Selasa, 07 September 2010

Aqidah Islamiyah

1. Pengertian Aqidah

Aqidah dari segi bahasa (etimologis) berasal dari bahasa Arab (AQad) yang bermakna 'ikatan' atau 'sangkutan' atau menyimpulkan sesuatu.

Menurut istilah (terminologis) 'aqidah' berarti 'kepercayaan', 'keyakinan' atau 'keimanan' yang mantap dan tidak mudah terurai oleh pengaruh mana pun sama ada dari dalam atau dari luar diri seseorang.

Pengertian Aqidah dalam Al-Quran adalah keimanan kepada Allah swt yakni mengakui kewujudan-Nya. Dari segi fungsinya Allah SWT berperan sebagai Rabb (pencipta), Malik (Penguasa atau Raja), dan Ilah (sesuatu yang disembah) seperti dapat dilihat dalam surah al-Fatihah ayat 1, 3, 4, surah al-Naas ayat 1, 2, 3. Berdasarkan ayat di atas, Aqidah Islamiyah dapat disimpulkan dengan rumusan Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, dan Tauhid Uluhiyah. Sebagian ulama membaginya menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.

2. Tauhid Rububiyah

Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Allah menciptakan segala sesuatu ..." [Az-Zumar: 62]

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, ..." [Hud : 6]

Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." [Ali Imran: 26-27]

Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah ..." [Luqman: 11]

"Artinya : Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?" [Al-Mulk: 21]

Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." [Al-Fatihah: 2]

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam." [Al-A'raf: 54]

Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menye-kutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya.

"Artinya : Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?"
[Al-Mu'minun: 86-89]

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah:

"Artinya : Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?" [Ibrahim: 10]

Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir'aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:

"Artinya : Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa". [Al-Isra': 102]

Ia juga menceritakan tentang Fir'aun dan kaumnya:

"Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya." [An-Naml: 14]

Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempenga-ruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)."
[Ath-Thur: 35-36]

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.

Hal ini berarti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala .

3. Tauhid Uluhiyah

Yaitu tauhid ibadah, karena ilah maknanya adalah ma'bud (yang disembah). Maka tidak ada yang diseru dalam do'a kecuali Allah, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tidak boleh menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untukNya, dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah kecuali untukNya dan karenaNya semata.

Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah . Karena itu seringkali Allah membantah orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui."
[Al-Baqarah : 21-22]

Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembahNya dan beribadah kepadaNya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan yang lainNya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.

Maka jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemadharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara ber-taqarrub kepadaNya, cara-cara yang bisa membuat ridhaNya dan yang menguatkan hubungan antara dirinya dengan Tuhannya. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid uluhiyah. Karena itu Allah ber-hujjah atas orang-orang musyrik dengan cara ini. Dia juga memerintahkan RasulNya untuk ber-hujjah atas mereka seperti itu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tanganNya berada keku-asaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengeta-hui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al-Mu'minun : 84-89]

"Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; ..." [Al-An'am : 102]

Dia berdalil dengan tauhid rububiyah-Nya atas hakNya untuk disembah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dari pencipta-an manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." [Adz-Dzariyat : 56]

Arti " Ya'buduun " adalah mentauhidkanKu dalam ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka.

Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: 'Allah', ..." [Az-Zukhruf : 87]

"Artinya : Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?', niscaya mereka akan menjawab: 'Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Ma-ha Mengetahui'." [Az-Zukhruf : 9]

"Artinya : Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab: "Allah". [Yunus : 31]

Hal semacam ini banyak sekali dikemukakan dalam Al-Qur'an. Maka barangsiapa mengira bahwa tauhid itu hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq yang mengatur alam, maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para rasul. Karena sesungguhnya ia hanya mengakui sesuatu yang diharuskan, dan meninggalkan sesuatu yang mengharuskan; atau berhenti hanya sampai pada dalil tetapi ia meninggalkan isi dan inti dari dalil tersebut.
Di antara kekhususan ilahiyah adalah kesempurnaanNya yang mutlak dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti tertuju kepadaNya; pengagungan, penghormatan, rasa takut, do'a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara' dan fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah semata. Juga secara akal, syara' dan fitrah, tidak mungkin hal itu boleh ditujukan kepada selainNya.

4. Tauhid Mulkiyah

Yaitu mentauhidkan Allah dalam mulkiyahnya bermakna kita mengesakan Allah terhadap pemilikan, pemerintahan dan penguasaanNya terhadap alam ini. Dialah Pemimpin, Pembuat hukum dan Pemerintah kepada alam ini. Hanya landasan kepemimpinan yang dituntut oleh Allah saja yang menjadi ikutan kita. Hanya hukuman yang diturunkan oleh Allah saja menjadi pakaian kita dan hanya perintah dari Allah saja menjadi junjungan kita.

Dalil :

Katakanlah (wahai Muhammad) : “Wahai Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan, Engkaulah yang memberi kuasa pemerintahan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yang memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang menghina siapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkaulah saja adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
[Ali Imran : 26]

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al Maidah : 50]
Tauhid Mulkiyah menuntuk adanya ke-wala-an secara totalitas kepada Allah, Rasul dan Amirul Mukmin (selama tidak bermaksiat kepada Allah SWT)
Pemimpin (wali)

Wali adalah sebahagian dari sifat-sifat mulkiyatullah. Ia membawa arti sifat penguasaan iaitu sebagai pelindung, penolong dan pemelihara.

"Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an, dan Dia lah jua yang menolong dan memelihara orang-orang yang berbuat kebaikan." [Al A'raaf : 50]

Pembuat Hukum

Hakim atau pembuat hukum juga adalah sebahagian dari sifat mulkiyatullah. Ia mesti diikhtiraf oleh manusia dan tunduk hanya kepada hukum-hukum yang telah diturunkan olehNya saja karena hak mencipta hukum itu hanya terhadap kepada Allah semata-mata.

"Apa yang kamu sembah, yang lain dari Allah, hanyalah nama-nama yang kamu menamakannya, kamu dan datuk nenek kamu, Allah tidak pernah menurunkan sembarang bukti yang membenarkannya. Sebenarnya hukum (yang menentukan amal ibadat) hanyalah bagi Allah. Ia memerintahkan supaya kamu jangan menyembah melainkan Dia. Yang demikian itulah agama yang betul, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [Yusuf : 50]

Pemerintah

Aamiran atau pemerintah satu lagi sifat mulkiyatullah yang perlu diketahui oleh setiap muslim. Allah memiliki Arasy dan memerintah seluruh mahluk ciptaannya ini dengan ketentuan daripadanya. Dia yang menciptakan dan Dia yang mengarahkan menurut apa yang dikehendakiNya.

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu. Ia bersemayam di atas Arasy. Ia melindungi malam dengan siang yang mengiringinya dengan deras (silih berganti) dan (Ia pula yang menciptakan) matahari dan bulan serta bintang-bintang, (semuanya) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, kepada Allah jualah tertentu urusan menciptakan (sekalian mahluk) dan urusan pemerintahan. Maha Suci Allah yang mencipta dan mentadbirkan sekalian alam." [Al A'raaf : 50]

Perbedaan Pandangan Mengenai Pembagian Tauhid Mulkiyah/ Hakimiyah

Dalam pandangan kami
Tauhid Mulkiyah adalah bagian dari pada Tauhid Uluhiyah
(Pengesaan Allah dengan ibadah kepada-Nya. penj). Sebagaimana saya pernah mendengar Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Bin Baz adalah diantara orang yang tidak mengajarkan Tauhid Hakimiyah ini kepada orang banyak.

Dari sana banyak diantara golongan salafy saudi yang tidak mengacuhkan istilah ini dan menganggapnya sebagai bid’ah, apakah pendapat ini benar? Kemudian bisakah Anda tunjukkan kitab apa saja yang memuat keterangan tentang dimensi tauhid ini?

Jawab : Segala puji hanya bagi Allah Swt. semata yang mengatur alam semesta ini. Adapun yang dimaksud dengan Tauhid Hakimiyyah adalah pengesaan Allah dalam perkara hukum dan syari’at. Sebagaimana Allah tidak memiliki serikat dalam kekuasaanNya, dalam mengurus berbagai urusan makhlukNya, demikian juga Allah swt tidak memiliki sekutu dalam hukum dan pembuatan undang-undang (tasyri’). Allah adalah hakim yang paling adil, Dia memiliki kewenangan untuk memutuskan dan memerintah, maka tidak ada sekutu bagiNya dalam membuat hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana Dia tidak membutuhkan sekutu dalam kekuasaan dan mengatur urusan mahluk-Nya. Maka demikian halnya Dia Esa dalam masalah hukum dan tasyri’.
Firman Allah :

”Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf:40)

“dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya) , tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.” (ar-Ra’d:41)
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki- Nya.”
(al-Maidah:1)

”dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (al-Kahfi:26)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (al-Maidah:50)
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (asy-Syura:10)

“dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am:121)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan secara jelas dan kuat tentang tauhid ini, dan iman seseorang tidaklah dapat dikatakan sah tanpa adanya tauhid ini.

Dalam hadits shohih disebutkan bahwa Nabi Saw.barkata:
“sesungguhnya Allah adalah hakim dan keputusan ada pada-Nya”.

Namun pertanyaannya, apakah tauhid hakimiyah ini bukan termasuk tauhid uluhiyyah atau malah bagian tersendiri yang lain dari tauhid uluhiyyah. Saya katakan, “Tidak, Tauhid ini bukanlah satu jenis tauhid tersendiri yang bukan bagian dari tauhid uluhiyah. Tauhid ini sudah terkandung di dalam Tauhid Uluhiyyah. Ada juga unsur yang termasuk kedalam kategori tauhid Rububiyyah. Dan ada juga unsurnya yang masuk ke dalam kategori Tauhid asma’ dan sifat.

Namun di saat syirik merajalela di kalangan ummat dalam bentuk memutuskan hukum tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan, tetapi memutuskan hukum menggunakan undang-undang kufur dan UU thaghut. Kondisi ini mengisyaratkan agar istilah tauhid hakimiyah ini disebutkan tersendiri agar orang-orang melihat urgensi tauhid ini.
Tanpa adanya tauhid ini maka sesunggunya mereka belum memenuhi tuntutan tauhid uluhiyah sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh; Anda menjumpai suatu kaum yang musyrik dalam hal ketaatanya, kemudian Anda berkata, “Kalian seharusnya melakukan tauhid tho’ah (hanya taat pada Allah swt semata), dan janganlah mentaati seseorang karena dzatnya kecuali pada Allah swt. Maka statemen Anda yang seperti ini benar dan Anda tidak boleh diingkari. Juga tidak benar kalau dikatakan bahwa Aanda membuat sesuatu yang baru dalam masalah tauhid yang namanya tauhid tho’ah, atau menyebut tauhid lain selain tauhid uluhiyah!!! Begitu pula ketika Anda menjumpai suatu kaum yang telah menyekutukan Allah dengan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah dalam aspek mahabbah, wala’ dan baro’ (cinta, loyalitas dan anti loyalitas).

Saat itu Anda terpaksa menyebut tauhid Mahabbah, sebab yang layak dicintai karena substansi (dzat)nya sendiri hanyalah Allah swt. Akan tetapi tauhid ini bukanlah jenis tauhid baru yang bukan tauhid uluhiyah, sebagaimana statemen anda tentang tauhid mahabbah ini tidak ada unsur yang baru apalagi bid’ah. Demikian pula jika Anda dapati orang yang menyekutukan Allah swt dalam hal berdoa dan meminta pertolongan. Merespons sikap mereka itu Anda berkata, “Kamu harus mengesakan Allah swt dalam doa dan permohonan. Pembagian tauhid seperti ini bukan berarti menyebutkan bagian tauhid baru yang terpisah dari tauhid uluhiyah. Disebutkan macam seperti di atas karena adanya kebutuhan yang mengharuskan adanya penjelasan tersendiri ketika Anda menjumpai orang yang berbuat syirik dari sisi itu. Tidak ada seorang pun baik yang terdahulu maupun sekarang yang mengatakan, “Bahwa tauhid hakimiyah adalah bagian tauhid tersendiri atau bagian ke-empat dari pembagian tauhid”. Semuanya ulama’ memasukkannya ke dalam tauhid uluhiyah, dan juga memasukkan sebagian unsur-unsur yang ada di dalamnya ke dalam bagian tauhid yang lain sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Adapun maksud dari disebutkannya jenis tauhid ini adalah urgensinya agar ummat memperhatikan aspek tauhid yang sudah hampir musnah. Jika anda telah memahaminya, propaganda dari para penentangnya sudah tidak bisa lagi untuk dijadikan alat justifikasi selain hanya ingin mereduksi makna dari tauhid yang tidak kalah pentingnya ini, serta ingin dijadikan sebagai pembenar dari kekurangan para thoghut hukum dari pengingkaranya terhadap sisi tauhid ini.
Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang buku-buku yang memuat persoalan ini Sebenarnya kitab-kitab yang membahas persoalan itu banyak sekali. Yang terpenting adalah kitabulloh Al-Quran kemudian kitab-kitab hadits, serta buku-buku aqidah seperti karangannya Ibnu Taimiyyah, Ibnu Abdul Wahhab serta para cucunya. Sedangkan buku dari para ulama kontemporer adalah buku yang ditulis oleh Sayyid Qutub r.h., khususnya kitab: Fi Dzilal al-Qur’an, al-Ma’alim fi ath-Thariq”, “Khosois al-Tasawwur al-Islamiy, dan “Maqawwamat tashawwur islamy”. Dan juga buku-buku karya Muhammad Quthb. Selain itu ada sebuah risalah yang membahas tentang Tauhid Hakimiyyah oleh syaikh Abu Itsar. Demikian juga kitab dan makalahnya Abu Muhammad al-Maqdisi. Dan seandainya Anda telaah kitab-kitab dan makalah kami, niscaya kalian tidak akan manafikan faedah dari penyebutan tauhid ini, Insya Allah.

