereka, maka saat itu boleh dibangun. Begitu juga mereka berkata tidak selayaknya di satu kota dibangun dua atau tiga rnesjid, dan wajib mencegah mesjid yang kedua, dan barangsiapa shalat jum’ah di dalamnya maka tidak sah baginya, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah membakar dan rnerobohkan mesjid dlirar dan berkata: (Ulama kita berkata: Setiap mesjid yang dibangun atas clasar dlirar atau riya’ atau sum’ah, maka ia berstatus sebagai mesjid dlirar yang tidak boleh shalat di dalamnya). (Al Jami 8/254).

Al Ghazali berkata: (Adapun mesjid, bila ia dibangun di atas tanah hasil ghashab (rnerampas) atau dengan kayu hasil ghashab dari mesjid yang lain atau dari milik orang tertentu, maka tidak boleh sama sekali memasukinya dan tidak boleh juga untuk jum’atan, dan bila dari harta yang tidak diketahui pemiliknya, maka sikap wara’ adalah berpaling ke mesjid lain, dan bila tidak ada mesjid lain maka jum’ah dan jama’ah tidak boleh ditinggalkan, karena ada kemungkinan walau dari jauh bahwa itu milik orang yang membangunnya, dan bila tidak ada pemilik tertentu maka ia bagi mashlahat kaum muslimin). (Al Ihya 2/114)

Saya berkata: Konsekuensi pernyataan keharaman shalat di suatu mesjid adalah pengrobohannya agar maksud penyebutan rnesjid tersebut gugur. Wallaahu a’lam.

Ini adalah sejumlah dari nukilan ulama prilhal keharaman shalat di banyak mesjid, dan alasannya adalah ada pada pembangunannya itu sendiri, bukan karena hal tambahan lain seperti imam, gambar dan hal lainnya, Dan pada nukilan-nukilan ini ada sejumlah pelajaran dan faidah, di antaranya:

  1. Membedakan antara mesjid yang dibangun pada awalnya dalam rangka dlirar dengan dlarar (madlarat) yang rnuncul kemudian terhadap suatu mesjid rnaka mesjid yang macam kedua dilenyapkan dlararnya dan mesjid kembali kepada keadaannya semula. Sedangkan mesjid macam pertama bila dlarar menjadi kemestiannya, maka wajib melenyapkannya seperti mesjid-mesjid yang dibangun dalam rangka dlirar dan mungkin melenyapkan dlararnya, sehingga pemerintah memiliki hak untuk merobohkannya, membakarnya dan melenyapkannya, dan ia memiliki hak untuk membiarkannya dan melenyapkan dlarar darinya, seperti mesjid yang tanahnya hasil ghashab, di mana si pemiiik tanah diberi pilihan antara mengambil tanahnya atau mengambil bayarannya, bila dia menerima bayarannya maka dibayarkan kepadanya dan rnesjid dibiarkan, namun bila tidak mau menerima, maka mesjid harus dilenyapkan.
  2. Tidak boleh mengecam dan mencela orang yang membenci atau mengharamkan shalat di suatu mesjid karena dia meyakini bahwa ia dibangun dalarn rangka dlirar, justeru ini adalah perbuatan As Salaf Ash Shalih sebagaimana yang telah lalu.
  3. Di dalam nukilan-nukilan ini ada bantahan terhadap orang yang mengecam dan mengingkari penamaan sebagian mesjid sebagai mesjid dlirar, karena dia meyakini bahwa penamaan ini tidak disematakan kecuali kepada mesjid dlirar zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassallam atau mesjid yang memiliki semua alasan mesjid dlirar dahulu. Fatwa-fatwa ulama tadi adalah prihal pengrobohan beberapa mesjid karena satu alasan saja, dan mereka tidak mensyaratkan terkumpulnya semua alasan-alasan itu pada suatu mesjid agar dirobohkan atau ditinggalkan. Dan wajib atas orang yang mengatakan selain ini untuk mendatangkan dalil.
  4. Dan di antara yang difatwakan oleh ulama adalah tidak bolehnya menerima wakaf orang yahudi, orang nasrani dan orang kafir terhadap mesjid. Di dalam Al Mi’yar Al Mu’arrab: Abu Imran Al Qaththan ditanya tentang orang yahudi yang mewakafkan rumah terhadap mesjid di Qurthubah, maka beliau menjawab: Tidak boleh.”(Al Mi’yar Al Mu’arrab 7/65)

Dan telah lalu tidak diterimanya orang yang mewakafkan tanah dalam rangka dlirar atau diketahui pewakafannya dalam rangka riya’ dan sum’ah, akan tetapi ia ditolak.

  1. Setiap mesjid yang masih tetap di atas dlirarnya dan tidak mungkin diperbaiki rnaka tidak bcleh shalat di dalamnya, berdasarkan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa: “Janganlah karnu melakukan shalat di dalam mesjid itu selarna-lamanya.” Dan telah lalu penuturan fatwa-fatwa ulama tentang hal ini.

Bentuk-Bentuk Mesjid Dlirar Masa Kini

Muhammad Ridla menuturkan di dalam Al Manar: (Dan darinya diketahui bahwa banyak mesjid-mesjid di Mesir yang satu sama lain saling berdekatan dan begitu juga di negeri-negeri lain adalah tidak dibangun untuk mencari ridla Allah ta’ala, akan tetapi motivasi pembangunannya adalah riya’ dan mengikuti hawa nafsu dari kalangan penguasa dan orang-orang kaya yang bodoh).(Al Manar 11/39).

Di antara yang masuk dalam makna mesjid dlirar dan pensifatan syariy tepat terhadapnya adalah mesjid-mesjid yang di bangun oleh para thaghut untuk supaya nama mereka dikenang dan dinamai dengan nama mereka, Mesjid-mesjid ini mengandung banyak makna dlirar, di antaranya bahwa ia dibangun dalam rangka riya’ dan sum’ah dan juga hartanya berasal dari pencurian para thaghut itu dan sebagiannya dari harta riba dan judi. Sebagian mesjid-mesjid itu si thaghut mewasiatkan agar dia dikuburkan di dalamnya, yaitu bahwa ia mengandung makna kuburan dari awal pembangunannya. Dan rnesjid-mesjid macam ini di antara contoh yang paling masyhur adalah mesjid thaghut Hasan II Raja Maroko – semoga Allah melaknatnya -, di mana mesjid ini mengumpulkan sernua sifat itu bahkan lebih, dan ia tidak dijadikan kecuali sebagai obyek wisata dari kalangan wisatawan yang kafir yang datang ke sana dalam keadaan telanjang. Dan serupa dengannya adalah mesjid yang dibangun oleh Thoghut Husen Ibnu Thalal (Raja Yordania,pent) dan dia menamainya dengan nama kakeknya – Mesjid Raja AbdulIah -bahkan dia menamainya mesjid Asy Syahid Abdullah, sedangkan kakeknya ini adalah termasuk pemimpin kekafiran dan pengrusakan.

Adapun di perantauan, maka sungguh kedubes-kedubes berbagai negara murtad telah biasa mernbangun mesjid, sebagian mesjid-mesjid itu dikhususkan bagi warga negara tertentu tidak untuk kaum muslimin yang berwarga negara lain. Kedubes ini menguasai mesjid tersebut dan menganjurkan warga negaranya saja untuk rnendatanginya tidak warga negara lain, (ini) sebagai bentuk keinginan dari mereka agar warga negaranya tidak terpengaruh saat rnereka berada di negeri lain itu bila shalat di mesjid-rnesjid lain, yang mana bisa jadi penilaian mereka menjadi berubah terhadap negara rnereka dan para penguasanya, Sedangkan sikap ini adalah benar-benar dlarar. Dan serupa itu juga mesjid-rnesjid yang dibangun oleh berbagai kedubes dan diberi plang dengan nama perusahaan atau bangunan-bangunan khusus agar penguasaan terhadapnya tetap berlangsung, merekalah yang menunjuk para khathib di sana, juga para pengajar dan para muadzdzin, dan mereka menjadikannya sebagai kebanggaan, riya, dan sum’ah, dan agar mereka sendirilah yang mengendalikan penafsiran dien ini sesuai dengan manhaj dan keinginan mereka.[4] Dan mesjid-mesjid ini adalah menjadi sarang bagi intelejen yang memata-matai para pemuda muslim, dan di dalamnya para petugas kedubes berkumpul untuk acara-acara peringatan yang mereka namakan keagamaan. Jadi ia mengandung makna:

«serta (untuk) menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu»(At Taubah:107).