5. Tauhid Asma wa Sifat

Yaitu menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya secara tafshil.
dengan landasan firman Allah :

"Artinya : Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat." [Asy-Syura : 11]

Karena itu, semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam, mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal, berdasarkan kepada firman Allah :

"Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya..." [Asy-Syura : 11]

Penafian sesuatu menuntut penetapan terhadap kebalikannya, yaitu kesempurnaan. Semua yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, berupa kekurangan atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya, menunjuk-kan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan yang merupakan kebalikannya. Allah telah memadukan penafian dan penetapan dalam satu ayat. Maksud saya penafian secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu dalam firman Allah Subhanallahu wa Ta'ala :

"Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dan Din Maha Mendengar lagi Melihat." [Asy-Syura: 11]

Ayat ini mengandung tanzih, -penyucian- Allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatanNya. Bagian awal ayat di atas merupakan bantahan bagi kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah), yaitu firman Allah Ta'ala:
"Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang scrupa dengan-Nya ..."
Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut merupakan bantahan bagi kaum Mu'athilah -yang melakukan ta'thil-, yaitu firman Allah:

"Artinya : Dan Dia Maha Mendengar lagi Melihat."

Pada bagian pertama terkandung penafian secara ijmal sedangkan pada bagian terakhir terkandung penetapan secara tafshil. Ayat di atas juga mengandung bantahan bagi kaum Asy'ariyah yang mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa pendengaran dan melihat tanpa penglihatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta'ala mencantumkan ayat diatas, berikut surah Al-Ikhlas dan ayat Al-Kursi, karena surah Al-Ikhlas dan ayat-ayat tersebut mengandung penafian dan penetapan. Surah Al-Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an, sebagai-mana dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam. Para ulama menyebutkan penafsiran sabda beliau itu, bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan tiga macam kandungan, yaitu : Tauhid, kisah-kisah, dan hukum-hukum.

Ayat Al-Kursi adalah ayat yang agung, bahkan merupakan ayat yang paling agung di dalam Al-Qur'an. Itu disebabkan, ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut terkumpul di dalamnya, yang tidak terkumpul seperti itu dalam ayat lainnya. Karena itu, ayat yang mengandung makna-makna agung ini layak untuk menjadi ayat yang paling agung dalam Kitabullah.

6. Penyakit Tauhid (Pembagian Syirik)

Yaitu merupakan bahaya yang terbesar dan penyakit yang paling berbahaya. Kami cantumkan pembahasan syirik dalam pembahasan aqidah ini karena sumber kesyirikan bermula dari keyakinan (i’tiqad) yang ada di dalam hati.
Secara umum Syirik berarti Mempersekutukan Sesuatu dengan Allah.

Para ulama salaf membagi jenis syirik menjadi dua bagian :

1. Syirik Akbar (besar)

Yang tidak diampuni (apabila pelakunya mati dan belum bertaubat).
• Diharamkan baginya Surga
• Kekal di dalam neraka
• Membatalkan semua amalan-amalan yang lalu

2. Syirik Ashghar (kecil)

Di bawah kehendak Allah. Kalau Allah ampuni pelakunya maka tidak diadzab dan kalau tidak diampuni, pelakunya masuk terlebih dahulu di neraka meskipun setelah itu dimasukkan ke dalam Surga.
• Tidak kekal dalam neraka (kalau dia dimasukkan ke dalam neraka)
• Tidak membatalkan semua amalan tetapi sebatas yang dilakukan
• Tidak diharamkan baginya Surga

Penjelasan Syirik Akbar

Sebagaimana penjelasan di atas, syirik akbar merupakan dosa yang terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah apabila tidak bertaubat. Allah Ta’ala bberfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
[QS. An Nisa’ : 48]

Juga pelaku Syirik Akbar tempat kembalinya adalah neraka dan diharamkan baginya Surga.
Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah kafirlah orang¬-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.’ Padahal Al Masih (sendiri) berkata : ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang dhalim itu seorang penolong pun.”
(Al Maidah : 72)

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa syirik akbar menggugurkan amalan-amalan adalah firman Allah Ta’ala :

“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al An’am : 88).

Macam-Macam Syirik Akbar

Macam-macam dari Syirik Akbar ini sangat banyak sekali, tetapi bisa kita kelompokkan menjadi tiga bagian :

1. Syirik Di Dalam Ar Rububiyyah

Yaitu jika seseorang meyakini bahwa ada selain Allah yang bisa menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan atau mematikan, dan yang lainnya dari sifat-sifat ar rububiyyah. Orang-orang seperti ini keadaannya lebih sesat dan lebih jelek daripada orang-orang kafir terdahulu.
Orang-orang terdahulu beriman dengan tauhid rububiyyah namun mereka menyekutukan Allah dalam uluhiyyah. Mereka meyakini kalau Allah satu-satunya Pencipta alam semesta namun mereka masih tetap berdoa, meminta pada kuburan-kuburan seperti kuburan Latta.
Sebagaimana Allah kisahkan tentang mereka :

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
(QS. Al Ankabut : 61)

Firman Allah Ta’ala :

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut : 63)

Firman Allah Ta’ala :

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. (QS. Luqman : 25)

Firman Allah Ta’ala :

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az Zukhruf : 9)

Ayat-ayat ini semua menunjukkan kalau orang-orang musyrik terdahulu mengakui Allah-lah satu¬-satunya pencipta yang menciptakan langit dan bumi, yang menghidupkan dan mematikan, yang menurunkan hujan dan seterusnya. Akan tetapi mereka masih memberikan peribadatan kepada yang lainnya. Maka bagaimanakah dengan orang-orang yang tidak menyakini sama sekali kalau Allah-lah Penciptanya atau ada tuhan lain yang menciptakan, menghidupkan, dan mematikan, yang menurunkan hujaan dan seterusnya atau ada yang serupa dengan Allah dalam masalah-masalah ini. Tentu yang demikian lebih jelek lagi. Inilah yang dimaksud syirik dalam rububiyah.

2. Syirik di dalam Al Uluhiyyah

Yaitu kalau seseorang menyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak untuk disembah (berhak mendapatkan sifat-sifat ubudiyyah). Yang mana Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam berbagai tempat dalam Kitab-Nya menyeru kepada hamba-Nya agar tidak menyembah atau beribadah kecuali hanya kepada-Nya saja. Firman Allah Ta’ala :

“Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah : 21-22)

Perintah Allah dalam ayat ini agar semua manusia beribadah kepada Rabb mereka dan bentuk ibadah yang diperintahkan antara lain syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, sujud, ruku’, thawaf, doa, tawakal, khauf (takut), raja’ (berharap), raghbah (menginginkan sesuatu), rahbah (menghindarkan dari sesuatu), khusu’, khasyah, ¬isti’anah (minta tolong), isti’adzah (berlindung), istighatsah (meratap), penyembelihan, nadzar, sabar dan lain lain dari berbagai macam ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Di sisi lain ada kerancuan yang terdapat di kalangan umum dalam memahami ibadah. Mereka mengartikan ibadah dalam definisi yang sempit sekali seperti shalat, puasa, zakat, haji. Ada pun yang lainnya tidak dikategorikan di dalamnya.
Sungguh indah perkataan Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam mendefinisikan ibadah, beliau berkata :

“Ibadah itu ialah suatu nama yang mencakup semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, apakah berupa perkataan ataupun perbuatan, baik dhahir maupun yang bathin.”

Inilah pengertian ibadah yang sesungguhnya, yaitu meliputi segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan.

Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 21 di atas menyatakan sembahlah Rabb kamu, dimaksudkan untuk mendekatkan pemahaman kepada semua manusia bahwa Ar Rabb yang wajib disembah adalah yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, yang menciptakan langit dan bumi serta yang mampu menurunkan air (hujan) dari langit. Yang dengan air hujan itu dihasilkan segala jenis buah-buahan sebagai rezeki bagi kalian agar kalian mengetahui semua. Maka janganlah mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah dengan menyembah dan meminta rezeki kepada selain-Nya. Apakah kalian tidak malu dan berpikir bahwa Allah yang menghidupkan dan yang memberi rezeki kemudian kalian tinggalkan untuk beribadah kepada selain-Nya?

Firman Allah Ta’ala :

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tak dapat memberi rezeki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi dan tidak berkuasa (sedikit jua pun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 73-74)

3. Syirik di dalam Mulkiyah

Yaitu jika seseorang meyakini bahwa ada hukum lain yang wajib/harus ditaati selain hukum Allah dan RasulNya.

Sebagaimana Allah kisahkan tentang mereka :

.. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah : 44)

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. Annisa : 65)

4. Syirik di dalam Asma’ wa Ash Shifat

Yaitu kalau seseorang mensifatkan sebagian makhluk Allah dengan sebagian sifat-sifat Allah yang khusus bagi-Nya. Contohnya, menyakini bahwa ada makhluk Allah yang mengetahui perkara¬-perkara ghaib.

Firman Allah Ta’ala :

“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.“ (QS. Al Jin : 26)

Lihat pembahasan selengkap¬nya pada sub judul Keyakinan Adanya Makhluk Yang Mengetahui Hal Yang Ghaib di belakang tulisan ini.
Penjelasan Syirik Ashghar

Meskipun dalam masalah ini ada khilaf (sebagaimana yang telah kita bahas di atas) akan tetapi wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati terhadap penyakit ini dan jangan menganggap remeh. Pelakunya diwajibkan untuk bertaubat. Di antara yang dikategorikan dalam Syirik Ashghar antara lain :

Ar Riya’

mengamalkan suatu ibadah supaya dilihat manusia dalam rangka mendapatkan popularitas). Meskipun syirik ini tidak membatalkan semua amalan secara keseluruhan namun ia membatalkan amalan yang diniatkan untuk manusia tersebut. Maka wajib bagi pelakunya untuk bertaubat.

Firman Allah yang menerang¬kan bahwa riya’ itu membatalkan amalan yang disertai riya’ tersebut adalah sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti or¬ang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan or¬ang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak berkuasa sedikit pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(QS. Al Baqarah : 264)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa dia berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata : “Suatu ketakutan yang pal¬ing aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil.”
Kemudian ditanyakan tentang syirik itu, beliau menjawab : “Riya’.” (HR. Ahmad)

Dan juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam: “Allah Ta’ala berfirman : ‘Barang siapa melakukan suatu amalan kemudian ia jadikan bersama Allah sekutu dalam amalan itu maka Allah tinggalkan amalan tersebut dan sekutunya.’” (HR. Muslim)

Dalam masalah membatalkan amalan, riya’ ini terbagi menjadi dua bagian :

1. Apabila riya’ sejak awal, yaitu bahwa orang tersebut dalam melakukan amalannya sudah mempunyai niat untuk riya’. Yang seperti ini membatalkan amalan.

2. Apabila datang dengan tiba-¬tiba di tengah-tengah atau di akhir amalan dan orang tersebut berusaha untuk menolak atau menghilangkan dari hatinya. Maka yang seperti ini tidak sampai membatalkan amalannya.

Sum’ah

mengamalkan suatu ibadah supaya didengar orang lain dalam rangka mendapatkan popularitas). Pada hakekatnya sum’ah merupakan riya’ juga.
Dua penyakit ini yang sangat rawan dalam hati karena sangat samar tidak terlihat oleh mata sehingga seorang Muslim harus sangat berhati-hati. Ayat Al Qur’an dalam surat Al Baqarah 264 serta hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari shahabat Mahmud bin Labid di atas menjadi perhatian bagi kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memanggil dengan panggilan ‘Wahai orang-¬orang yang beriman’ dan Rasulullah mengkhawatirkan riya’ tersebut akan menimpa para shahabat. Hal ini menunjukkan bahwa orang Mukmin pun apabila tidak hati-hati akan terkena penyakit ini. Mudah-mudahan Al¬lah selamatkan kita darinya.

Pembaca yang semoga dimuliakan Allah, Syirik Akbar dan Syirik Ashghar memiliki cabang yang sangat banyak dan memerlukan pembahasan yang sangat panjang. Tidak mungkin kita paparkan dalam satu kali ¬pertemuan. Tetapi yang penting untuk kita ketahui adalah sifat atau ciri-ciri dari keduanya serta bahayanya sehingga kita berhati-¬hati terhadap kedua-duanya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam salah satu di antara dua jenis syirik ini hendaknya ia segera bertaubat.

Firman Allah Ta’ala :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali Imran : 133)

Firman Allah Ta’ala :

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)

Firman Allah Ta’ala :

Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)

Keyakinan Adanya Makhluk Allah Yang Mengetahui Hal Ghaib
Meyakini adanya makhluk Al¬lah yang mengetahui perkara¬-perkara ghaib termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kesyirikan. Karena salah satu dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meyakini bahwa tidak ada satu pun dari makhluk Allah yang ada di langit (seperti malaikat) ataupun di bumi (seperti Nabi-Nabi dan manusia atau jin) yang mengetahui hal ghaib.

Di antara dalil-dalil adalah sebagai berikut :

1. Secara Umum Tidak Ada Satu Makhluk Pun Yang Mengetahui Hal Ghaib
Dalil-dalil yang menunjukkan secara umum tidak adanya satu makhluk pun yang mengetahui hal-hal ghaib. Seperti ucapan Allah dalam surat Hud :

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)

Dan firman Allah dalam surat Al Jin :

“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al Jin : 26)

2. Malaikat Tidak Mengetahui Hal Yang Ghaib

Para malaikat walaupun mereka adalah makhluk Allah yang paling dekat dengan-Nya juga tidak mengetahui hal yang ghaib kecuali terhadap masalah-masalah yang Allah beritahukan kepada mereka. Di antara dalilnya adalah ucapan Allah dalam surat Al Baqarah 32 :

Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah : 32)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat As Saba’ 23 :

Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat itu. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata : “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab : “(Perkataan) yang benar.” Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. As Saba’ : 23)

Dalam ayat ini dioceritakan bahwa malaikat bertanya-tanya tentang apa yang baru dikatakan oleh Rabbnya. Ini menunjukkan kalau malaikat pun tidak mengetahui yang ghaib.