Masuk dalam makna dlirar bahkan ia adalah benar-benar dlarar, adalah apa yang dilakukan oleh thaghut Saudi Raja Fahd, yaitu membangun istana di atas sebuah gunung yang mengarah ke Mesjidil Haram, dan sebagian syaikh Saudi telah memfatwakan kebolehan bagi si thaghut dan budak-budaknya itu melakukan shalat di sana seraya bermakmum kepada imam Mesjidil Haram. Sebenarnya istana tersebut tidak masuk di dalam makna mesjid, akan tetapi saya menyertakannya di sini karena rusaknya fatwa prihal menjadikannya sebagai mesjid yang sama statusnya dan pahala shalatnya dengan Mesjidil Haram. Padahal salaf sendiri membenci shalat di istana yang dibangun para penguasa di dalam rnesjid, maka apakah orang yang berakal masih ragu bahwa fatwa mereka perihal kebolehan menjadikan istana sebagai mesjid dan penyetaraannya dengan mesjid yang paling agung di atas bumi ini adalah fatwa yang paling batil dan bahwa fatwa tersebut adalah kesalahan yang nyata?

Di antara mesjid dlirar adatah mesjid-mesjid yang dibangun oleh jama’ah-jama’ah, partai-partai dan kelompok-kelompok tertentu yang khusus bagi mereka, agar mereka menyendiri dengannya dari mesjid-mesjid kaum muslimin yang umum.[5] Iaitu sangat serupa dengan biara-biara kaum shufi yang dengan sebabnya mereka meninggalkan mesjid-mesjid kaum muslimin, dan seperti Husainiyyah, kaum Rafidlah!! Ini semua memiliki makna dlirar, dan wajib atas kaum muslimin yang mampu untuk, melenyapkan dan merobohkannya.

Di antaranya apa yang dibangun oleh orang-orang kaya atau para tokoh berupa mesjid-mesjid khusus bagi mereka di dalarn benteng istana mereka dan rurnah mereka, di mana mereka melakukan shalat lima waktu bahkan shalat jum’at di dalamnya, dan tidak masuk ke sana kecuali orang-orang yang mereka sukai dan mereka izinkan. Jadi ia itu bukan mesjid-mesjid kaum muslimin, akan tetapi ia termasuk mesjid dlirar yang wajib dilenyapkan dan dirobohkan serta jama’ahnya diperintahkan untuk berkumpul di mesjid-mesjid umum, dan mesjid-mesjid ini bukan mesjid-mesjid rumah yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena mesjid-mesjid itu adalah khusus bagi pemilik rumah yang rnana mereka di dalamnya melakukan shalat-shalat sunnah dan duduk di dalamnya untuk dzikir dan membaca Al Qur’an, dan bukan untuk shalat fardlu, jum’ah dan jama’ah.

Ini adalah apa yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa mudahkan dan hendaklah penganut islam mengetahui bahwa lenyapnya negara islam telah mendatangkan kepada dunia ini banyak keburukan, baik yang berkaitan dengan urusan dien maupun dunia. Maka kita memohon kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa agar memberikan karunia DaulatuI Islam kepada kita yang di dalamnya Dia memuliakan wali-wali-Nya dan bala tentara-Nya serta di dalamnya Dia menghinakan musuh-musuh-Nya dan bala tentara syaitan. Wal Hamdu lillaahi Rabbil ’Alamiin.[6]

____________________________________________

[1] Termasuk contohnya adalah mesiid-mesjid yang dibangun para thaghut di penjara-penjara mereka dan dikelola di bawah program pembinaan mereka serta merekalah yang menentukan khathib dan para penceramahnya. Mesti kita ketahui bahwa pembinaan yang dilakukan anshar thaghut di semua LP di negeri ini adalah pembinaan yang berdasarksn Pancasila sebagaimana yang tertuang di dalam landasan dasar pembinaan LP, sedangkan mesjid-mesjidnya adalah di bawah kendali pembinaan mereka. Bentuk kemadlaratan yang mereka datangkan lewat mesjid dlirar mereka ini adalah penetapan keislaman mereka di hadapan para narapidana lewat lisan para penceramah dan khathib yang rnereka tunjuk, penyeruan untuk taat kepada undang-undang thaghut, ajakan mereka untuk loyal kepada pemerintah kafir ini, dan penanaman pemahaman bahwa penerapan hukum thaghut yang dilakukan oleh para sipir itu tidaklah membatalkan keislaman, karena kalau seandainya mereka itu adalah orang-orang kafir, tentulah tidak akan mengelola mesjid dan tentu para ustadz itu menjelaskannya dan mengingkarinya, serta bentuk kemadlaratan lainnya. Ada hal unik: Di mihrab mesjid LP Sukamiskin Bandung terdapat tulisan kaligrafi besar firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al-Maaidah:44)

Namun ketika pandangan mata sudah buta dan mata hati telah tiada, rnaka hujjah apapun tidaklah Berguna…

Hal unik lainnya: Sering sekali kami mendengar dari pengeras suara rnesjid dlirar LP itu doa si khathib yang berasal dari Departernen Agama Thoghut berkata di dalam doanya: Ya Allah menangkanlah pasukan mujahidin dan hancurkanlah barisan kaum musyrikin………” dengan bahasa arab, sedangkan para anshar thaghut itupun ikut mengamininya. Semoga Allah rnelaknat orang-orang kafir.(Pent).

[2]Seperti mesjid-mesjid yang dibangun oleh yayasan amal bakti muslim pancasila itu untuk mengukuhkan bahwa agama kafir pancasila itu tidak bertentangan dengan tauhid dan bahwa para penganutnya yang mengaku musiim itu adalah memang muslim. (pent)

[3] Seperti mesjid-mesjid yang dibangun berdekatan dengan mesjid yang lama yang jama’ahnya tidak penuh, sehingga memalingkan sebagian jama’ah mesjid lama kepadanya. (pent)

[4] Sama dengan mesjid itu adalah mesjid-mesjid yang dibangun oleh pemerintah thaghut di negeri ini dan pengelolaannya dikuasi oleh mereka sehingga merekalah yang menunjuk para khathib dan para penceramah yang sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga keberadaannya mendatangkan dlirar aqidah kepada umat ini, minimal menimbulkan image masyarakat muslim bahwa para thaghut murtad itu adalah para pemimpin rnuslim. Di sana para thaghut mengadakan acara peringatan maulid nabi, nuzulul qur’an dan acara bid’ah lainnya, dan di sana pula para pejabat thaghut dan para ulama suu’ melakukan shalat led. (Pent)

[5] Seperti Mesjid-mesjid LDII. (pent)

[6] (Penterjemah berkata: Selesai diterjemahkan di pagi Kamis 11 Rajab 1428H di LP Sukamiskin Bandung UB 30).

Kamis, 08 Maret 2012

HAKIKAT DAULAH ‘UTSMANIYYAH (TURKI UTSMANI) DALAM PANDANGAN TAUHID

Oleh: Syaikh Nashr Ibnu Hamd Al Fahd

Ini adalah bahasan yang singkat yang menjelaskan hakikat Daulah ‘Utsmaniyyah (Turki Utsmani) yang sering dipuja dan dipuji oleh banyak kalangan yang mengaku dirinya sebagai aktifis Islam, dan mereka menyebutnya sebagai benteng terakhir dari benteng-benteng Islam yang dengan kehancuran daulah tersebut maka hancurlah kejayaan Islam.

Sesungguhnya orang yang mengamati keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah -sejak ia berdiri sampai keruntuhannya-, maka tidak akan ragu bahwa daulah ini telah berandil besar dalam merusak ‘aqidah kaum muslimin, dan hal itu sangat nyata dari dua sisi:

Pertama: Andilnya dalam menyebarkan kemusyrikan.

Kedua: Peranannya dalam memerangi dakwah tauhid.[1]

Daulah ‘Utsmaniyyah ini telah menyebarkan kemusyrikan dengan bentuk mereka menyebarkan paham shufi syirik yang berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali. Ini adalah realita nyata yang tidak membantah di dalamnya seorangpun termasuk orang-orang yang suka berdebat untuk membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah ini. Saya akan menuturkan berikut ini sebagian pernyataan yang membuktikan hal itu dari ucapan orang-orang yang masih toleran terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah ini.