3. Rasulullah Serta Para Nabi Tidak Mengetahui Tentang Hal Ghaib

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta para Nabi dan Rasul tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui hal ghaib kecuali perkara-perkara ghaib yang telah Allah beritakan kepadanya.

Adapun apa yang dikecualikan oleh Allah setelah ayat 26 dalam surat Al Jin di atas adalah tidak mutlak. Ketika Allah mengatakan kecuali Rasul yang diridlai artinya kecuali Rasul yang diberitahu sebagian tentang hal-hal ghaib. Adapun yang tidak diberitahukan oleh Allah kepadanya, Rasul pun tidak mengetahuinya. Dengan demikian Rasulullah tidak mengetahui hal yang ghaib secara mutlak. Yang mengetahui hal-hal ghaib secara keseluruhan dan mutlak hanyalah Allah. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya. Allah berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui hal yang ghaib :

Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 188)

Beliau hanya mengetahui apa-apa yang diberitakan oleh Allah dalam wahyu-Nya sebagaimana apa yang Allah katakan dalam firman¬-Nya :

Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah : “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al An’am : 50)

Demikian pula ketika Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam kepada kaumnya, juga meniadakan dari dirinya ilmu ghaib :

“Dan aku tidak mengatakan kepada kamu bahwa aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah dan tidak mengatakan bahwa aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu (( : sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka)). Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka, sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang dhalim.” (QS. Hud: 31)

4. Jenis Jin Pun Tidak Mengetahui Hal Ghaib

Bahkan makhluk dari jenis jin pun tidak mengetahui hal yang ghaib. Ini sebagai bantahan langsung dari Allah kepada para dukun-dukun yang mengaku mengetahui hal ghaib :

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)

5. Kahin (Dukun), Ahli Nujum, Dan Musya’widzin (Tukang Sihir) Tidak Mengetahui Hal Ghaib

Kalau kita sudah mengetahui bahwa malaikat-malaikat dan Nabi-Nabi kemudian jin-jin tidak ada yang mengetahui perkara ghaib apalagi para kahin, dukun-dukun, ahli nujum, tukang ramal, musya’widzin (tukang sihir), dan lain-lain.
Berikut ini firman Allah Ta’ala yang menerangkan bahwa mereka tidak mengetahui hal ghaib.

Firman Allah Ta’ala :

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib.” (QS. Ali Imran : 179)

Firman Allah Ta’ala :

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh).” (QS. Al An’am : 59)

Firman Allah Ta’ala :

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan semua urusan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)

Ayat-ayat ini semuanya mengajak bicara orang kedua dengan lafadh kamu tidak mengetahui atau tidak memperlihatkan kepadamu dan seterusnya. Ini menunjukkan kalau semua manusia tidak mengetahui hal yang ghaib termasuk dukun, tukang sihir, paranormal, dan lain-lain.

Bahkan manusia itu sendiri tidak mengetahui berapa lamanya ia tidur sebagaimana yang Allah kisahkan tentang ashabul kahfi yang tidur di dalam gua selama 309 ¬tahun :

Katakanlah : “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nya-lah semua yang ghaib (tersembunyi) di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda berkaitan dengan masalah di atas :

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kunci-kunci keghaiban ada lima. Tiada yang mengetahui kelimanya kecuali Allah. Tiada seorang pun yang mengetahui apa-apa yang dalam rahim kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, tiada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah.” (Telah mengeluarkan hadits ini, Al Bukhari dan Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)

Maka para pembaca sekalian hendaknya mengambil pelajaran dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahui bahwa kita tidak perlu datang ke dukun-dukun, tukang ramal, tukang sihir, ‘orang pintar’ atau ahli nujum, dan lain-lain dengan tujuan untuk mengetahui perkara-perkara ghaib seperti siapa jodohnya, darimana rezekinya, kapan ajalnya, dan seterusnya. Karena dua sebab :

Pertama, perbuatan itu sia-sia karena sesungguhnya kita telah menyakini bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Allah.

Kedua, kita telah berbuat suatu kesyirikan karena meyakini adanya ‘alimul ghaibi atau yang mengetahui keghaiban selain Allah yang berarti menyamakan makhluk dengan khaliqnya dalam masalah mengetahui ilmu ghaib.¬

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengancam :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun-dukun kemudian mempercayainya maka dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan pada Muhammad.”
Demikianlah, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalan yang lurus dan selamat. Selamat dari kesyirikan dan kesesatan di dunia dan selamat dari adzab Allah di akhirat.

Penjelasan Makna Thoghut dan Para Pembelanya

Iman seorang hamba tidak syah sampai dia mengkafiri thoghut. Alloh berfirman:

“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat.” (Al-Baqoroh: 256)
Dan ayat ini merupakan tafsiran syahadat LAA ILAAHA ILLALLOH, yang berisi Nafyu dan Itsbat.

An-Nafyu artinya meniadakan peribadahan dari setiap apa yang diibadahi selain Alloh. Hal ini direalisasikan dengan meyakini batilnya beribadah kepada selain Alloh, meninggalkan peribadahan itu, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengkufuri thoghut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dan Al-Itsbat artinya menetapkan peribadahan hanya untuk Alloh semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Alloh semata. Dan inilah yang dimaksud dengan beriman kepada Alloh yang disebutkan dalam ayat di atas.
Ibnu Katsir berkata: “Dan firman Alloh:

“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. Tidak akan putus tali itu” (Al-Baqoroh: 256)

Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala yang diserukan oleh syaitan untuk diibadahi selain Alloh, lalu mentauhidkan Alloh dengan beribadah hanya kepadanya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadahi secara benar kecuali Alloh ‘maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat’ maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqomah pada jalan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.”

Kemudian Ibnu Katsir menukil dari Umar ibnul Khothob bahwa thoghut itu adalah syetan.

Dan Ibnu Katsir berkata:

“Yang dimaksud dengan thoghut dalam firman Alloh adalah syetan, arti ini sangat kuat, karena nencakup segala kejelekan orang-orang jahiliyah yang berupa beribadah kepada berhala, berhukum kepadanya dan miminta pertolongan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir I/311). Dan pada I/512 Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Umar itu juga dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adl-dlohak dan As-Saddi.
Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir rodliyallohu ‘anhu, bahwa thoghut itu adalah: Para dukun yang disinggahi syetan.
Dan dia juga menukil dari Mujahid bahwa thoghut itu artinya;
Syetan dalam bentuk manusia yang di datangi untuk memutuskan perkara, dan dia yang menguasai urusan mereka.
Dan dia menukil dari Imam Malik bahwa thoghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh SWT.
Dan dalam menafsirkan firman Alloh:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengkufuri thaghut itu. (QS. 4:60)

Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini lebih umum dari pada itu semua, sesungguhnya ayat itu merupakan celaan bagi setiap orang yang menyeleweng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berhukum kepada selain keduanya. Dan inilah yang dimaksud dengan thoghut di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir I/619).

Ibnul Qoyyim berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Alloh dan rosulNya, atau mereka ibadahi selain Alloh, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Alloh, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Alloh. Inilah thoghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Alloh dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Alloh dan mengikuti rosulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut.” (A’lamul Muwaqqi’in I/50)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Thoghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Alloh dan rosulNya adalah thoghut. Thoghut itu banyak dan kepalanya ada lima:

Pertama;
Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Alloh, dalilnya adalah:
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", (QS. 36:60)

Kedua;
Seorang penguasa yang merubah hukum-hukum Alloh. Dalilnya adalah:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. 4:60)

Ketiga;
Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh. Dalilnya adalah:
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)

Keempat;
Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Alloh. Dalilnya adalah :
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72: 26 - 27)

Dan Alloh berfirman:

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh. (QS. 6:59)

Kelima;
Orang yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah:
Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:"Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (QS. 21:29)
(Dinukil dari Risalah Ma’na Ath-Thoghut, tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang terdapat dalam Majmu’atut Tauhid cet. Maktabah Ar-Riyadl Al-Haditsh, hal. 260.)

Adapun Syeikh Muhammad bin Hamid Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Alloh dan rosulNya saja. Sama saja apakah thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Alloh seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut.

Dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.” (Catatan kaki hal. 287 dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H.)

Adapun Syaikh Sulaiman bin Samhan An-Najdi berkata:
“Thoghut itu tiga macam: thoghut dalam hukum, thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam ketaatan dan pengikutan.” (Ad-Duror As-Sunniyah VIII/272)
Kami ringkaskan dari uraian di atas : “Sesungguhnya pendapat yang paling mencakup pengertian thoghut adalah pendapat yang mengatakan bahwa thoghut itu adalah segala apa yang diibadahi selain Alloh – dan ini adalah perkataan Imam Malik – dan pendapat yang mengatakan; sesungguhnya thoghut itu adalah syetan – dan ini adalah perkataan mayoritas sahabat dan tabi’in – adapun selain dua pendapat ini merupakan cabang dari keduanya.

Dan dua perkataan ini kembali kepada dua kepada satu pokok yang mempunyai hakekat dan mempunyai wujud. Barangsiapa yang melihat kepada wujudnya maka dia mengatakan bahwa thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh, dan barang siapa yang melihat kepada hakekatnya maka dia mengatakan thoghut itu syetan. Hal itu karena syetan itulah yang mengajak untuk beribadah kepada selain Alloh, selain dia juga mengajak untuk melakukan setiap kejahatan. Alloh berfirman:

Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka membuat ma'siat dengan sungguh-sungguh, (QS. 19:83)

Dengan demikian setiap orang yang kafir dan setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh, maka ia melakukan itu karena ditipu oleh syetan, dan setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh, pada hakekatnya dia beribadah kepada syetan. Alloh berfirman:

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? (QS. 36:60)

Dan Alloh berfirman tentang Ibrohim:

Wahai bapakku janganlah kamu menyembah syetan. (Maryam: 44)

Padahal bapaknya menyembah berhala, sebagaimana firmanAlloh:

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar:"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. ". (QS. 6:74)

Jadi syetan itu adalah thoghut yang paling besar, sehingga barang siapa yang beribadah kepada berhala baik itu batu atau pohon atau manusia maka sebenarnya dia beribadah kepada syetan. Dan setiap orang yang memutuskan perkara kepada manusia, atau undang-undang selain Alloh, maka sebenarnya dia itu memutuskan perkara kepada syetan, dan inilah yang dimaksud dengan berhukum kepada thoghut.

Dengan demikian barangsiapa yang mengatakan dengan ungkapan umun dan ditinjau dari wujudnya, dia akan mengataka (bahwa thoghut itu adalah); segala sesuatau yang diibadahi selain Alloh. Dan barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan umum dan ditinjau dari hakekatnya, dia akan mengatakan thoghut itu syetan, sebagaimana yang kami nukil di atas.

Dan barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan yang terperinci dan ditinjau dari wujudnya, dia akan mengatakan (bahwa thoghut itu adalah) segala sesuatau yang disembah atau diikuti atau ditaati atau didatang untuk memutuskan perkara selain Alloh, dan ini adalah perkataan Ibnul Qoyyim, dan perkataan Sulaiman Bin Samhan dekat dengan ini. Semua ini kembali kepada makna ibadah. Dan ittiba’ (ikut), taat dan berhukum itu semuanya adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Alloh. Sebagaimana firman Alloh:

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. (QS. 7:3)

Ini tentang ittiba’.

Dan Alloh berfirman:

Katakanlah:"Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. 3:32)

Dan ini tentang ketaatan.

Dan Alloh berfirman:

dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (QS. 18:26)

Dan ini tentang berhukum.

Maka mengesakan Alloh dalam ittiba’, taat dan beerhukum semuanya masuk dalam pengertian mengesakan dalam ibadah – yaitu tauhid uluhiyah – sebagaimana mengesakan Alloh dalam sholat, berdo’a dan beribadah, ini semua adalah bentuk ibadah. Dan Alloh berfirman:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. 21:25)

Dengan demikian maka ibadah adalah sebuah nama yang mencakup spa saja yang dicintai dan diridloi Alloh, berupa perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin.
Dengan demikian maka ungkapan yang mencakup arti thoghut ditinjau dari wujudnya adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh. Dan adapun secara terperinci dalam al-qur’an dan as-sunnah menyebutkan dua macam thoghut, yaitu thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam hukum.