Abdul Aziz Asy Syanawi di dalam kitabnya (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha)!! 1/59 berkata dalam konteks memujinya: (Di antara fenomena arus keagamaan di dalam politik negara ini adalah pemberian support terhadap paham shufi di kalangan ‘utsmaniyyin, di mana negara telah membiarkan para syaikh berbagai thariqat shufiyyah melakukan otoritas yang luas terhadap para jama’ah dan para pengikutnya. Thariqat-thariqat ini pertama-tama menyebar dengan penyebaran yang sangat luas di wilayah Asia Tengah kemudian terus menjamur di mayoritas wilayah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah…..dan negara telah memberikan suplai bantuan dana kepada sebagian thariqat shufiyyah….dan di antara thariqat terpenting adalah Naqsyabandiyyah, Mulawiyyah, Baktasyiyyah dan Rifa’iyyah….) selesai.[2]

Muhammad Quthub berkata di dalam kitabnya (Waqi’unal Mu’ashir hal 155): “Sungguh shufiyyah ini telah mulai menyebar di masyarakat masa ‘Abbasiyyah, namun ia adalah pojok yang terpencil dari masyarakat. Adapun di bawah payung Daulah ‘Utsmaniyyah dan secara khusus di Turki, maka ia itu telah menjadi fenomena umum masyarakat, dan ia itu telah menjadi dien (agama) utama”. Selesai.

Di dalam (Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Al Mu’ashirah hal: 348) dikatakan: Bakdasyiyyah: Orang-orang Turki ‘Utsmani adalah menganut paham thariqat ini, dan ia itu masih tersebar di Albania, di mana ia adalah paham thariqat tashawwuf yang lebih mendekati kepada Syi’ah daripada kepada Sunni[3]….dan ia itu memiliki kekuasaan yang besar terhadap para penguasa dinasti ‘Utsmaniyyah”. Selesai.

Dan di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufiy Fi Dlauil Kitab Was Sunnah hal: 411) dikatakan: “Para sultan dinasti ‘Utsmaniyyah bersaing di dalam membangun sinagog, biara dan kuburan Baktasyiyyah….di mana di saat sebagian para sultan membelanya, maka para sultan yang lain menentangnya seraya lebih mengedepankan thariqat yang lainnya”. Selesai.

Oleh sebab itu tidaklah aneh bila kemusyrikan dan kekafiran sangat merebak dan tauhid malah lenyap di wilayah-wilayah yang dikuasai mereka.

Syaikh Husen Ibnu Ghunnam rahimahullah berkata di dalam penuturan kondisi negeri-negeri mereka: “Mayoritas manusia di zamannya –yaitu di zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab– adalah berlumuran dengan kotoran lagi bermandikan najis sampai mereka bergelimang dengan kotoran kemusyrikan dengan bergulirnya tahun… di mana mereka berpaling malah mengibadati para wali dan orang-orang saleh serta mereka melepaskan ikatan tauhid dan dien ini, mereka bersungguh-sungguh dalam beristighatsah kepada para wali itu di dalam kondisi genting, bencana dan kejadian yang mencekam, dan mereka menghadapkan wajah kepada para wali itu di dalam pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana, baik para wali itu masih hidup maupun sudah meninggal dunia, dan bahkan banyak dari mereka meyakini manfaat dan madlarat di dalam benda yang mati… -kemudian beliau menuturkan bentuk-bentuk kemusyrikan di Nejed, Hijaz, ‘Irak, Syam, Mesir dan tempat lainnya–“. Selesai.[4]

Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah (wafat 1229 H) berkata di dalam suratnya kepada gubernur ‘Utsmani di Irak seraya menjelaskan realita negara mereka: “Syi’ar-syi’ar kekafiran kepada Allah dan kemusyrikan adalah yang nampak di negara kalian, seperti pembangunan kubah di atas kuburan, penyalaan lampu di atasnya, pemasangan tirai di atasnya, penziarahannya dengan cara yang tidak Allah dan Rasul-Nya syari’atkan, penetapannya sebagai (tempat) ied, permintaaan pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana dan kesulitan kepada para penghuni kuburan itu. Ini semua terjadi di samping penyia-nyiaan kewajiban-kewajiban dien yang telah Allah perintahkan untuk ditegakkan, seperti shalat lima waktu dan yang lainnya. Orang yang ingin melaksanakan shalat, maka dia shalat sendirian dan orang yang meniggalkannya pun tidak diingkari, begitu juga zakat. Ini adalah hal yang masyhur, terkenal lagi didengar orang di banyak wilayah negeri: Syam, ‘Irak, Mesir dan wilayah-wilayah lainnya”. Selesai.[5]

Ini adalah realita keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah secara ringkas, dan barangsiapa tidak merasa cukup puas dengan pernyataan-pernyataan yang lalu tentang penjelasan realita negara ini, maka tidak ada jalan baginya.

Adapun keadaan para sultan Daulah ‘Utsmaniyyah ini –meskipun saya secara global telah mengisyaratkan kepadanya-, maka ia adalah sejenis ini pula. Dan saya akan menuturkan contoh-contoh yang beragam dari para sultannya untuk menjelaskan realita keadaan mereka:

1. Sultan Aurkhan Pertama (meninggal 761 H):

Ia adalah sultan ke dua dinasti Daulah ‘Utsmaniyyah setelah ayahnya ‘Utsman (‘Utsman pertama yang meninggal tahun 726 H), dan kekuasaannya berlangsung selama 35 tahun, di mana sultan ini adalah berpaham shufi thariqat Baktasyiyyah.[6]

Thariqat Baktasyiyyah ini –di mana ia telah sering disebut dalam banyak tempat– adalah thariqat shufiyyah yang berpaham syi’ah bathiniyyah yang dirintis oleh (Khankar Muhammad Baktasy Al Khurasaniy) dan ia menyebarkannya di Turki tahun 761 H, dan thariqah ini adalah campuran dari ‘aqidah Wihadul Wujud, peribadatan kepada para syaikh dan pentuhanan mereka, serta campuran dari aqidah Rafidlah dalam pengkultusan para imam. Mereka itu memiliki sikap ghuluw terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam –yang mengeluarkan dari Islam-, dan di antaranya adalah ucapan si thalib (anggota jama’ah) dan si murid bila ingin masuk bergabung ke dalam thariqat:

“جئت بباب الحق بالشوق سائلاً ، مقراً به محمداً وحيدراً ، وطالب بالسر والفيض منهما ، ومن الزهراء وشبير شبراً” ثم يقول : “وبالحب أسلمت الحشا خادماً لآل العباس ، وملاذي هو الحاج بكتاش قطب الأولياء “ويقول لشيخه :”وجهك مشكاة وللهدى منارة ، وجهك لصورة الحق إشارة ، وجهك الحج والعمرة والزيارة ، وجهك للطائعين قبلة الإمارة ، وجهك للقرآن موجز العبارة”

Saya datang di pintu Al Haq dengan penuh kerinduan seraya memohon lagi mengakuinya sebagai Muhammad dan Haidar, lagi meminta dari keduanya (bagian) dari rahasia dan pancaran, dan (meminta) dari Az Zahra dan Syabir walau sejengkal” terus mengatakan” Dan dengan penuh kecintaan saya serahkan diri ini sebagai pelayan bagi keluarga Al ‘Abbas, dan tempat berlindung hamba adalah Al Hajj Baktasy quthubul auliya” dan dia berkata kepada gurunya “ Wajahmu adalah lentera, dan bagi petunjuk (ia) adalah menara, dan wajahmu adalah isyarat untuk wajah Al Haq (Allah), wajahmu adalah haji dan umrah serta ziarah, wajahmu bagi orang-orang yang tunduk adalah kiblat kepemimpinan, dan wajahmu bagi Al Qur’an adalah ringkasan ungkapan”

Dan wirid-wirid Baktasyiyyin adalah di atas ‘aqidah Rafidlah Itsna ‘Asyariyyah, dan mereka itu di dalam ‘aqidahnya banyak mengandung wirid-wirid bathiniyyah dan cara-cara ziarah yang bermuatan syirik yang sangat masyhur.[7]

2. Sultan Muhammad Ke Dua (Al Fatih) (meninggal 886 H):

Ia adalah tergolong sultan daulah ini yang paling terkenal, dan kekuasaannya berlangsung selama 31 tahun:

A. Sesungguhnya ia setelah menaklukan Kostantinopel tahun 857 H menyingkap tempat kuburan Abu Ayyub Al Anshari radliyallaahu ‘anhu dan ia membangun bangunan di atasnya, dan ia membangun mesjid di pinggirnya dan menghiasi mesjid itu dengan marmer putih serta membangun kubah di atas bangunan kuburan Abu Ayyub. Adalah di antara kebiasaan orang-orang ‘Utsmani di saat mereka mulai menjabat sebagai sultan, mereka itu datang di dalam rombongan yang megah menuju mesjid itu kemudian sultan yang baru masuk ke dalam bangunan kuburan tersebut terus menerima pedang sultan (‘Utsman Pertama) dari syaikh (Thariqat Mulawiyyah).[8]

B. Sultan inilah yang pertama kali meletakan dasar-dasar Undang-Undang Sipil dan Undang-Undang Pidana, di mana dia mengganti hukuman-hukuman syari’at yang bersifat fisik yang ada di dalam Al Kitab dan As-Sunnah – yaitu qishash gigi dengan gigi, dan mata dengan mata – dan dia menggantinya dengan denda-denda yang berbentuk uang dengan tata cara yang jelas yang disempurnakan oleh sultan Sulaiman Al Qanuniy.[9]

C. Sebagaimana dia menggulirkan undang-undang –yang diberlakukan sesudahnya-, yaitu bahwa setiap sultan yang menjabat kekuasaan adalah harus membunuh semua saudara-saudaranya!! agar singgasana mulus baginya.[10]

3. Sultan Sulaiman Al Qanuniy (meninggal tahun 974 H):

Dan ia juga termasuk sultan daulah ini yang paling masyhur, dan ia berkuasa kira-kira selama 46 tahun:

A. Dia tatkala masuk ke Baghdad membangun bangunan di atas kuburan Abu Hanifah serta membangun kubah di atasnya, dan ia menziarahi tempat-tempat yang disucikan kaum Rafidlah di Najaf dan Karbala, serta dia membangun kembali apa yang pernah roboh darinya.[11]

B. Sebagaimana dia digelari Al Qaununiy, karena dia adalah orang pertama yang memasukan undang-undang Eropa kepada kaum muslimin dan menjadikannya sebagai undang-undang yang dipakai resmi di lembaga-lembaga hukum (mahkamah), dan dia dalam hal itu telah disemangati oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.[12]

4. Sultan Salim Khan Ke Tiga (meninggal tahun 1223 H):

Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah berkata di dalam risalahnya kepada gubernur Baghdad yang lalu yang telah kami isyaratkan kepadanya: “Dan keadaan kalian dan keadaan para pemimpin dan para sultan kalian adalah menjadi saksi terhadap kebohongan dan kedustaan kalian di dalam hal itu –yaitu di dalam pengklaiman mereka sebagai orang muslim– di mana kami saat membuka kamar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mulia semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada yang berada di dalamnya, tahun dua puluh dua kami mendapatkan sebuah surat milik sultan kalian (Salim) yang dikirimkan oleh saudara sepupunya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya dia beristighatsah dengannya dan memohon kepadanya serta meminta kemenangan terhadap musuh kepadanya, di mana di dalamnya terdapat penundukan diri, pemasrahan diri dan kekhusyuan (kepada Rasulullah) yang menjadi saksi terhadap kebohongan kalian. Dan inilah awal surat itu:

من عُبَيْدك السلطان سليم ، وبعد : يا رسول الله قد نالنا الضر ونزل بنا المكروه ما لا نقدر على دفعه ، واستولى عبّاد الصلبان على عبّاد الرحمن !! نسألك النصر عليهم والعون عليهم

Dari hambamu Sultan Salim, wa ba’du: Wahai Rasulullah, kami telah tertimpa bahaya dan hal yang tidak disukai telah menimpa kami, hal yang tidak mampu kami hadapi, dan para penyembah salib telah menguasai hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah!! Kami memohon kepadamu kemenangan dan bantuan terhadap mereka.”

Dan dia menuturkan ungkapan yang banyak yang mana ini adalah inti dan maknanya, maka lihatlah kepada kemusyrikan yang besar ini dan kekafiran kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengetahui, yang tidak pernah diminta oleh kaum musyrikin dahulu dari tuhan-tuhan mereka Latta dan ‘Uzza, di mana sesungguhnya mereka bila tertimpa bencana maka mereka memurnikan ketundukan kepada Allah Pencipta manusia.[13]

5. Sultan Abdul Hamid Ke Dua (Meninggal tahun 1327 H):

Sultan ini adalah orang shufi yang sangat ta’ashshub (fanatik) terhadap thariqat Syadzaliyyah, dan inilah buktinya surat dia kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah di zamannya, di mana dia berkata di dalam suratnya itu:

” الحمد لله ….أرفع عريضتي هذه إلى شيخ الطريقة العلية الشاذلية ، وإلى مفيض الروح والحياة !! ، شيخ أهل عصره الشيخ محمود أفندي أبي الشامات وأقبل يديه المباركتين ، راجياً دعواته الصالحات ، سيدي : إنني بتوفيق الله تعالى أدوام على قراءة الأوراد الشاذلية ليلاً ونهاراً ، وأعرض أنني لا زالت محتاجاً لدعواتكم القلبية بصورة دائمة”

“Segala puji bagi Allah… saya menyampaikan surat pengaduan saya ini kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah yang agung dan kepada yang melimpahkan ruh dan kehidupan!! syaikh ahli zamannya yaitu Syaikh Mahmud Afandi Abu Asy Syamat, dan saya mencium kedua tangannya yang penuh barakah, seraya mengharapkan doanya yang saleh. Tuanku: Sesungguhnya saya dengan taufiq Allah Ta’ala selalu membaca wirid-wirid Syadzaliyyah malam dan siang, dan saya sampaikan bahwa saya senantiasa selalu terus membutuhkan kepada doa-doa paduka yang berasal dari hati”[14]

Thariqat Syadzaliyyah ini adalah thariqat shufiyyah quburiyyah syirkiyyah yang ajarannya berisi kekafiran-kekafiran yang nyata lagi jelas yang sebagiannya saja cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam jajaran orang-orang kafir penyembah berhala.[15] [16]

Adapun permusuhan dinasti ‘Utsmaniyyah terhadap tauhid, maka ini adalah kisah yang sangat masyhur, di mana mereka telah memerangi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah sebagaimana yang telah terkenal.

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka” (At Taubah: 32).

Mereka mengirimkan berkali-kali gelombang pasukan untuk memerangi ahli tauhid sampai akhirnya mereka mengarahkan serangannya ini dengan menghancurkan kota Dir’iyyah ibu kota Dakwah Salafiyyah tahun 1233 Hijriyyah.[17] Dan orang-orang ‘Utsmaniyyah ini di dalam peperangannya terhadap tauhid, mereka telah meminta bantuan dari saudara-saudara mereka yang beragama nashrani, di mana sebagian pengkaji sejarah telah menemukan di Eropa berbagai dokumen kerjasama antara Napoleon Bonaparte kaisar Prancis dengan Al Baba Al ‘Aliy –penguasa ‘Utsmaniyyah– khusus prihal menghadapi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan tindakan yang semestinya dilakukan untuk menghadapinya sebagai ancaman bahaya terhadap kepentingan-kepentingan mereka di kawasan timur.[18]

Di dalam peperangan-peperangan ‘Utsmaniyyah terhadap ahli tauhid telah terjadi berbagai kejahatan perang yang melebihi kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang salibis, dan inilah sebagian contohnya:

  1. Daulah ‘Utsmaniyyah ingin menyemangati pasukannya untuk membunuhi ahli tauhid, maka ia mengeluarkan keputusan bahwa setiap tentara akan mendapatkan bonus sesuai jumlah korban yang dibunuhnya, dan si tentara harus membuktikan pembunuhannya tersebut, dan itu dengan cara memotong telinga-telinga si korban serta mengirimkannya ke Istanah, ibu kota, maka mereka melakukan hal itu di Al Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dlarma dan kota lainnya.[19]
  2. Adapun penghancuran pemukiman dan perkotaan dan bahkan pembakaran banyak mesjid yang mereka lakukan, maka tidak usah diceritakan lagi.[20]
  3. Dan di antara kejahatan-kejahatan mereka adalah bahwa mereka itu menawan wanita dan anak-anak –dari kalangan ahli tauhid– dan kemudian mereka menjualnya. Al Jibritiy berkata di dalam Tarikh-nya: “Dan bulan Shafar dimulai dengan hari Jum’at tahun 1235 H… dan di bulan hari itu tibalah sekelompok dari pasukan Magharibah (kawasan barat) dan pasukan arab yang dahulunya mereka itu ada di kawasan Hijaz, dan mereka itu disertai dengan tawanan-tawanan wanita, gadis-gadis dan anak-anak kecil dari kalangan Wahhabiyyah. Pasukan itu singgah di Hamayil dan mulailah mereka menjual para tawanan itu kepada orang-orang yang ingin membelinya, padahal mereka itu adalah orang-orang muslim dan merdeka”. Selesai.[21]
  4. Dan saya akhiri hal itu dengan suatu kejadian yang diriwayatkan oleh ahli sejarah berkebangsaan Rusia, di mana dia berkata: “Di tahun 1818 M –yaitu tahun 1234 H– Abdullah[22] dipindahkan lewat jalan Kairo ke Istanah dengan ditemani dua orang terdekatnya di awal bulan Kanun pertama –Desember– dan kedutaan Rusia mendapatkan penjelasan dari Istanah: Pekan yang lalu telah dipenggal kepala pemimpin Wahhabiyyin, menterinya dan imamnya[23] yang telah ditawan di Dir’iyyah dan baru dipindahkan ke ibu kota. Dan dalam rangka mengungkapkan rasa kegembiraan lebih atas kemenangannya terhadap musuh bebuyutan kedua kota yang dianggap sebagai sumber Islam, maka sultan memerintahkan di hari ini untuk diadakan majelis di istana lama di ibu kota dan mereka menghadirkan ketiga tawanan tersebut ke istana dalam keadaan dibelenggu dengan rantai yang sangat berat serta dikelilingi oleh para penonton. Dan setelah upacara kenegaraan selesai maka sultan memerintahkan untuk mengeksekusi mati mereka, maka leher si pimpinan dipenggal di depan pintu utama syaikh shufi yang diagungkan, dan leher menterinya dipenggal di depan pintu gerbang, serta leher orang yang ke tiga dipenggal di salah satu pasar utama ibu kota. Dan jasad mereka dipamerkan sedang kepalanya berada di bawah ketiaknya, dan setelah tiga hari maka mereka melemparkan jasad-jasadnya itu ke laut. Dan paduka yang mulia memerintahkan shalat umum dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kemenangan pasukan sultan dan atas pemusnahan kelompok yang telah merusak Mekkah dan Al Madinah dan telah menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin serta menjerumuskan mereka ke dalam bahaya”.[24]

[1]Orang-orang yang membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah mengatakan bahwa peperangan daulah ini terhadap dakwah salafiyyah adalah peperangan yang bermuatan politik, padahal keadaan yang sebenarnya adalah tidak seperti apa yang mereka klaim, namun justeru ia adalah peperangan ‘aqidah yang mereka mulai dengan sandaran fatwa dari ulama quburiyyun mereka. lihat (Hasyiyah Ibni ‘Abidin 4/262).

[2] Semua thariqat ini berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali, bahkan di atas prinsip syirik di dalam rububiyyah yang diakui oleh kaum musyrikin arab dahulu, dan hal itu nyata jelas di dalam keyakinan-keyakinan kaum shufi terhadap Ghauts, Aqthaab, Abdaal dan yang lainnya yang menurut mereka bahwa mereka (para wali yang mereka kultuskan) itu ikut mengatur alam. Dan silahkan rujuk apa yang ditulis Syaikhul Islam tentang shufiyyah serta dialog beliau dengan para pengikut thariqat Rifa’iyyah (Al Fatawa jilid 11) dan silahkan rujuk apa yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Dhahir tentang shufiyyah dan tentang thariqat-thariqat ini serta kemusyrikan-kemusyrikannya di dalam kitabnya (Diraasaat Fish Shufiyyah) dan apa yang ditulis As-Sindi di dalam kitabnya (At Tashawwuf Fi Mizanil ‘Ilmi Wat Tahqiq) serta apa yang ditulis oleh Al Wakil Di dalam kitabnya (Hadzihi Hiyash Shufiyyah) dan akan datang insya Allah rincian terhadap sebagian thariqat-thariqat ini.

[3] Tashawwuf seluruhnya adalah muhdats lagi bid’ah, dan tidak ada yang namanya tashawwuf sunni, dan nanti akan ada rincian tentang thariqat ini.

[4] Raudlatul Afkar hal 5 dan sesudahnya.

[5] Ad Durar Assaniyyah 1/381.

[6] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:123, dan (Al Fikru Ash Shufiy) hal: 411. Baktasyiyyah ini kadang disebut Bakdasyiyyah dan Bakthasyiyyah. Dan sultan ini sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli sejarah adalah bahwa dia itu telah membantu raja Romawi untuk memerangi raja Serbia karena janji raja Romawi kepadanya bahwa ia akan menikahkannya dengan puterinya. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:125.

[7] Lihatlah secara rinci di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufi Fi Dlauil Kitab Was Sunnah) hal 409-424.

[8] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64.

[9] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177, dan (Fathul Qasthinthiniyyah Wa Muhammad Al Fatih) hal 177.

[10] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64, dan ia telah memulai kekuasaannya dengan membunuh Ahmad saudara sesusuannya! (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 161.

[11] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/25, dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 223.

[12] Lihat (Waqi’unal Mu’ashir) hal 160, dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.

[13] Ad Durar Assaniyyah hal 160 dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.

[14] Lihat (Imamut Tauhid) milik Ahmad Al Qaththan dan Muhammad Az Zain hal 148, dan (Ath Thariq Ilaal Jama’ah Al Umm) hal 56, serta (Majallah Al ‘Arabiy) Kuwait yang busuk, edisi 157-169.

[15] Silahkan lihat bentuk-bentuk kemusyrikan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah mereka itu di dalam kitab (Dirasat Fit Tashawwuf) hal: 235, dan (At Tashawwuf Fi Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq) hal 327.

[16] Adapun berita-berita tentang negara ini bersama kaum yahudi dan nashrani serta orang-orang kafir lainnya di dalam sikaf tawallinya kepada mereka dan bantuannya bagi mereka dan bahkan sikapnya mensetarakan orang-orang kafir itu dengan kaum muslimin, maka berita semacam ini adalah sangat banyak sekali. Bila engkau mau maka silahkan tela’ah kitab (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) dan kitab (Ad daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah…) dan perjalanan sultan dinasti ‘Utsmaniyyah adalah tidak lepas dari hal itu. Dan sebagai contoh silahkan lihat sirah (perjalanan) Abdul Majid Ibnu Mahmud di mana dia mengeluarkan dekrit (Farman Al Kalkhanah) tahun 1255 H di mana di dalamnya dia menetapkan kebebasan pribadi dan kebebasan berfikir serta dia menyamakan antara non muslim dengan kaum muslimin. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 455, dan (Al Islam Wal Hadlarah Al Gharbiyyah) hal 15.

[17] Untuk melihat kejahatan-kejahatan mereka silahkan lihat ‘Unwanul Majdi 1/157.

[18] Pengantar ‘Athiyyah Salim terhadap kitab Al Imam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab karya Ibnu Baz, sedangkan pengkaji adalah Ahmad Ath Thawil saat membuat desertasi Doktor.

[19] Silahkan lihat rincian hal itu di dalam Tarikh Al ‘Arabiyyah Assu’udiyyah milik ahli sejarah Rusia Basiliyev hal 173, 176, 183, dan 184.

[20] Lihat hal itu di dalam ‘Unwanul Majdi 1/157-219 dan di dalam referensi yang lalu juga.

[21] Tarikh ‘Ajaibul Atsar 3/606, tapi perlu hati-hati dari kitab ini, karena sesungguhnya Al Jibriti sebagaimana nampak di dalam Tarikh-nya itu adalah orang shufiy khalwatiy yang mengkultuskan kuburan dan para wali bahkan orang-orang mulhid juga dikultuskan, seperti Ibnu ‘Arabi yang zindiq.

[22] Al Imam Abdullah Ibnu Su’ud Ibnu Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud akhir imam di daulah Su’udiyyah fase pertama.

[23] Steward menuturkan di dalam Hadlirul ‘Alam Al Islamiy 4/166: Bahwa keduanya adalah penulis pribadinya dan pemegang amanah kebendarahaannya,” dengan mewaspadai dari komentar Syakib Arsalan terhadap kitab ini, karena sesungguhnya dia adalah orang nyeleneh yang sesat, sebagaimana hal itu nampak dari pendapat-pendapanya terutama saat berbicara tentang Sanusiyyah.