A. Thoghut dalam ibadah.

Terdapat dalam firmanAlloh:
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya (QS. 39:17)
Yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh yang berupa syetan atau manusia baik yang hidup maupun yang mati, atau hewan atau benda mati seperti pohon dan batu, atau bintang, sama saja apakan dengan cara mempersembahkan korban kepadanya atau dengan berdo’a kepadanya atau sholat kepadanya. Atau mengikuti dan mentaatinya dalam masalah yang menyelisihi syari’at Alloh. Dan kalimat “segala yang diibadahi selain Alloh” dibatasi dengan kalimat “dia rela dengan ibadah tersebut” supaya tidak masuk ke dalamnya seperti Isa as., atau nabi-nabi yang lain, malaikat dan orang-orang sholih sedangkan merea tida rela dengan perbuatan tersebut, sehingga mereka tidak disebut thoghut. Ibnu Taimiyah berkata: “Alloh berfirman:
Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:"Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?" (QS. 34:40)

Malaikat-malaikat itu menjawab:"Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". (QS. 34:41)

Artinya para malaikat tidak memerintahkan mereka intu melakukannya, akan tetapi sebenarnya mereka diperintahkan oleh jin, supaya mereka menjadi penyembah-penyembah syetan yang menampakkan diri kepada mereka. Sebagaimana berhala-barhala itu ada syetannya, dan sebagaimana turun kepada orang yang beribadah kepada bintang dan mengintainya. Sampai ada yang menjelma kepada mereka dan berbicara kepada mereka. Padahal dia adalah syetan. Oleh karena itu Alloh berfirman:
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku.Inilah jalan yang lurus. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebagaian besar diantaramu.Maka apakah kamu tidak memikirkan? (QS. 36:60-62)
Dan Alloh berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:"Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (QS. 18:50)
(Majmu’ Fatawa IV/135-136)

B. Thoghut dalam hukum, ini terdapat dalam firman Alloh:

Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)

Dan setiap orang yang dimintai untuk memutuskan hukum selain Alloh baik berupa undang-undang positif atau hakim yang menjalankan hukum selain hukum yang telah diturunkan Alloh, sama saja apakah ia seorang penguasa atau hakim atau yang lainnya. Di antara fatwa fatwa ulama’ jaman ini adalah yang terdapat dalam fatwa al-lajnah ad-da’imah lil buhuts al-‘ilmiyah wal ifta’ di Saudi, sebagai jawaban orang yang menanyakan makna thoghut yang terdapat dalam firman Alloh:
Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)

Maka dijawab:
“Yang dimaksud dengan thoghut pada ayat tersebut adalah segala sesuatu yang memalingkan manusia dari al-qur’an dan as-sunnah kepada berhukum kepada dirinya baik itu berupa system atau undang-undang positif atau adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang atau pemimpin-pemimpin suku untuk memutuskan perkara antara mereka dengan hal-hal tersebut atau dengan pendapat pemimpin jama’ah (kelompok) atau dukun. Dari situ jelaslah bahwa system yang dibuat untuk berhukum kepadanya yang bertantangan dengan syari’at Alloh masuk ke dalam pengertian thoghut.” (Fatwa no.8008) Dan dalam menjawab pertanyaan; Kapan seseorang itu disebut sebagai thoghut, maka dijawab: “Apabila dia menyeru kepada kesyirikan atau mengajak untuk beribadah kepada dirinya atau mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib atau memutuskan perkara dengan selain hukum Alloh dengan sengaja atau yang lainnya.” Diambil dari fatwa no. 5966. yang berfatwa adalah: Abdulloh bin Qu’ud, Abdulloh bin Ghodyan, Abdur Rozzaaq ‘Afifi dan Abdul Aziz bin Bazz. (Fatawa al-Lajnah Ad-Da’imah I/542-543, yang dikumpulkan oleh Ahmad Abdur Rozzaq Ad-Duwaiys, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadl 1411 H.)
Sekarang tinggallah dua permasalahan lagi:

Pertama: bahwa thoghut itu diimani dan dikufuri, Alloh berfirman:
orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, (QS. 4:51)
dan Alloh berfirman:
(Lihat Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyah VII/558-559)
Beriman kepada thoghut dengan cara memberikan satu bentuk ibadah kepadanya atau berhukum kepadanya. Dan mengkufuri thoghut itu dengan cara tidak beribadah kepadanya, meyakini kebatilannya, tidak berhukum kepadanya, meyakini batilnya berhukum kepadanya, memusuhi orang orang yang beribadah kepada thoghut dan mengkafirkan mereka.

Permasalahan yang kedua; sesungguhnya kufur kepada thoghut dan beriman kepada Alloh itu adalah tauhid yang didakwahkan olehpara rosul, dan ini adalah yang pertamakali mereka dakwahkan, sebagaimana firman Alloh:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", (QS. 16:36)
Sedangkan thoghut yang dimaksud dalam pembahasan kita ini masalah 'Hukum Bagi Para Pembela Thoghut' ini adalah thoghut penguasa hukum, dalam hal ini adalah undang-undang dan hukum positif yang dijadikan landasan hukum selain Alloh juga para penguasanya yang kafir yang menjalankan hukum dengan selain hukum yang Alloh turunkan.

Adapun para pembela thoghut adalah orang-orang yang mempertahankannya dan membantunya sampai berperang, membelanya baik dengan perkataan maupun perbuatan. Maka setiap orang yang membantu mereka dengan perkataan maupun perbuatan adalah para pembela thoghut. Karena peperangan itu terjadi dengan perkataan dan perbuatan . sebagaimana kata Ibnu Taimiyah – ketika berbicara tentang memerangi orang kafir asli - : “Adapun orang yang tidak mempunyai kelayakan untuk berperang seperti perempuan, anak-anak, pendeta, orang tua, orang buta, orang cacat dan orang-orangyang semacam mereka tidak boleh dibunuh menurut mayoritas ulama’ kecuali jika mereka ikut berperang dengan perkataan atau perbuatannya.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/354) Dan beliau juga berkata: “Dan perempuan mereka tidaklah dibunuh kecuali jika mereka ikut berperang dengan perkataan atau perbuatan, berdasarkan kesepakan para ulama’.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/14) Dan beliau juga berkata: “Peperangan itu ada dua macam; peperangan dengan tangan dan peperangan dengan lisan – sampai beliau mengatakan – begitu pula perusakan itu kadang dilakukan dengan tangan dan kadang dilakukan dengan lisan, dan perusakan agama dengan lisan itu lebih lemah daripada dengan tangan.” (Ash-Shorimul Maslul, hal. 385) Atas dasar ini maka yang dimaksud dengan para pembela thoghut dalam pembahasan lita ini adalah;

1. Orang-orang yang membantu dengan perkataan. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah; sebagian dari ulama’ suu’, dan para pelajar yang memberikan pengesahan secara syar’ii kepada para penguasa kafir. Mereka membantah tuduhan atas kekafiran para penguasa tersebut dan membodoh-bodohkan kaum muslimin yang berjihad memberontak mereka. Mereka-mereka itulah yang menuduh sesat para mujahidin dan menipu para penguasa. Juga termasuk orang-orang yang membantu dengan perkataan ini adalah para penulis, para jurnalis dan penyiar-penyiar berita yang melakukan perbuatan yang sama.

2. Orang-orang yang membela dengan perbuatan. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah balatentara penguasa kafir, sama saja apakah mereka itu angkatan bersenjata atau polisi. Baik yang melakukan secara langsung maupun tidak langsung. Mereka ini di dalam undang-undang negara dipersiapkan untuk melaksanakan beberapa tugas, di antaranya;

• Menjaga system negara secara umum, yang hal itu berarti terus berlakunya pelaksanaan undang-undang kafir dan menghukum semua orang yang menentangnya atau berusaha mengubahnya.
• Menjaga keabsahan undang-undang, yang hal ini berarti menjaga penguasa kafir itu sendiri, karena penguasa tersebut dianggap sebagai penguasa yang syah berdasarkan undang-undang mereka, dan karena dia diangkat sesuai dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan undang-undang positif.
• Memperkuat kekuasaan undang-undang, dengan cara melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh undang-undang, dan masuk dalam hal ini pelaksanaan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan yang berdasarkan undang-undang thoghut.
Dan masuk kedalam golongan pembela thoghut juga setiap orang yang membantu mereka dengan perkataan atau perbuatan dari selain yang telah kami sebutkan di sini, meskipun orang yang memberikan bantuan tersebut adalah negara lain, hukumnya sama saja.

Inilah yang dimaksud dengan thoghut dan mereka itulah yang dimaksud dengan para pembela thoghut.

Penjelasan tentang kejahatan para pembela Thoghut
Ketahuilah bahwasanya orang kafir itu tidak mungkin melakukan kerusakan di bumi atau mendzolimi sekelompok orang, kecuali pasti dengan menggunakan pembantu-pembantu yang membantunya untuk melakukan kedzoliman dan kerusakan, dan yang menjaga mereka dari orang yang ingin membalasnya. Dengan demikian maka orang kafir dan kerusakan yang dilakukan itu tidak akan eksis kecuali karena orang-orang yang membantu dan membelanya. Karena itu Alloh berfirman:

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkanmu disentuh api naar, (QS. 11:113)

Para ulama’ mengatakan: ar-rukun adalah sedikit cenderung. Dan Ibnu Taimiyah berkata: “Dan begitulah atsar yang diriwayatkan menyebutkan: ‘Pada hari qiyamat akan dikatakan; Manakh orang-orang dzolim dan pembantu-pembantunya? – atau mengatakan semacam itu – kemudia mereka dikumpulkan dalam satu peti dan dilemparkan kedaam neraka.” Dan tidak hanya satu dari ulama’ yang mengatakan: Pembantu-pembantu orang-orang dzolim adalah orang-orang yang membantu mereka. Dan penolong-penolong mereka adalah golongan mereka yang disebutkan dalam sebuah ayat, sesungguhnya orang yang membantu untuk berbuat baik dan taqwa adalah termasuk golongan orang yang berbuat baik dan taqwa. Dan orang yang menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan adalah termasuk golongan orang yang melakukan dosa dan permusuhan. Alloh berfirman:
“Barangsiapa yang memberi syafa’at yang baik maka dia mendapatkan bagian dari pahalanya dan barang siapa memberi syafa’at yang buruk ia mendapatkan dosanya.”
Orang yang memberi syafa’at adalah orang yang membantu orang lain, maka dia dengan orang tersebut menjadi genap setelah sebelumnya ganjil. Oleh karena itu Asy-Syafa’ah Al-Hasanah ditafsirkan dengan membantu orang-orang beriman untuk berjihad, sedangkan asy-syafa’ah as-sayyi’ah ditafsirkan dengan membantu orang-orang kafir dalam memerangi orang yang beriman, sebagaimana hal itu disebutkan oleh Ibnu Jarir dan Abu Sulaiman.” (Majmu’ Fatawa VII/64)

Maka penguasa kafir itu tidak akan eksis, dan tidak akan eksis pula hukum-hukum kafir serta kerusakan-kerusakan besar di negara-negara muslimin yang diakibatkannya kecuali lantaran pembela-pembela yang membela para penguasa thoghut itu. Sama saja apakah mereka itu membantu dengan perkataan yang menyesatkan dan menipu manusia, atau membantu dengan perbuatan dengan cara menjaga mereka dan undang-undang mereka dari orang yang ingin membalas mereka. Maka tidak mengherankan kalau Alloh menyebut tentara-tentara pengusa kafir itu dengan pasak-pasak. Karena merekalah yang mengokohkan kekuasaannya dan merekalah yang menjadi penyebab eksisnya kekafiran. Yaitu dalam firman Alloh:

Dan fir’aun yang memiliki pasak-pasak. (Al-Fajr: 10)

Ibnu Jari mengatakan dalam tafsirnya terhadap ayat ini: “ Alloh mengatakan; Apakah kamu tidak melihat apa yang Alloh lakukan kepadan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak. Para ahli ta’wil berselisih pendapat tentang makna firman Allo yang berbunyi “yang mempunyai pasak-pasak” dan kenapa dia dikatakan begitu? Sebagian mereka mengataka: Artinya adalah yang mempunyai tentara-tentara yang memperkuat kekuasaannya, dan mereka mengatakan: pasak-pasak dalam permasalahan ini maksudnya adalah tentara-tentara.” (Tafsir Ath-Thobari XXX/179)

Ini semua menjelaskan tentang kejahatan para pembela thoghut dan bahwa sanya mereka itulah penyebab yang sebenarnya atas eksisnya kekafiran dan kerusakan. Maka tidak mungkin orang kafir itu dapat merusak dan mendzolimi umat kecuali dengan menggunakan para pembantu yang menolong nya. Dan kalau rosululloh saja bersabda:
"Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal ditengah-tengah orang musyrik.”
Lalu bagaimana dengan orang yang membantu kekafiran mereka ? dan bagaimana dengan orang yang membantu mereka untuk menyakiti dan memerangi kaum muslimin?
Dan pada kenyataannya sesungguhnya peperangan kaum muslimin melawan penguasa thoghut ini dalam rangka menggulingkan mereka dan menggantinya dengan penguasa muslim, pada hakekatnya adalah peperangan melawan para pembela mereka yang terdiri dari tentara dan yang lainnya. Oleh karena itu wajib untuk mengetahui hukum bagi para pembela thoghut ini dan inilah topik dalam pembahasan kita.

Menolak Thoghut Adalah Kewajiban Pertama Dalam Islam
Kewajiban pertama atas setiap Muslim adalah Tauhid (beribadah kepada Allah tanpa menyekutukanNya); dan pilar pertama Tauhid adalah Al Kufur Bit Thoghut, atau menolak Thoghut.

Seseorang tidak bisa menjadi Muslim kecuali mereka menolak semua bentuk Thoghut, apakah itu berbentuk konsep, benda tertentu atau seseorang.
Thoghut telah di defenisikan oleh Shahabat dan Ulama klasik yang mengikuti jalan salaf yaitu: “Sesuatu yang disembah, ditaati atau diikuti selain dari Allah.”
Imam Malik bin Anas berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang disembah (atau ditaati) selian Allah.” (Diriwayatkan dalam Al Jaami’ li Ahkaam Al Qur’an oleh Imam Al Qurtubi)

Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Dan thoghut secara umum, adalah sesuatu yang disembah selain Allah, dan itu disetujui untuk disembah, diikuti atau ditaati.” (Risalatun fii Ma’naa At Thoghut oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab) Lebih lanjut, karena sebuah objek diperlakukan sebagai thoghut seharusnya disembah selain Allah, dan bagi seseorang yang menjadi thoghut dia harus setuju untuk disembah atau ditaati. Sebagai contoh towaghit adalah berhala, batu, pohon, tempat keramat, patung, kuburan atau jimat dan sebagainya yang orang-orang sembah atau mencari pertolongan darinya; keinginan, filosofi, hukum, konstitusi, selebritis, atau Nabi palsu yang orang-orang ikuti; dan penguasa, Ulama serta pembuat hukum (anggota parlemen) yang melegalkan hukum mereka sendiri dan mengadili dengan hukum dan konstitusi buatan manusia.