[24] Tarikh Ad Daulah As-Su’udiyyah milik Basiliyev hal 186.

SURAT SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB KEPADA KAUM MUSLIMIN (TARIKH NEJED 309, SURAT KE-10)

Oleh: Sayikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah

Beliau kirim kepada penduduk Riyad dan Manfuhah, dan saat itu beliau tinggal di Uyainah. Dan beliau kirim juga kepada Abdullah Ibnu Isa Qadliy negeri Dir’iyyah agar memberikan komentar di bawahnya dengan komentar yang di pandangnya perlu supaya hal itu menjadi sebab penerimaan orang–orang jahil dan para pengekor.

Dari Muhammad Ibnu Abdil Wahhab kepada semua kaum muslimin yang sampai kepadanya surat ini.

Asalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh, wa ba’du

Allah ta’ala berfirman: “Dan orang–orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu di terima maka bantahan mereka itu sia–sia saja, di sisi Tuhan mereka, Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras” (Asy Syura: 16). Itu di karenakan sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw agar ia menjelaskan kepada manusia kebenaran dari kebatilan, maka beliau saw menjelaskan kapada manusia apa yang mereka butuhkan dalam urusan agama mereka dengan penjelasan yang sempurna. Dan beliau saw tidak meninggalkan dunia sampai beliau meninggalkan manusia di atas keterangan yang jelas malam nya seperti siang.

Bila engkau telah mengetahui hal itu, maka syaiton–syaiton dari kalangan manusia bejat itu– yang membantah agama Allah setelah agama itu di terima–bila mereka melihat orang yang mengajari manusia syahadat laa ilaaha illallaah yang di perintahkan Muhammad saw dan apa yang beliau larang berupa pengultusan makhluk–makhluk yang shaleh dan yang lainnya, maka mereka bangkit membantah dan membuat pengkaburan terhadap manusia serta mengatakan: Bagaimana kalian mengkafirkan kaum muslim? bagaimana kalian menghina orang–orang yang sudah meninggal? keluarga si fulan ini suka memuliakan tamu, keluarga si fulan ini suka melakukan ini dan itu…” dan maksud mereka dengan sikap ini agar tidak jelas makna laa ilaaha illallah dan agar tidak jelas pengkultusan sholihin perihal manfaat dan madlarat serta penyeruan mereka itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah; terus (supaya manusia tidak) mengatakan kepada mereka: sesungguhnya kalian sebelum itu adalah orang-orang bodoh, kenapa kalian tidak memerintahkan hal itu kepada kami?.

Dan saya mengabarkan kepada kalian tentang diri saya: Demi Allah yang tidak ada ilah (yang hak) kecuali Dia, sungguh saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya mnyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya saat itu tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan saya tidak mengetahui dienul Islam sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara mereka mengetahui hal itu. Barang siapa yang mengkalaim dari kalangan ulama “ ‘Aridl” bahwa dia mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini,atau mengklaim bahwa salah seorang dari guru-gurunya ada yang mengetahui hal itu, maka dia teklah dusta, mengada-ada dan membuat pengkaburan terhadap manusia serta memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya,. Ssedangkan buti dari hal ini adalah bahwa Abdullah Ibnu Isa- kami tidak mengetahui seorangpun yang lebih hebat darinya di kalangan ulama Nejed, ulama ‘Aridl dan daerah lainnya- (mengetahui hal itu), dan ini ucapannya akan sampai kepada kalian Insya Allah. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai hamba-hamba Allah, janganlah kalian takabbur terhadap Rabb dan Nabi kalian,dan memujilah kepada-Nya SWT yang telah mengkaruniakan kepada kalian dan telah memudahkan bagi kalian orang yang telah memperkenalkan kepada kalian ajaran Nabi kalian saw, serta janganlah kalian tergolong orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu jahannam, mereka masuk kedalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.

Bila kalian telah mengetahui hal itu, maka ketahuilah ucapan seseorang, “Laa Ilaaha Illallah” itu adalah nafyun (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yaitu penetapan uluhiyyah seluruhnya bagi Allah saja, dan penafiannya dari para Nabi, shalihin dan yang lainnya. Dan makna ilahiyyah itu bukan bahwa tidak ada yang menciptakan, tidak ada yang memberikan rizky, tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menghidupkan dan tidak ada yang mematikan keculai Allah, karena sesungguhnya orang–orang kafir yang diperangi Rasulullah Saw juga mengakui akan hal ini sebagaimana firman-Nya Ta’ala: ”Katakanlah: siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi atau sipakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? maka mereka akan menjawab: “Allah” Maka katakanlah: “ Maka kenapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?“ (Yunus: 31), maka bertafakurlah wahai hamba–hamba Allah tentang apa yang Allah sebutkan tentang orang–orang kafir itu, bahwa mereka itu mengakui hal ini semuanya milik Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, akan tetapi kemusyrikan mereka itu adalah karena mereka menyeru para Nabi dan Shalihin, memohon pertolongan kepada mereka, bernadzar untuk mereka dan bersandar kepada mereka seraya menginginkan dari mereka itu bahwa merekalah yang mendekatkan diri mereka itu kepada Allah, sebagaimana yang Allah utarakan perilah mereka itu dalam firman-Nya ta’ala: “Dan orang–orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata): “kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat–dekatnya.” (Azzumar: 3).

Bila kalian mengetahui hal itu, maka para thoghut yang dikutuskan banyak manusia dari penduduk Kharj dan yang lainnya itu adalah masyhur dengan perbuatan itu di kalangan khusus maupun di kalangan umum, dan bahwa mereka itu memposisikan dirinya untuk hal itu serta memerintahkan manusia untuk melakukannya, (maka) semua mereka itu adalah kuffar murtaddun dari Islam. Barang siapa membela–bela mereka, atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirklan mereka, atau mengklaim bahwa perbuatan mereka ini meskipun memang batil namun tidak sampai mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status minimal orang yang membel-bela ini adalah fasiq, yang tidak diterima tulisannya dan kesaksiannya serta tidak boleh shalat dibelakangnya, bahkan justru dienul Islam tidak sah kecuali dengan berlepas diri dari mereka itu dan mengkafirkannya, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Barang siapa kafir kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah memegang buhul tali yang amat kokoh” (Al baqarah: 256).

Dan yang membenarkan hal ini adalah bahwa bila kalian melihat orang yang menyelisihi pendapat ini dan mengingkarinya, maka ia tidak lepas (dari keadaan): Bisa jadi ia mengklaim bahwa bahwa dia menetahui, katakana kepada dia: hal besar ini tidak bisa dilalaikan, maka jelaskan keapada kami apa yang membuktikan kebenaran kamu dari ucapan ulama bila kamu tidak mengetahui firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Kemudian bila dia mengklaim bahwa dia memiliki dalil, maka katakan kepada dia: Tulislah hal itu sehingga kami bisa menyodorkannya kehadapan ahli ilmu dan bisa nampak jelas dihadapan kami bahwa kamu di atas kebenaran sehingga kami mengikutimu, karena Nabi kami saw telah menjelaskan kepada kita al haq dari al bathil.

Dan bila orang yang membela-bela (para thoghut) ini mengakui kebodohannya dan tidak mengakui memiliki ilmu, maka bagaimana kalian wahai hamba-hamba Allah ridlo dengan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka serta mengeluarkan kalian dari Islam, karena mengikuti seorang yang mengatakan: sesungguhnya saya mengetahui,” kemudian bila kalian meminta dalil kepadanya, ternyata kalian mengetahui bahwa dia itu tidak memiliki sedikitpun ilmu ; atau karena mengikuti seorang yang bodoh, serta kalian berpaling dari taat kepada Rabb kalian serta dari apa yang telah dijelaskan oleh Nabi kalian saw dan ahli ilmu sesudahnya? Dan ingatlah apa yang telah Allah ceritakan kepada kalian dalam kitab-Nya mudah-mudahan kalian mengambil pelajaran, di mana firman Dia berfirman “Dan sesungguhnya kami telah mengutus kepada (kaum) tsamud saudara mereka shaleh (yang berseru): “Sembahlah Allah”. Tetapi tiba–tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan (An–Naml: 45). Dan mereka itu telah Allah binasakan dengan petir, sedangkan kalian sekarang bila datang pada kalian orang yang memberitahukan perintah Rasulullah saw kepada kalain, tiba-tiba kalian jadi dua golongan yang bermusuhan, maka apakah kalian tidak takut ditimpa adzab seperti apa yang telah menimpa mereka?

Wal hasil bahwa masalah–masalah tauhid bukanlah tergolong masalah–masalah yang khusus bagi para ulama (ustad-ustad), namun justru mengkajinya atau mempelajarinya fardlu lagi harus atas setiap orang alim dan orang jahil, orang yang sedang ihram dan tidak, serta laki–laki maupun perempuan. Dan saya tidak mengatakan kepada kalian: Ta’atilah saya “Namun saya katakan kepada kalian: bila kalian telah mengetahui bahwa Allah telah menganugerahkan dan mengkaruniakan nikmat atas kalian dengan muhammad saw dan para ulama sesudahnya maka tidak segogyanya kalian membangkang kepada muhammad saw.

Sedangkan ucapan kalian: sesungguhnya kami mengkafirkan kaum muslimin bagaimana kalian melakukan ini? bagaimana kalian melakukan itu? maka sesungguhnya kami tidak mengkafirkan kaum muslimin, akan tetapi kami hanya mengkafirkan para pelaku syirik (musyrik). Dan begitu juga diantara manusia yang paling sesat adalah kaum shufi di daerah Mi’kal dan daerah lainnya, seperti: anak Musa Ibnu Jau’an, Salamah Ibnu Nafi dan lain–lainnya, yang mana mereka itu mengikuti paham Ibnu ‘Arabiy dan Ibnul Faridl. Sedangkan para ulama menuturkan bahwa Ibnu ‘Arabiy itu termaksud tokoh para penganut paham ittihadiyyah dan mereka itu lebih dahsyat kekafirannya daripada yahudi dan nashrani; maka setiap orang yang tidak masuk ke dalam ajaran (dien) Muhammad saw dan tidak berlepas diri dari paham ittihadiyyah maka dia kafir lagi berlepas diri dari Islam, dan tidak sah sholat dibelakangnya serta tidak diterima kesaksiannya

Dan yang sangat mengherankan adalah bahwa orang yang mengaku berlimu mengklaim bahwa saya tidak mengetahui firman Allah dan sabda Rasun-Nya, bahakan dia mengklaim bahwa saya tidak mengetahui ucapan ulama muta’akhkhirin seperti <> dan yang lainnya, sedangkan penulis Al Iqna telah menuturkan bahwa barangsiapa ragu terhadap kekafiran para tokoh dan para masyayikh itu maka dia kafir. Subhanallah…!!! Bagaimana mereka menuturkan banyak hal dalam kitab mereka: bahwa orang yang melakukannya telah kafir,”Dan bersama ini semua mereka mengatakan: Kami inilah orang-orang yang mengetahui dan kamilah pihak yang benar…!!! Namun mereka enggan dari menghadirkannya. Apa dalam hal ini tidak terdapat suatu yang menunjukkan kebodohan dan kesesatan mereka? .

Dan begitu juga di antara bukti kebodohan dan kesesatan mereka itu adalah mereka bila melihat orang yang mengajarkan syahadat Laa Ilaaha Illallah kepada para orang tua dan anak-anak mereka atau orang-orang badui, maka mereka mengatakan: katakana kepada mereka tinggalkanlah yang haram”, dan ini adalah karena sebab dahsyatnya kebodohan mereka, sesungguhnya mereka itu tidak mengetahui kecuali kezaliman kepada harta, dan adapun kezaliman syirik maka mereka tidak mengetahuinya padahal Allah ta’ala telah berfirman “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar” (Luqman:13). Dan mana kezaliman-yang bila seseorang melontarkan suatu ucapan darinya, atau memuji para thoghut atau membela-bela mereka maka dia keluar dari Islam meskipun dia itu rajin sholat dan shoum- bila dibandingkan dengan kezaliaman yang tidak mengeluarkan dari Islam, namun ia itu bisa diselesaikan terhadap yang berhak dan bisa saja Allah mengampuninya? sesungguhnya di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat besar.

Dan secara umum, semoga Allah merahmati kalian, bila kalian telah mengetahui yang lalu (yaitu) bahwa Nabi kalian saw telah menjelaskan ajaran ini semuanya, maka ketahuilah bahwa syaithon-syaithon (manusia) itu telah menghalalkan banyak hal yang haram dalam masalah riba dan jual beli serta yang lainnya, dan mereka telah mengharamkan atas kalian banyak hal yang halal, serta mereka telah mempersempit apa yang telah Allah lapangkan. Kemudian bila kalian melihat perbedaan maka bertanyalah tentang apa yang di perintahkan Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mentaati saya dan orang selain saya.

Wa Salaamun ‘Alaikum Warahmatullah

KOMENTAR

ABDULLAH IBNU ISA QADLI KOTA DIR’IYYAH

Segala puji hanya bagi Allah yang telah membimbing kami kepada Islam, serta memberikan karunia kepada kami dengan (nikamat) ittiba’ Kepada Muhammad,wa ba’du:

Hamba yang faqir kepada Allah ta’ala Abdullah Ibnu Isa Ibnu Abdirrahman berkata:

Sesungguhnya kewajiban paling pertama atas setiap laki–laki dan wanita adalah mengetahui syahadat “Laa Ilaaha Illallah” wahdahu laasyarika lah, yang dengannya Allah mengutus seluruh rasul–rasul-Nya, dan dia menurunkan kitab–kitab-Nya yang paling besar atas hamba–hamba-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya dalam banyak tempat, di anatranya firman Allah Ta’ala “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang hak) kecuali Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku) (Al Anbiya: 25) dan firman-Nya Ta’ala “Dia menurunkan malaikat dengan (membawa wahyu dengan perintah-Nya, yaitu: “peringatan olehmu sekalian, bahwasannya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku maka hendaklah kamu bertakwa kepadaku”. (An – Nahl: 2) dan firmanNya Ta’ala: “dan di antara umat itu ada orang–orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang–orang yang telah pasti kesesatan baginya) (An Nahal: 36).

Dan Allah telah memerintahkan hamba–hambaNya untuk memenuhi panggilan kalimat ini. Dia berfirman: “Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah sesuatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) mengingkari dosa–dosa” (Asy Syara: 47). Dan Allah Ta’ala mengancam makhluk yang paling utama dan paling agung, penghulu anak Adam dan penghulu para Nabi sebelumnya, atas penyelisihan terhadap hal itu, Dia berfirman: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang–orang sebelummu: “Sungguh andai kata kamu berbuat syirik tentu terhapuslah amalan kamu dan tentulah kamu tergolong orang–orang yang merugi” (Az Zumar: 65) maka bagaimana dengan orang-orang selain mereka? dan Dia ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nereka yang bahan bakarnya dalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (At Tahrim: 6). Barang siapa jujur kepada dirinya, keluarganya, karib kerabatnmya, serta menginginkan keselamatan dari api neraka, maka hendaklah ia mengetahui syahadat “Laa Illaha Illallah”, karena sesungguhnya ia adalah al urwah al wutsqa (buhul tali yang sangat kokoh) dan kalimat Takwa, Allah tidak menerima dari seorangpun amalan apa saja kecuali dengan hal itu: (tidak diterima) baik itu sholat, shaum, haji, sodakah dan seluruh amal saleh keculai dengan memahami makna “Laa Illaha Illallah” dan mengamalkannya.

Ia adalah kalimat tauhid dan hak Allah atas hamba–hamba-Nya; barang siapa yang menyekutukan makhluk di dalamnya baik itu malaikat yang dengan Allah, atau Nabi yang diutus atau wali atau sahabat dan yang lainnya, atau orang yang sudah dikubur atau jin atau yang lainnya; atau dia istighatsah dengannya, atau memohon pertolongan kepadanya dalam suatu yang tidak diminta kecuali dari Allah, atau dia nadzar untuknya, atau membuat tumbal baginya, atau tawakkal kepadanya, atau berharap kepadanya, atau menjadikannya sebagai perantara antara dia dengan Allah untuk pemenuhan kebutuhannya atau peraihan manfaat atau pelenyapan bahaya,maka dia kafir seperti kekafiran para penyembah berhala yang mengatakan “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (Az Zumar: 3) yang mengatakan “mereka itu adalh pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (Yunus: 18) sebagaimana yang Allah tuturkan tentang mereka dalam kitab-Nya. Dan mereka itu kekal di dalam neraka meskipun mereka itu shoum, sholat,dan melakukan amalan ketaatan kepada Allah siang dan malam, sebagaimana firman Allah ta’ala “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam ; mereka kekal didalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk“ (Al Bayyinah: 6), dan ayat-ayat lainnya. Dan begitu juga orang yang memposisikan dirinya untuk sesuatu dari peribadatan itu, atau melindunginya atau membelanya, maka dia telah musyrik dengan syirik yang tidak di ampunidan tidak di terima serta tidak sah darinya segala bentuk amal sholeh; baik itu shoum, haji maupun yang lainnya, karena “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya” (An Nisa: 48) dan Dia tidak menerima amalan kaum musyrikin.