Seseorang bisa menghabiskan seluruh hidupnya untuk shalat atau berbicara tentang Islam, Jihad, Haji, Shalat, Dakwah, Qur’an, Sunnah, Siyaam dan seterusnya, tetapi jika mereka tidak menolak thoghut dan mengingkari thoghut semua itu akan lenyap.
Ini karena menolak thoghut adalah syarat pertama menjadi seorang Muslim, dan mengapa alasannya hal itu meliputi dalam bagian pertama pada Kalimah:
1. Laa ilaaha “tidak ada tuhan” (An Nafii – menolak thoghut dan Tuhan-tuhan palsu).
2. IllAllah “kecuali Allah” (Al ithbaat – penetapan keimanan)
Selanjutnya, dengan melafadzkan dan mempercayai kalimah itu seseorang benar-benar mendeklarasikan ketidakpercayaannya dan menolak tuhan-tuhan palsu dan menetapkan keimanan kemudian menerima Satu, Tuhan yang benar – Allah. Tidak mungkin bagi seseorang menjadi Muslim kecuali mereka mengkufuri semua tuhan-tuhan palsu dan agama batil.
Kunci untuk memahami Kalimah
Allah SWT berfirman:

“barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus (kalimah).” (QS Al Baqarah, 2: 256)

Memahami maksud Kalimah adalah kondisi pertama Tauhid dan sebuah kewajiban atas setiap Muslim. Allah SWT menginformasikan kepada kita dalan ayat di atas bahwa hanya seseorang yang menolak thoghut dan beriman kepada Allah yang telah memahami maksudnya, dan selanjutnya akan menerima keberhasilan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:

“Seseorang yang mati dan memahami (makna) laa ilaaha illallah akan masuk surga.” (Shahih Muslim, Jilid 1, bab 10 Hadits no. 26)

Selanjutnya, rahasia untuk memahami Kalimah adalah dengan menolak thoghut. Karena alasan ini, sangat penting bagi kita untuk mempelajari cara menolak thoghut – itu jika kita ingin mempunyai pemahaman yang benar tentang Laa ilaaha illAllah.

1. Mendeklarasikan Thoghut Adalah Batil

Cara pertama untuk menolak Thoghut dengan meyakini bahwa semua Thoghut adalah batil dan tidak berhak untuk disembah atau ditaati. Sebagian orang mungkin tidak menyembah thoghut, tetapi mereka tidak meyakini bahwa thoghut mutlak batil. Ini adalah kekufuran. Sebagai seorang Muslim perlu meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan semua agama yang lain itu batil, dan bahwa Allah adalah satu-satunya Illaah yang benar dan semua aalihah yang lain itu batil. Allah berfirman:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
(QS Al Hajj, 22: 62)

2. Menjauh dari Thoghut

Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada setiap komunitas dengan risalah yang sama: beribadah dan hanya menaati Allah, dan menjauh dari Thoghut:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thoghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya . Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS An Nahl, 16: 36)

Perintah untuk “ijtanibuu” (menjauhi) mempunyai implikasi yang lebih besar daripada mengatakan ‘tidak menyembah (atau mendukung)’. Ini karena dalam Ushul Fiqih, sebuah perintah untuk ijtanaab (menjauhi) adalah lebih berat daripada sebuah larangan untuk tidak melakukan. Sebagai contoh Allah SWT memerintahkan kita untuk menjauhi khamr (alkohol); jika mendekati alkohol itu terlarang, memegang sebotol bir adalah lebih terlarang, apalagi meminumnya. Sama halnya, Allah telah memerintahkan kita untuk menjauh dari thoghut, terlebih lagi menjadi asisten mereka, sekutu, menteri, atau mufti atau bahkan bergabung dengan polisi, tentara atau pemerintah mereka.

Faktanya adalah kufur untuk beribadah, melayani, menaati atau mengikuti thoghut manapun, dan siapa saja yang melakukan demikian akan menjadi murtad. Menyembah thoghut (dengan menaatinya) juga salah satu karekteristik Yahudi dan Nasrani, mereka mengambil rahib-rahib dan para pendeta mereka sebagai Tuhan selain Allah dengan menaati mereka pada saat para pendeta dan juga rahib secara terang-terangan merubah dan melawan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada mereka. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thoghut?." Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Ma’idah, 5: 60)

‘Umar Bin Khattab berkata: “Thoghut adalah Syaitan.” Karena setiap thoghut adalah Syaitan, kita harus selalu ingat dalam pikiran kita bahwa adalah sebuah ke-murtad-an beribadah, menaati atau melayani thoghut.
Setiap penguasa atau Ulama yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah adalah Thoghut dan Syaitan; selanjutnya, adalah sebuah ke-murtad-an menolong mereka, bergabung dengan barisan mereka, mempertahankan mereka atau berperang untuk mereka. Sungguh, hanya kuffar dan Munafiqin yang menolong dan berperang untuk Thoghut:

“Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).” (QS An Nisaa’, 4: 73)

Jika seorang Ulama menjadi Thoghut (dengan menghalalkan apa yang Allah haramkan, sebagai contoh) kita harus menjauh darinya, tidak belajar dengannya atau hadir dalam ceramahnya. Dengan berbuat demikian seseorang benar-benar beribadah kepada Allah dengan memenuhi perintahNya dan manjauh dari thoghut.

3. Menunjukkan kebencian kepada Thoghut

Setiap orang beriman harus mendeklarasikan kepada semua towaaghit kepada musuh-musuh mereka sebagaimana mereka adalah musuh-musuh Allah. Jika seseorang tidak mendeklarasikan thoghut itu batil, tidak menjauhinyadan tidak membencinya, dia tidak menolak thoghut dan masuk Islam. Pada dasarnya, jika seseorang memahami bahwa thoghut adalah musuh mereka, mereka tidak akan pernah bersekutu dengannya atau menjadi mufti atas rezim kufurnya.
Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al Mumtahanah, 60: 4)

Para Nabi dan Saalihah tidak bertoleransi kepada Ulama yang berada dipintu-pintu penguasa tiran Muslim. Terlebih lagi tidak diperbolehkan berada pada pintu-pintu penguasa murtad yang telah bersekutu dengan salibis dan menolak Syari’ah.

4. Membenci Thoghut

Setelah seseorang mendeklarasikan thoghut itu batil, menjauhinya dan mendeklarasikan menjadi salah satu musuh, mereka seharusnya membenci thoghut. Dalam Islam, tidak ada konsep “cintailah musuhmu”. Faktanya, dilarang untuk mencintai musuh kita dan itu hanyalah kebodohan kalau melakukan demikian. Ibrahim A.S. berkata kepada ummatnya, yang mengkufuri Allah dan beribadah kepada thoghut:

“...kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja....”
(QS Al Mumtahanah, 60: 4)

Tidak diperbolehkan untuk menunjukkan kecintaan atau persahabatan kepada thoghut (Syaitan), atau kepada tentara-tentaranya, penolongnya, sponsor, asisten, pendukung, mufti, menteri, pengikut, dan sebagainya. Sebaliknya, seseorang harus beribadah kepada Allah dan membenci mereka.

5. Mendeklarasikan Thoghut Adalah Kafir (Takfir)

Kewajiban selanjutnya dalam menolak thoghut adalah seseorang harus melakukan takfir kepada thoghut (Syaitan). Tidaklah mungkin bagi thoghut (syaitan) bersama-sama dengan seorang Muslim karena thoghut adalah sesuatu yang disembah atau ditaati selain Allah; atau karena thoghut adalah Tuhan palsu.

“...barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS Al Baqarah, 2: 256)

Seseorang yang tidak melakukan Takfir dengan mendeklarasikan Syaitan (thoghut) menjadi kafir adalah kafir.
Ini karena Allah SWT telah mendeklarasikan Syaitan menjadi Kafir dalam Qur’an. Selanjutnya, Allah SWT telah juga mendeklarasikan seseorang yang menyembah thoghut (dengan memutuskan perkara kepadanya) menjadi Kafir juga:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa’, 4: 60)

Saat ini, sedang terjadi sebuah usaha yang gencar dilakukan untuk mengajak setiap orang beriman menjadi murtad dan selanjutnya menjadi kafir, dengan menggoda mereka menjadi dekat dengan thoghut dan tidak menjauh darinya.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk bertahan di bawah Tauhid dan bagaimana cara menolak thoghut; karena menolak thoghut (pemenuhan pilar pertama Tauhid) adalah kunci memahami Kalimah Syahadah, untuk selamat dari neraka dan menuju ridlo Allah SWT.

Berhukum Kepada Thaghut

Kita mengetahui dengan baik bahwa apa saja yang manusia ucapkan dari mulutnya, itu akan diperhitungkan (pahala atau dosa). Apa pun yang dia kerjakan dengan ikhlas akan mendapat balasannya. Allah swt. berfirman :

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Al-Zalzalah (99) : 7)

Rasulullah saw. Bersabda :

“Seseorang yang mengatakan tanpa mempertimbangkan apakah itu penting dan itu akan menyebabkannya berada di dalam neraka selama 40 masa.”
Kita mempunyai sebuah prinsip dalam Syariah:

“ Realitas tentang sesuatu apapun tidak bisa di ubah dengan mengubah namanya.”
Yaitu fakta sebuah masalah tidak bisa berubah hanya dengan menyebutnya dengan nama yang berbeda, sebagaimana kita tidak bisa membedakan antara warga negara biasa dengan militer, semua bisa diperangi selama mereka terlibat dalam peperangan.
Hal ini sebagaimana demokrasi tidak bisa menjadi halal dengan menyebutnya syura’ (musyawarah), karena demokrasi bukanlah syura melainkan syirik dalam hal (menyekutukan Allah SWT) peraturan Allah swt.

Mereka yang berkata (beralasan) “Kita memutuskan (berhukum) kepada thoghut itu karena begini dan begitu…” berkata:

1. “…Itu bukanlah memutuskan, itu hanya untuk mencari kebenaran ”:

Orang-orang yang mengatakan bahwa jika kita tidak menggunakan thoghut untuk mencari kebenaran, kemudian kita akan kehilangan semua kebenaran kita.
At-Tahakum (berhukum atau memutuskan hukum) adalah Ibadah. Tauhid adalah ifraad ullahi fil ibaadahi, yaitu menyembah Allah semata. At-Tahakum adalah salah satu bentuk ibadah dan satu-satunya yang berhak di sembah adalah Allah swt. At-Tahakum didefenisikan sebagai:
“condong dan memilih kepada sesuatu untuk memutuskan perselisihan suatu masalah antara dua atau lebih golongan.”

Mencari sebuah hukum, memecahkan sebuah masalah atau mencari kebenaran adalah sebuah perbuatan anggota tubuh bukan perbuatan hati.
Merubah kata At-Tahakum ‘untuk mencari kebenaran’ tidak akan mengubah realitas bahwa itu adalah menetapkan (At-Tahakum). Walaupun dia keluar dari sebutan perbuatan memutuskan kepada thaghut, tetapi sebutan ‘mencari kebenaran’ tidak merubah fakta bahwa itu adalah memutuskan.

Melakukan yang demikian adalah (disebut) At-Ta’alluh pada Allah dan merupakan sebuah bentuk dari legislasi.

Perbuatan adalah pilar dari iman dan tahakum adalah sebuah perbuatan anggota tubuh bukan perbuatan hati, jadi apapun niatnya (yang tidak tampak) tidak dihukumi kecuali perbuatannya. Dia pergi kepada thoghut tidak bisa dibenarkan bila dia mengatakan “niatku hanya untuk…begini dan begitu…” karena memutuskan adalah bukan perbuatan hati, tetapi perbuatan anggota tubuh (badan).

Seseorang yang mengatakan bahwa dia bisa memutuskan bersekutu atau berhukum kepada thoghut dengan niat yang berbeda, hanya untuk ‘mencari kebenaran’, ini sama seperti seseorang yang berkata kamu bisa bersujud kepada berhala selama kamu tidak berpikir bahwa itu adalah tuhan atau dia tidak berniat untuk menyembah berhala tetapi hanya untuk menghormatinya.

Dalam kasus ini, kita (menjadi) tidak bisa menyebut seseorang pun musyrik, karena seseorang bisa menyatakan bahwa dia tidak sungguh-sungguh bersujud di dalam hatinya.

Ibnul Qayyim berkata,
“Salah satu bentuk syirik adalah sujudnya murid kepada syaikhnya, itu adalah syirik bagi seseorang yang bersujud dan seseorang menerimanya. Itu adalah sesuatu yang aneh bahwa mereka menyatakan bahwa itu adalah bukan sujud, bahwa itu hanya meletakkan kepala diantara kedua kaki sang syaikh di luar dari rasa hormat dan meninggikannya.’; walaupun kamu memberikannya sebuah sebutan sesukamu faktanya sujud adalah kamu meletakkan kepala ke bawah di depan seseorang yang mau untuk menerima sujud.” [Al Madaarij Al Saalikin v 1 Hal. 374]

Sujud tidak bisa dilakukan kepada seorang syaikh dengan ‘niat’ untuk memberikan rasa hormat, itu adalah syirik dan sujud adalah meletakkan kepala kita di bawah seseorang yang mau kita beri sujud, apapun kita menyebutnya.

Mereka juga menyatakan bahwa “Rasulullah saw. mengambil Mut’ab Ibnu ‘Adiy sebagai pelindungnya dan dia adalah seorang musyik, oleh karena itu kita bisa berhukum (kepada toghut)”.

Orang-orang yang menggunakan alasan yang salah ini dan ini adalah benar-benar sebuah alasan yang salah. Mereka mencoba memunculkan keraguan bahwa “Rasulullah saw. berhukum kepada Mut’ab untuk melindungi dan dengan demikian kita bisa memutuskan kepada thaghut untuk melindungi kebenaran kita.”