Allah SWT telah melarang Nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya dari berdebat “untuk membela) orang yang melakukan dosa di bawah syirik dengan firman-Nya “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa” (An Nisa: 107), maka bagaimana dengan orang yang berdebat (untuk membela) para pelaku syirik, dan menghalangi dari ajaran Rabbul ‘Alamin?

Wahai hamba–hamba Allah, takutlah kalian kepada Allah, janganlah kalian tertipu oleh orang yang tidak mengetahui syahadat “Laa Ilaaha Illallah” dan dia berlumuran dengan kemusyrikin sedang dia tidak sadar; sungguh telah berlalu mayoritas kehidupan saya sedang saya tidak mengetahui dari macam–macam syirik itu apa yang saya ketahui hari ini. Maka segala puji bagi Allah atas ajaran-Nya yang telah diajarkan kepada kita.

Dan janganlah kalian merasa kecut dengan realita bahwa hal ini adalah asing pada hari ini, karna Nabi kalian Saw telah mengatakan: “Al Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan ia akan kembali asing seperti semula) dan ambilah pelajaran dari do’a ayah kita Ibrahim ‘alaihis salaam dengan ucapannya dalam do’anya: “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari pada menyembah berhala–berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala–berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia” (Ibrahim: 35-36).

Dan seandainya tidak karena sempitnya lembaran ini– dan bahwa karena syaikh Muhammad telah panjang lebar mengutarakan kaidah ini dalam urainnya yang lalu– tentu kami akan berbicara panjang lebar.

Adapun Ibnu ‘Arabiy penganut paham ittihadiyyah penulis kitab Al Fushush yang menyelisihi nushush dan Ibnu faridl yang memerangi agama Allah dan yang membenturkan Al Haq dengan Al Bathil, maka barang siapa menganut paham mereka itu maka dia telah mencari jalan selain jalan Rasul dan meniti jalan orang–orang yang dimurkai dan orang–orang yang sesat yang menyelisihi syari’at penghulu para Rasul, karena sesungguhnya Ibnu ‘Arabiy dan Ibnul Faridl menganut paham–paham yang membuat kafir mereka berdua, dan mereka berdua telah dikafirkan oleh banyak ulama amilin. Mereka itu mengutarakan ucapan yang saya khawatirkan murka dari Allah dalam penuturannya, apalagi orang yang menganutnya. Bila orang yang menganut paham Ibnu ‘Arabiy dan Ibnul Faridl tidak taubat, maka wajib di hajr (di jauhi) dan dicopot dari jabatannya bila dia itu memiliki jabatan: baik dari statusnya sebagai imam ataupun yang lainnya, karena sholatnya itu tidak sah, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Kemudian bila orang bodoh berkata: saya melihat Abdullah baru berbicara sekarang dalam hal ini, “ Maka hendaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya telah nampak jelas bagi saya sekarang kewajiban jihad dalam hal itu: atas saya dan atas orang selain saya, berdasarkan firman-Nya ta’ala “dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar–benarnya”. Sampai Dia berfirman: “Ikutilah millah orang tuamu Ibrahim” (Al Hajj: 78).

Semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Muhammad dan keluarganya.

Penerjemah berkata: selesai diterjemah 4 muharram 1428 H di sijn Bandung UB 30 Pagi selasa.


Adapun umumnya kaum musyrikin masa sekarang di samping syirik macam itu, mereka jatuh dalam syirik dari sisi pelimpahan wewenang penetapan hukum kapada orang – orang kafir asli dan orang – orang kafir murtad, juga musyrikdari sisi penetapan hukum di samping Allah, serta musyrik dari sisi mengikuti hukum selain hukum Allah, (pent )

Seperti itu juga penyandaran hak khusus Allah, yaitu pembuatan hukum kepada selain Allah atau bisa disebut demokrasi .

Seperti pengkaburan ulama dan du’at kaum musyrikin yang menyamakan demokrasi dengan syura, sehingga dengan hal itu mereka tidak mengkafirkan para pelakunya, bahkan justeru mereka mengganjurkan dan mewajibkannya, seperti yang dilakukan Al Qardlawi dan para pengekornya.

Atau seperti yang dilakukan ahli bid’ah murjiah zaman ini yang berbaju salaf padahal salaf berlepas diri dari mereka, di mana mereka menjadikan kufur akbar pada pemutusan dengan hukaum thoghut sebagai kufurun duna kufrin. (pent).

Adapun umumnya kaum musyrikin masa sekarang disamping syirik macam itu, mereka jatuh dalam syirik dari sisi pelimpahan wewenang penetapan hukum kepada orang-orang kafir asli dan orang-orang kafir murtad, juga muyrik dari sisi penetapan hukum di samping Allah, serta musyrik dari sisi mengikuti hukum selain hukum Allah (pent).

Seperti kemusyrikan mereka adalah kemusyrikan pemerintah RI, di mana mereka memutuskan dengan hukum thoghut (UUD, UU dan yang lainnya) mereka mengaku memiliki sifat ketuhananan yaitu pembuatan hukum dan UU, mereka menganut sistim syirik demokrasi, mereka menganut falsafah kafir pancasila, mereka memerintahkan manusia untuk mengikuti dan taat kepada undang-undang dan ajaran syirik mereka itu serta memenjarakan orang yang melanggar aturan-aturan thoghut itu. Dan hal itu adalah hal yang sudah diketahui semua orang bahkan oleh diri mereka sendir. Maka mereka itu adalah kuffar murtaddun dari Islam.(pent).

Seperti itu pula barangsiapa yang membela-bela pemerintahan RI, atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirannya atau mengklaim bahwa perbuatan pemerintah RI itu meskipun memang bathil namun hanya kufrun duna kufrin yang tidak sampai mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status orang yang membela-bela ini (seperti salafi maz’umdan yang lainnya adalah fasiqyang tidak boleh di terima tulisannya dan kesaksiannya serta tidak boleh sholat dibelakangnya.

Ini vonis bagi kaum salafi maz’um dari Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah yang mana mereka mengklaim mengikuti beliau padahal beliau rahimahullah bara’ dari sikap mereka itu. (pent)

Persis dengan paham ittihadiyyah adalah paham demokrasi di mana paham demokrasi adalah paham yang memberikan sifat ketuhanan kepada seluruh manusia setelah merampas sifat tersebut dari Allah swt. Sifat itu adalah kewenangan hukum dan tasyri’ (pembuatan hukum / uu), sehingga dengan ini demokrasi menjadikan banyak mahkluk sebagai jelmaan tuhan – tuhan pengatur, dan dalam demokrasi perwakilan kewenangan pembuatan hukum ini diwakilkan kepada parlemen / DPR / MPR dsb lewat pemilihan umum. (Pent).

Begitu juga setiap orang yang tidak masuk tunduk kepada ajaran tauhid dan tidak berlepas diri dari paham demokrasi, maka dia kafir sehingga tidak sah shalat bermakmum kepadanya dan tidak diterima kesaksiannya. (Pent).

Atau menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain-Nya sebagaimana sistim demokrasi, atau membuathukum dan undang-undang, atau memutuskan dengan selain hukum Allah, atau mengikuti hukum itu, maka pelakunya kafir sama dengan Abu jahal. (pent)

Orang yang memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum ( para anggota parlemen / DPR/ MPR / dan yang lainnya) atau mencintai para anggota parlemen karena sebab tugasnya, atau aparat para pelindung thoghut atau sistim / falsafah /UUD /UU seperti polisi, tentara, dan dinas intelijennya atau para pelaksan hukum itu seprti aparat kehakiman kejaksaan dan penjara, atau para penyelenggara pesta syirik demokrasi seperti KPU dan yang serupa itu maka mereka itu kafir seperti Fir’aun dan bala tentaranya.( pent)

Sebagaimana yang dilakukan kaum salafi maz’um yang membela para thoghut dan mentahdzir dari tauhid dan para du’atnya yang mereka cap sebagai khawarij?!! (pent).