Rasulullah saw. tidak pernah meminta pendapat pada Muts’ab, beliau mengangkatnya untuk melindungi beliau, At-Tahakum adalah :
“untuk condong dan memilih kepada yang lain untuk memutuskan perselisihan suatu masalah antara dua atau lebih golongan.”
Ketika kita berbicara tentang tahakum kita sedang berbicara tentang sesuatu yang lain, Allah swt berfirman :

“…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS An Nisa (4) : 59)

An-Niza dalam ayat tersebut berarti permasalahan yang sedang kita hadapi atau untuk meninggalkan sesuatu. Jika seseorang pergi kepada seseorang yang lain yang bisa menyelesaikan permasalahan kita, dan mereka menghakimi dengan selain daripada apa yang telah Allah swt. turunkan, maka orang-orang tersebut tidak beriman pada Allah, jika memutuskan kepada selain daripada (yang telah di turunkan) Allah swt. dan hukumnya adalah syirik akbar.

Itu tidak sama seperti membayar atau mengupah orang kafir untuk melindungi kita, mengambil seorang pelindung (body guard, petunjuk jalan) adalah sesuatu yang Rasulullah saw. dan Abu Bakar lakukan. Abu Bakar memasuki dengan perlindungan Ibnu Daghunna, dan kaum Muslimin memasuki dengan perlindungan An-Najasyi dan Muhammad saw. mengambil perlindungan dari Mut’ab Bin Adi ketika dia datang dari Thaa’if. Kita bisa melakukan hal yang sama, kita bisa memanggil polisi untuk melindungi kita, tetapi tidak untuk membayar dan tidak juga mengambilnya ke dalam pengadilan untuk memutuskan (dengan hukum-hukum selain yang diturunkan Allah swt.)
Jika seseorang meminta untuk mengambil haknya dalam bentuk manfaat itu bukan memutuskan, itu juga bukan mendamaikan antara dua golongan yang sedang berselisih.

2. Mereka juga merujuk kepada Hilful Fudhul

Ini adalah sebuah kesepakatan yang terjadi pada masa jahiliyyah, di dalam rumah Ibnu jad’aan dia memanggil orang-orang dan berkata, “Kamu tidak boleh berlaku buruk, kita ini orang Arab yang menghargai tamu kita dan kita tidak akan membunuh mereka, mereka datang untuk berhaji maka kita harus menerima mereka dan memberikan mereka perlindungan.” Dia membuat sebuah kesepakatan untuk memberikan perlindungan kepada jamaah haji, Rasulullah saw. Bersabda :
“jika aku dipanggil untuk membuat sebuah perjanjian seperti hilful fudhul, aku akan ambil bagian.”

Beliau waktu itu masik anak-anak, ada pun orang-orang yang membicarakan tentangnya di Madinah dan melemparkan perkataan bahwa Beliau SAW terlibat dalam berhukum kepada toghut. Berhukum (kepada toghut) tidak bermakna melakukan aktivitas melindungi seseorang dan aktivitas memberikan perlindunga. Hal ini tidak ada hubungannya sama sekali.

Lebih lanjut, orang-orang yang melakukan hilful fudhul bukanlah tawaghit, mereka bukan tuhan, imam ataupun hakim. Mereka hanya kepala kabilah yang setuju untuk memberikan perlindungan kepada jamaah haji (sebelum Islam ditegakkan di Madinah). Tawaghit adalah yang orang-orang yang dijadikan tempat berhukum seperti Ka’ab bin Asyraf dan Darul Nadwa. Berhukum (kepada toghut) bukanlah orang yang berkata ‘Saya memberikan perlindunganku’

Rasulullah saw. Bersabda :
“Mereka adalah orang-orang musyrik yang tergabung untuk membantu orang-orang yang terhimpit.”
Dan dia berkata tentang itu,
“Aku adalah seorang anak muda ketika aku pergi dengan pamanku untuk perjanjian itu, demi Allah aku tidak akan membiarkannya lemah, meskipun mereka memberiku semua unta yang merah”.

Hilful fudhul hanyalah sebuah perjanjian dari orang-orang yang membantu orang-orang yang terhimpit, itu bukan memutuskan (memberi keputusan hukum) dan Rasulullah saw. menyukai setiap perjanjian untuk membantu orang-orang yang terhimpit.
Mereka yang merujuk dengan dalil ini, kita bertanya, apakah perkataan Rasulullah saw. Dapat ditandingi dengan perkataan Ka’ab Bin Asyraf sehingga orang-orang berhukum kepadanya ? Tentu saja tidak, dan jauh dari masalah berhukum, jadi mengapa kita harus menggunakannya untuk memutuskan (tahakum) perundang-undangan kepada thoghut ?

Sebagian orang yang membantah tentang pendapat itu bahwa pengadilan di Inggris adil (dan juga di negara-negara dengan sistem hukum kufur) dan juga mereka merujuk kepadanya dengan menggunakan hilful fudhul sebagi hujjah.
Jika kita tidak menolak toghut, maka kita telah berbuat munkar dan mengambil jalan yang menyimpang. Allah swt. memerintahkan kita untuk menolak thoghut, sebab perbuatan menyembah toghut akan menyebabkan kita menjadi kafir toghut, dan tidak ada seorang pun bisa menjadi muslim tanpa menolaknya dan menjauh dirinya berhukum kepadanya (thoghut).

Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa “Kita berhukum kepada mereka dalam sebuah masalah jika mereka memberikan putusan yang adil”. sebagaimana hukum tersebut faktanya adalah mengabaikan manusia, tetapi keadilan hanya dari Allah (swt). Hakim hanyalah seseorang yang manaati hukum Allah (swt). Mereka mengklaim bahwa kamu bisa berhukum kepada mereka dan menerima atau menolaknya jika itu adil atau tertekan.
Allah (swt) melarang kita untuk berhukum kepada mereka, dan seseorang yang berhukum kepada mereka, belum menolaknya (thaghut), Allah (swt) berfirman,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu….” (QS An Nisa 4 : 60)

Allah tidak membedakan antara memutuskan kepada thaghut jika putusannya adalah ‘adil’ atau ‘tidak adil’, dan kemudian kita tidak bisa melihat hilful Fudhul sebagai hujjah untuk berhukum kepada thaghut jika mereka ‘adil’.

Lebih lanjut, orang-orang yang terlibat dalam kesepakatan (Hilful Fudhul) tidak hanya melibatkan kepala kabilah, tapi juga melibatkan individu-individu juga, seperti Ibnu Ja’daan. Dia bukanlah seorang kepala kabilah, juga paman nabi menghadirinya dan dia bukan seorang kepala kabilah ; dan mereka bukanlah tawaghit. Menemui orang-orang yang kuat (berpengaruh) dan bijaksana, yang mempunyai penghormatan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atau persetujuan untuk melindungi individu-individu bukanlah memutuskan suatu perkara (tahakum).
Tetapi pergi kepada tawaghit, pemimpin kufur, hakim kafir dan sebagainya untuk memutuskan perkara adalah kufursyirik kecuali di bawah paksaan (menurut sebagian ulama Ahlu Sunnah), jika orang tersebut dipastikan akan berhadapan dengan siksaan atau kematian, dia bisa pergi untuk memutuskannya (kepada hokum toghut). Hujjahnya adalah bahwa Ammar bin Yasir, Allah (swt) berfirman, dan

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS An Nahl 16 : 106)

“…ayat tentang memutuskan perkara kepada thaghut diturunkan kepada orang-orang yang tidak menerima hukum Allah dan RasulNya, sedangkan kita memutuskan perkara pada thaghut tetapi kita menerima hukum Allah dan RasulNya.”

Pernyataan ayat yang didalamnya Allah (Swt) mencela mereka yang berhukum kepada thagut yakni menjadi kafir, hanya bisa diaplikasikan bagi orang-orang yang memenuhi makna tersebut yaitu mereka yang menolak hukum Allah, mereka memberikan syarat atas orang-orang yang masuk dalam arti berhukum kepada toghut. Mereka mengutip peristiwa dua orang, Yahudi dan Munafiq yang berhukum kepada Ka’ab ibn Ashraf, Si Yahudi tidak percaya kepada Ka’ab, karena dia mengetahui dia akan mengambil uang suap, sehingga dia ingin pergi kepada Muhammad (saw), tetapi Si munafik menolak dan menginginkan untuk pergi kepada Ka’ab. Ayat ini mengungkapnya,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu… (QS An Nisa 4 : 60)

Mereka mempunyai Al Iradah (kehendak), mereka hendak berhakim kepada thaghut. Mereka menyatakan bahwa ayat tadi mengandung makna jika mereka secara fakta hendak berhukum kepada toghut maka itu adalah kufur, akan tetapi Allah SWT tidak berfirman, jika mereka hendak berhakim kepada toghut, dalam ayat tersebut Allah menggambarkan situasi tentang mereka yang hendakh berhakim kepada toghut, Allah tidak mengingkari akan adanya syarat, hanya saja sebuah kesalahan jika mengambil iradah (kehendak) sebagai sebuah syarat bahwa berhakim kepada toghut adalah kafir.

Argumen lain yang digunakan oleh orang-orang adalah mereka berhakim kepada toghut padahal mereka tidak menghendakinya. Ini adalah dua penggambaran dari situasi yang sama, dimana kedua-duanya tetap berhakim kepada toghut baik mereka menghendakinya ataupun tidak.

Kita telah mengetahui bahwa ada perbuatan yang kamu lakukan tanpa disertai dengan iradah (kehendak) kecuali jika kamu melakukannya karena di bawah paksaan. Ini adalah sebuah prinsip dalam syari’ah:

Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satu pun perbuatan yang kita lakukan, terlepas dari iradah kecualii dalam kondisi terpaksa. Sebagaimana sebuah kaidah syaria’:

“setiap perbuatan yang kita lakukan dengan kemauan kita adalah pilihan, setiap perbuatan yang dilakukan tanpa pilihan adalah paksaan.”

Setiap perbuatan disertai dengan iradah, akan tetapi tidak setiap iradah menyertai
perbuatan. Iradah dapat menyertai perbuatan (jika jadi dilakukan) dan dapat juga tidak (yaitu jika mereka merubah pikirannya sebelum mengerjakan perbuatan).
Dalam ayat ini Allah (swt) berfirman,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…. (QS An Nisa 4 : 60)

Allah (swt) berfirman, “apakah kamu tidak memperhatikan….” Dan Allah menyebut mereka pembohong dan mencela mereka karena tindakan mereka yang tidak sesuai dengan niat mereka. Mereka memutuskan perkara dengan kekufuran mereka. Seseorang yang pergi untuk memutuskan hukum adalah perbuatan dengan pilihan dan itu adalah suatu hal yang dimurkai Allah dalam ayat ini, setelah itu dia memerangi mereka yang selanjutnya Allah (swt) berfirman,

“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu….”

Jika kita sekarang pergi kepada thaghut untuk menghukumi sesuatu perkara, apa bisa kita artikan (perbuatan tersebut) dengan selain berhukum? Ini adalah sesuatu yang lain untuk mengatakan bahwa mereka ada disana dan mereka tidak mengartikannya di sana, tetapi sederhananya dengan pergi ke sana, itu adalah sebuah hujjah untuk melawan mereka.

Lebih lanjut, pemujaan apapun selain kepada Allah adalah Syirik akbar, apapun yang kamu maksud, baik menerimanya atau tidak kecuali di bawah paksaan. Memutuskan perkara adalah penyembahan dan itu adalah penyembahan secara nyata, jika seseorang pergi memutuskan kepada selain daripada Allah, apakah dia menyukainya atau tidak itu adalah musyik, kecuali dalam keadaan terpaksa karena Allah (swt) berfirman, “kecuali orang-orang yang berada di bawah paksaan”. Kalau tidak dalam kondisi terpaksi, maka pelakunya (berhukum kepada toghut) adalah musyik baik atas kemauannya ataupun tidak.
Selanjutnya, tidak dibolehkan untuk meninggalkan apa yang telah jelas diputuskan, bahwa Allah mencela mereka atas putusan mereka dalam firmanNya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman…” dengan tujuan untuk pergi kepada keraguan dan kerancuan, untuk itu ayat selanjutnya mengatakan, “Mereka hendak berhakim ….” Dengan tujuan untuk menimbulkan keraguan atas itu, Allah (swt) mengatakan setelah itu bahwa, “Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.”

Perintah Allah mengingkari thaghut tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk berhakim kepada toghut, ketika kita telah jelas mengetahui dari ayat tersebut bahwa Allah mencela berhakim kepada toghut, maka tidak dapat diterima jika mereka mengalihkan pada niatan karena permasalahan hanya akan menjadi tidak jelas.
Seseorang yang mengatakan dia tidak menyukai itu (berhakim kepada thoghut) akan tetapi dia tetap beraktivitas berhakim kepada thoghut maka dia berarti tidak mengingkari thoghut, atau jika dia tidak melakukannya akan tetapi dia menyukainya maka dia juga tidak mengingkari thoghut.

Jika mereka mengartikan dengan argumen bahwa iradat adalah niat berkaitan dengan perkataan dan perbuatan maka dalam kasus ini orang-orang yang menyembah atau ibadah di kuburan dan melakukan thawaf di kuburan serta sujud kepada kubur, mereka tidak pernah diartikan dengan syirik, jadi syirik itu apa?

Ibnu Taimiyah berkata:
“Seseorang yang melakukan atau menyatakan kufur maka itu adalah kufur, walaupun dia tidak bermaksud menjadi kafir sebab tidak seorangpun yang pernah bermaksud menjadi kafir, kecuali hanya Alloh yang mengetahuinya”.
Orang yang batil tidak akan pernah mempercayai bahwa diri mereka sebenarnya orang yang batil, bahkan Fir’aun pun berfikir bahwa dia berada diatas kebenaran. Orang yang melakukan perbuatan kufur maka ia adalah kafir baik dia bermaksud menjadi kafir atau tidak.

Imam tabari pada tafsir Surah Al-Kahfi ayat 104 “orang-orang yang mengklaim… dan mereka yang mengklaim untuk melakukan perbutan perbuatan baik…”:
“ayat ini adalah sebuah bukti untuk orang-orang yang mengklaim banwa tidak ada orang yang menjadi kafir pada Allah kecuali seseorang yang telah berniat untuk menjadi kafir setelah dia mengetahui tawhid, karena Allah berfirman perbuatan mereka akan hilang meskipun demikian mereka sedang melakukan perbuatan baik.”
Apapun yang mereka pikirkan adalah tidak relevan dan ayat ini adalah bukti bahwa orang-orang akan menjadi kafir tanpa dia sadari, bahwa mereka akan menjadi kafir pada saat mereka berpikir bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang baik.

Imam Haafiz ibnu Hajar berkata :
“sebagian dari kaum Muslimin keluar dari dien tanpa bermaksud untuk mengeluarkannya dan tanpa untuk memilih dien lain selain Islam. (Fath ul baari)
Tidak ada kaitannya, apakah kamu ingin menjadi kafir atau tidak, apakah kamu ingin berhakim kepada thagut ataukah tidak. Jika kamu melakukan kekufuran jika kamu berhakim kepada thaghut maka kamu adalah kafir.

Hafiz Ibnu Hajar juga berkata :
“Ada sebuah hadits dari Rasulullah tentang Khawarij, yaitu mereka membaca yang Haq, mereka mengajarkan Al Qur’an, tetapi mereka meninggalkan ikatan Islam seperti anak panah yang meninggalkan busurnya.”

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata berkaitan dengan orang-orang yang melakukan ibadah ritual yang berbeda dengan ritual yang telah disyari’atkan :
“Apa yang mereka lakukan di depan kuburan adalah untuk meminta bantuan dan untuk menyelesaikan permasalahan mereka, padahal itu adalah aktivitas sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab Musyrikin sebelumnya kepada bi’tha, kepada Laata, dan ‘Uzza, mereka berkata “kita tidak menyembah mereka, kita hanya pergi kepada mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah”.
Orang-orang pada saat ini mengatakan hal yang sama; mereka mengatakan kita tidak pergi ke sana untuk menyembah thaghut, hanya untuk mencari dan mendapatkan hak kami. Allah Menyebut orang-orang Arab adalah musyrik karena mereka telah pergi pada berhala bukan karena mereka mempunyai niatan untuk menyembah.

Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab melanjutkan :
“pertanyaan yang muncul tentang seseorang dari kaum Muslimin yang melakukan itu, apakah dia kafir? Untuk menjawabnya kita lihat pada dialog di dalam kuburan, malaikat bertanya “siapa tuhanmu?” dia akan menjawab, “aduh? Saya tidak tahu, saya mendengar sebagian orang yang mengatakan demikian maka saya mengatakannya juga…” dan malaikat akan memukul kepalanya …”
Mereka tidak mengetahui bahwa mereka adalah musyrik, padahal keadaan mereka telah musyrik. Tidak seorang pun yang selamat dari kekufuran disebabkan karena mereka tidak tahu, sebaliknya tidak seorang pun yang menjadi murtad kecuali diberikan kesempatan untuk bertobat.

Beliau juga berkata :
“Jika kamu mengatakan bahwa mereka bodoh akan tetapi mereka musyrik dengan perbuatan mereka, saya katakan, telah tertulis dalam kitabnya Fuqaha dari Ummat bab kemurtadan bahwa seorang yang mengatakan kata-kata kufur walaupun mereka tidak mengetahui maka dia telah kufur dan ini adalah dalil bahwa mereka adalah jahil terhadap Islam. Jika kamu katakan bahwa mereka tidak mengetahui Islam atau kufur maka mereka adalah Kafir Asli.”
Dengan kata lain mereka adalah kafir baik murtad ataupun asli. Kita bisa melihat ayat-ayat yang berisi celaan Allah atas orang-orang yang berhakim kepada thaghut.

3.”…Berhukum (kepada toghut) adalah syirik tetapi syirik Asghar.”

Argumen lain mengenai hal itu adalah syirik ashgar, dan telah jelas bahwa
mereka berusaha menyimpangkan fakta bahwa itu adalah syirik akbar,
dengan mengatakan “itu adalah syirik asghar”, padahal tidaklah demikian adanya.
Telah diketahui secara umum bahwa aktivitas ritual ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata. Ibadah ini terbagi dalam 3 divisi, ibadah dari sisi hatinya, lisannya dan perbuatannya. Seperti penampakan aktivitas ibadah seperti do’a yaitu dengan mengangkat tangan ke atas (perbuatan) dan mengucapkan dengan lisan. Al Istighozah, Ar Ruku’, As Sujud, dan lain-lain. Semuanya nampak sebagai aktivitas ibadah termasuk juga berhakim kepada thaghut.

Siapapun yang melakukan aktivitas ibadah kepada selain Allah adalah musyrik, adapun berkaitan dengan niatan yang tersembunyi dalam hati maka kita hanya menghukumi apa yang nampak, kita tidak bisa menghukumi apa yang ada dalam hati; kita hanya bisa menghukumi apa yang nampak oleh perbuatan atau aktivitas perbuatan.

Iman kepada Allah bukan hanya dalam hati, akan tetapi iman itu ada dalam hati, perkataan dan perbuatan. Seseorang yang menggunakan ini (iman hanya dalam hati) sebagai argumen dari syirik asghar telah membuat kesalahan yaitu membuat analogi dengan hukum qassam (bersumpah) dengan selain dari Allah, perkataan ini adalah syirik asghar dan memiliki indikasi bahwa itu adalah asghar.

Alasan mereka membuat kesalahan ini disebabkan mereka adalah Murji’, Irja’ (memisahkan antara iman dan perbuatan). Ini adalah sesuatu yang berbahaya melebihi bahaya Yahudi dan Nasrani. Orang-orang mungkin bertanya, “Kenapa Fuqaha menyebut sumpah dengan nama Allah adalah ibadah?” Ini disebabkan sumpah dengan nama Allah itu menyertai aktivitas ibadah, ibadah dari Ta’zim, untuk meninggikan Allah dengan membuat qassam atas Allah, kamu berarti meninggikan dan memuliakan Allah, itulah ibadah, dengan membuat qassam berarti kamu telah menyatakan bahwa Dia (Allah) layak untuk ta’zim dengan membuat qassam atas-Nya. Jika seseorang membuat qassam dengan selain Allah maka dia tidak membuat ta’zim dan juga tidak selalu merupakan bentuk ibadah. Dikatakan merupakan bentuk ibadah jika meninggikan Allah, akan tetapi bukan merupakan bentuk ibadah jika dia bersumpah dengan sesuatu yang lain daripada Allah.
Berhukum adalah salah satu bentuk ibadah. Ta’zim adalah sebuah fungsi dari hati, itu adalah I’tiqaad yang tersembunyi dalam hati yang tidak dapat kita lihat atau hukumi, itu adalah niatan yang tersembunyi; bisa juga meninggikan Allah atau hanya berupa keyakinan seseorang. Adapun berhakim adalah sesuatu yang nampak, merupakan perbuatan yang bisa kita lihat dan kita hukumi.

Ketika seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan bersumpah dengan nama ibunya, Beliau SAW menyatakan bahwa itu syirik, tetapi Beliau SAW tidak memintanya untuk mengulangi shalatnya. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa itu adalah syirik asghar kecuali kalau dia mengartikannya sebagai aktivitas ritual seperti jika dia mengatakan, “saya bersumpah dengan (nama) ibuku yang tertinggi seperti Allah.” Dia berarti melakukan syirik akbar.

Ta’zim adalah tersembunyi dan butuh untuk dinampakkan untuk bisa dihukumi sebagai ibadah, adapun shalat dan berhakim adalah perbuatan yang tidak butuh untuk dinampakkan karena sudah kelihatan jelas.

Dalam Al Bukhori, Nabi SAW bersabda,
“Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan (nama) Ayahmu dan Ibumu”
Pada permulaan Islam, tidak dilarang kamu untuk bersumpah dengan (nama) kedua orang tuamu, akan tetapi hal itu kemudian diubah, adapun berhukum (kepada thaghut) telah diputuskan sebagai aktivitas syirik yang dilarang sejak permulaan Islam, sebagaimana dalam ayat,

“Ápakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisaa’, 4:60)

Ayat di atas diturunkan di Madinah, perbuatan yang ada dalam ayat tersebut adalah Syirik Akbar, mulai dari awal hingga akhir agama Islam hukum tersebut tidak berubah seperti hukum qassam, tidak ada dalam Islam Syirik Akbar di awal agama Islam kemudian di akhir (penyebaran) Islam menjadi Syirik Asghar, analogi diantara 2 hal tersebut tidak benar.

Jika kamu menggunakan analogimu untuk mengatakan bahwa berhakim kepada thaghut diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya berhakim kepada Kaahin sebalumnya ketika berada di Mekkah dan dirubah (dilarang) setelahnya. Maka macam analogi seperti ini sangat berbahaya dan berimplikasi serius. Analogi seperti ini tidak pada kasus berhakim kepada thaghut yang merupakan syirik Akbar mulai dari permulaan Islam.
Walaupun hal itu benar merupakan syirik Asghar maka kamu tetap dilarang dari berhukum kepada thaghut.

4. Jika kami berhakim dan menemukan hukum yang bertentangan dengan syari’ah maka kami tidak akan mengambilnya, akan tetapi jika hukum tersebut sebanding dengan syariat maka kami akan mengambilnya.

Orang-orang mengatakan tentang berhakim kepada thaghut, jika berhakim kepada thaghut itu bertentangan dengan syariah maka mereka akan menolaknya sebab itu adalah kufur, akan tetapi jika disetujui (oleh syari’ah) maka mereka akan mengambilnya.
Ini adalah keraguan yang dilemparkan oleh Jaamis khususnya yang berada di Eropa. Pertama, mereka telah membuat kesalahan dalam membuat atau melihat fakta berhakim kepada thaghut dan melupakan arti bahwa berhakim kepada thaghut adalah syirik, Allah SWT berfirman, “Mereka hendak berhakim kepada thaghut…” Fakta bahwa mereka hendak berhakim kepada thaghut telah cukup bagi Allah untuk menyebut mereka kafir, tidak memandang apakah berhakim kepada Ka’ab dapat memberikan keadilan hukum ataukah tidak.
Selebihnya, kita tidak membicarakan hak-hak dari manusia melebihi hak-hak dari Allah SWT; kita tidak meminta hak-hak kita, yang lebih kita takutkan jika hal tersebut melanggar hak Allah. Hak Allah adalah tidak disekutukan oleh makhlukNya.

5. Saat ini dengan tidak adanya negara Islam maka kita tidak memperoleh hak-hak kita, jadi saat ini kita berada di bawah tekanan.
Mayoritas Mur’ji’ah menggunakan argumen ini, lihatlah firman Allah SWT :

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. An Nahl, 16:107)

Orang-orang menggunakan argumen ini untuk melupakan hukuman di akhiratnya demi mendapatkan hak-hak mereka di dalam kehidupan dunia. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya,
“Kekufuran dan hukuman yang dijanjikan Allah atas mereka tidak disebabkan mereka membenci agama atau mereka mencintai kekufuran akan tetapi hanya disebabkan karena dia memberikan kebaikan/kenikmatan dunia melebihi agamanya.”
Tidak diperbolehkan bagi orang-orang yang beriman untuk mengutamakan kenikmatan dunia, seperti kamu mencuri mobil dengan mengabaikan (larangan agama), kamu tidak bisa menyatakan berada di bawah tekanan tatkala melakukan pencurian mobil atau bekerja dalam rangka meninggalkan agama dengan berhakim kepada thaghut, hal yang terbaik adalah lupakan pekerjaanmu dan mobilmu, kebaikan agama melebihi dari kenikmatan dunia.

Nabi SAW bersabda,
“Orang yang merugi adalah orang yang menyembah dinar dan orang-orang yang menyembah dirham serta orang-orang yang menyembah pakaian-pakaian….”
Allah SWT berfirman,

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. At Taubah, 9:24)

Allah SWT mencoba mereka yang memilih semua urusan dunianya (dan Allah telah menyebutkan persoalan-persoalan yang lebih disukai oleh manusia) melebihi jihad, itulah sebabnya mereka melalaikan jihad karena untuk meraih dunia. Peniadaan satu kewajiban untuk kepentingan dunia dicela oleh Allah karena berarti melakukan Syirik Akbar untuk beberapa kemaslahatan dunia.

Adapun jika orang-orang yang beriman berada dalam paksaan, Allah SWT tidak pernah memperbolehkan siapapun untuk melakukan syirik bahkan berada di bawah paksaan sekalipun, berada di bawah paksaan (yang ada rukhsah itu) adalah permasalahan antara hidup dan mati, yaitu seseorang yang dipaksa, diancam dan dipukul yang bisa menghantarkan pada kematian) maka setelah itu baru ada kebolehan.
Allah SWT berfirman,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku maka Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh.” (QS. Adz Dzaariyat, 51:56-58)

Bagaimana mungkin kamu melanggar tujuan atas penciptaanmu? Tujuan untuk mentauhidkan Dzat yang mencukupkan rizqimu? Allah SWT adalah pemberi dan penjamin rizqimu, Allah meletakkan jaminan ini dalam konteks perintah untuk melakukan ibadah (penyembahan) hanya kepada-Nya dengan penekanan yang sangat, jadi kamu tidak akan pernah menyembah selain daripada Allah untuk rizqimu. Allah berfirman dalam hadist Qudsi :

“Tho’atlah kepadaKu setiap waktu, maka Aku akan memenuhi hatimu dengan kecukupan dan keamanan terhadap kebutuhanmu, jika kamu tidak melakukan ketundukan kepadaKu maka Aku akan menyibukkan kamu setiap waktu dan tidak akan memberikan kepadamu rasa aman.”
Tekanan tidaklah sama dengan paksaan. Suatu kesalahan untuk mengatakan bahwa kamu dapat melakukan kekufuran atau kesyirikan disebabkan kamu berada di bawah tekanan; tekanan berarti bahwa kamu menghadapi situasi antara hidup dan mati karena sebab kebutuhan materialmu yaitu kelaparan. Paksaan adalah situasi yang berbeda dan membutuhkan beberapa bentuk hukuman atau siksaan. Allah SWT berfirman,

“Barangsiapa berada di bawah tekanan, tidak berarti bughat atau melanggar, tiada dosa bagimu karena Allah memberikan ampunan.”

Artinya seseorang yang tidak memiliki makanan dan berada di bawah tekanan, maka dia mengambil kefasadan yang lebih rendah, jika dia mendapati daging babi dan daging yang tidak disembelih (atas nama Allah) maka dia dapat mengambil kefasadan yang lebih ringan, dia dapat memakan daging tersebut dalam jumlah sedikit untuk bertahan hidup.

Seseorang yang berada di bawah paksaan berbeda dengan orang yang berada di bawah tekanan. Seseorang mungkin bertanya, Apa itu paksaan? Allah SWT berfirman,

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. An Nahl, 16:106)

Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang menimpa Ammar bin Yasir, orang-orang Quraisy menangkapnya dan menangkap Ibu dan Ayahnya, orang-orang Quraisy menyiksa mereka, mereka meletakkan ibunya (ibu Ammar bin Yasir) yaitu Sumayyah dan mengikat badannya di tempat usungan unta dan menyiksanya, lalu Umayyah bin Khalaf datang dengan tombak dan membunuhnya. Ayahnya juga disiksa dan dibunuh, diletakkan minyak yang panas di atas tubuhnya. Setelah semua siksaan ini diakukan kepada Ammar, mereka menyuruh Ammar mengucapkan kata-kata kufur dan Ammar pun melakukannya. Dia tidak pernah melakukan kekufuran semenjak siksaan yang pertama, dia (Ammar) berkata, “Saya mengingkari Muhammad”, akan tetapi hatinya penuh dengan iman, Nabi SAW bersabda,
“Ammar penuh dengan Iman dari kepala hingga ujung jari kakinya, Iman telah bercampur dalam darah dan dagingnya.”

Ammar datang kepada Muhammad SAW sambil menangis, Nabi SAW bertanya kenapa dia menangis, Ammar berkata,
“Saya mengatakan hal yang buruk tentang Anda dan saya menjunjung tinggi mereka” Beliau SAW bertanya, “Bagaimana dengan hatimu?,” Ammar menjawab. ”Saya mencintaimu dan beriman terhadapmu” lalu Nabi SAW bersabda, “Jika mereka menyiksa kamu lagi, maka katakan seperti itu lagi.”

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang menghadapi siksaan sebagaimana berada dalam keadaan dipaksa, jadi siapapun yang mengalami apa yang Ammar alami diperbolehkan berbuat serupa seperti apa yang telah diperbolehkan pada diri Ammar. Untuk mengatakan kekufuran setelah ayah dan ibunya dibunuh dan diapun telah disiksa.
Apa yang disebut paksaan oleh orang-orang saat ini tidaklah sebanding dengan apa yang terjadi pada Ammar, Mereka bebas berbuat sesukanya lalu menyatakan berada di bawah paksaan. Bilal telah mengalami hal yang serupa dengan Ammar, dia menghadapi siksaan akan tetapi tidak pernah berkompromi (dengan kekufuran).

Imam Ahmad berkata ketika mereka (orang-orang) berkata kepada Imam Ahmad dan memintanya untuk mengambil taqiyah, sebab mereka berada dibawah paksaan, mengambil kebolehan (rukhsoh) seperti yang terjadi pada Ammar, Beliau berkata,
”Mereka memukul Ammar, adapun kamu mundur sebelum kamu dipukul.”

Jadi siksaan adalah prasyarat kondisi dari kebolehan atas paksaan.
Serupa dengan argumen mereka dari sistem thaghut yaitu mengambil uang dari seorang dan menolak mengembalikannya sampai dia menyembah Tuhan-Tuhan mereka. Pertanyaan yang berkembang, seandainya seseorang mengatakan seperti ini, “saya tidak akan mengembalikan uangmu hingga kamu menyembah berhala-berhala.” Dapatkah kamu melakukannya dalam situasi seperti ini ? Apakah ini tekanan ?. Seseorang yang benar-benar butuh atas kehilangan uangnya, dia masuk di bawah larangan paksaan, kita harus mengumpulkan semua bukti-bukti untuk menghukuminya jika dia benar-benar di bawah paksaan, karena Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: ”Adakah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. (QS. An Nisaa’, 4:97)

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan tentang orang-orang muslim yang dipaksa untuk berperang bersama orang-orang kafir melawan orang-orang muslim di Badar, Nabi SAW menangkap beberapa dari mereka dan membunuh beberapa diantara mereka, Allah menghukumi mereka seperti orang-orang kafir.
Abul Awad berkata,

“Orang-orang Anshar menutup jalan menuju Madinah, saya telah membuat perjanjian dengan mereka untuk menyelamatkan kehidupanku, saya bertemu dengan Ibn Abbas dan dia mengatakan bahwa tidak melakukannya, begitupun juga tidak diperbolehkan bagi orang-orang untuk melakukannya.”

Orang-orang tersebut tidak pernah berada di bawah paksaan seperti yang dialami oleh Ammar bin Yaasir, tentu saja orang-orang kafir akan menekanmu khususnya jika mereka berkuasa atasmu, akan tetapi bukan berarti kamu berada dalam keadaan dipaksa. Orang-orang tersebut berperang di Badar, yang mana mereka tidak pernah disiksa seperti Ammar sehinga orang-orang muslim tersebut dihukumi sama seperti orang kafir walaupun mereka menyatakan mereka berada di bawah paksaan. Ibnu Jamar dalam tafsirnya, melaporkan bahwa,

“Ketika Muhammad SAW menangkap Abbas, Dia berkata bebaskan dirimu sendiri dan kemenakan laki-lakimu,“Abbas berkata, “ Ya Rasulullah, apakah kami tidak shalat seperti kamu shalat dan menghadap kiblatmu juga?”
Beliau SAW menjawab “Kamu berperang bersama mereka, jadi kamu telah menghilangkan keislamanmu.”

Kita memahami bahwa realita tekanan adalah ketika tidak ada pilihan bagimu, akan tetapi jika sebaliknya (ada pilihan) maka berarti tidak ada tekanan. Walaupun Abbas muslim ketika di Mekkah dan mampu untuk hijrah akan tetapi dia memilih untuk tinggal di antara mereka (orang-orang kafir) dan kemudian dia berperang melawan orang-orang muslim.

Syubhat yang masih tersisa salah satunya dari Ahnaf, mereka percaya bahwa paksaan dapat terjadi jika kamu diancam dengan siksaan, bagaimanapun paksaan itu datangnya bisa dari pihak polisi dan orang yang berkuasa. Bagi Ahnaf, orang yang ragu apakah berada dibawah paksaan atau ancaman atau tidak? Jawabannya jika dia tidak mampu menghindarinya maka dia mendapat kebolehan (rukhsoh) akan tetapi jika dia mampu menghindarinya maka dia berarti tidak berada dalam paksaan dan dia tidak boleh mengambil kebolehan melakukan kekufuran.

Ayat di atas mengandung pertanyaan, “kelompok manakah yang mereka sertai?” mereka membuat alasan bahwa “kami adalah orang-orang yang tertindas di muka bumi” malaikat tidak menerima alsan itu, berhakim kepada thaghut meletakkan kamu bersama dengan orang-orang kafir dan kelompok mereka. Perbedaan disini adalah aspek keengganan untuk hijrah : orang-orang yang tercegah untuk berhijrah mereka berpikir tidaklah berdosa tinggal bersama mereka (orang-orang kafir) karena itu mereka tidak keluar untuk berhijrah seperti Ibnu Abbas. Akan tetapi orang-orang tersebut yang memilih tinggal bersama orang-orang kafir, mereka dialamati dengan ayat ini.

6. Perbuatan berhakim kepada Thaghut hanyalah haram jika termasuk dalam Istihlal.
Mereka menyatakan bahwa Allah hanya mencela orang-orang yang telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal karena mereka menyatakan bahwa mereka hanya mengikuti apa yang Allah firmankan. Argumen yang mereka gunakan didasarkan atas perkataan Ibnu Taimiyah tentang ayat,
“Mereka menjadikan orang-orang Alim dan Rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (QS. At Taubah, 9:31)

Ibnu Taimiyah berkata,
"Orang-orang yang menjadikan orang-orang Alim dan Rahib-rahib mereka Tuhan selain Allah, mereka mematuhi mereka dalam hal menghalalkan apa yang dilarang oleh Allah dan melarang apa yang Allah halalkan, mereka itu ada 2. 1) Disebabkan mereka merubah agama dan mereka mengikuti orang-orang Alim dan Rahib-rahib mereka dalam perubahan itu dan mereka mulai mengimani dalam hal menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan itu adalah Kufur Akbar. 2) Mereka mematuhi dalam ketidak tho’atan kepada Allah akan tetapi mereka mengetahui bahwa itu haram, mereka tidaklah kafir.” (Majmou’ Al Fattawa)

Yaitu mereka mengetahui bahwa mereka mengubah agama dan bahwa apa yang mereka ikuti berbeda dari agama, itulah istihlal dan merupakan Kufur Akbar, yang kedua, orang yang beriman bahwa haram adalah haram akan tetapi mereka tidak mematuhi Allah dan memetuhi orang-orang Alim dan Rahib-rahib mereka. Ini adalah syubhat yang dikembangkan dari perkataan Ibnu Taimiyah.

Mereka tidak membedakan antara 2 tipe kepatuhan; yakni ; ada At Tho’ah Syirki dan At Tho’ah Ma’ssiyah. Orang yang percaya bahwa perbuatan itu adalah haram akan tetapi dia melakukannya maka dia telah keluar dari kerangka kepatuhan dan dia juga mengetahui bahwa dia berdosa disebabkan karena itu; dia tidaklah kafir dan itulah Tho’ah Ma’ssiyah. Orang yang mematuhi seseorang dan mengimaninya, oleh karenanya dia mematuhi mereka itulah yang dinamakan Ta’ah Syirki, dia bukan hanya berdosa akan tetapi dia adalah musyrik karena telah berpegang padanya untuk menyembah berhala-berhala.

Ibnu Taimiyah hanya menjelaskan perbedaan antara At Tho’ah Syirki dan At Tho’ah Ma’ssiyah, Beliau tidak membuat alasan berkaitan dengan berhakim kepada thaghut; dalam faktanya penjelasan beliau yang lainnya bertentangan dengan apa yang mereka nyatakan.

Ada perbedaan besar antara kepatuhan dan berhakim, kepatuhan bisa jatuh pada syirik dan dan bisa jatuh pada Ma’ssiyah. Adapun berhakim kepada thaghut adalah syirik terhadap Allah, berhakim adalah bentuk aktivitas ibadah (penyembahan).
Ibnu Taimiyah berkata,

“Barangsiapa berhakim kepada selain dari Al-Qur’an dan Sunnah setelah datang penjelasan kepadanya maka ia kafir kufur akbar.”
Keraguan (syubhat) yang mereka coba lemparkan dengan perkataan bahwa itu hanyalah Ma’ssiyah, adalah salah dan tidak bisa diatributkan kepada ibnu Taimiyah.

7. “Kami mengetahui bahwa itu adalah thaghut akan tetapi karena tekanan dan fitnah, dan lain-lain…”

Bagi orang yang mengetahui dan menyadari bahwa berhakim kepada thaghut adalah kufur Akbar dan mereka menyatakan bahwa mereka melakukannya untuk keluar dari tekanan, maka kita harus ingat, lebih besar mana dosanya melakukan kekufuran atau membunuh ?
Allah SWT berfirman,

“Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh.” (QS. Al Baqarah, 2:217)

Solusi (Pemecahan Masalah)
Kita bisa melihat pada awal Islam, mereka (ummat muslim) di Mekkah tidak berada dalam keadaan dipaksa jadi mereka tidak diberikan alasan karena alasan dipaksa ketika mereka berperang melawan ummat maslim di Badar, Kondisinya sama sebagaimana yang dialami oleh mayoritas orang-orang muslim di negeri-negeri kufur asli (seperti di Inggris, dan lainnya) maupun di negeri-negeri kufur murtad), tidak seorangpun yang tinggal disana berada dalam keadaan terpaksa yaitu tidak punya pilihan kecuali hanya terjadi pada sedikit orang yang memang berada dalam kondisi dipaksa untuk tetap tinggal disana. Orang-orang yang pergi ke Abyssinia menghadapi penyiksaan, mereka tidak pergi kesana karena urusan bisnis atau untuk alasan dunia.

Ada kejadian yang terkenal pada masa Ubaidis Fatimis di Mesir, mereka adalah orang-orang yang murtad, orang-orang yang berhukum pada hukum Mesir yang kufur pada saat itu dan menghukum orang-orang yang menyebut nama-nama Shahabat, mereka menahan orang-orang dan meletakkannya berada dalam paksaan, serta dikatakan kepadanya,
“Bergabunglah dengan dakwah kami atau kamu akan dibunuh.”

Pendapat mengenai hal itu seperti apa yang disampaikan oleh Qadhi Iyaad,
“Dia seharusnya memilih dibunuh, dia tertantang untuk lari jauh akan tetapi dia tidak pernah lari (menghindarinya), kamu tidak bisa memberikan alasan jika kamu memilih untuk tinggal bersama mereka di tempat tersebut bersama dengan orang-orang yang menghancurkan syariah. Untuk Ulama yang tinggal di Mesir dan penyembah tuhan lain (selain Allah). Mereka seharusnya berhijrah, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya mereka tinggal disana dan mengajarkan agama mereka kepada masyarakat.”
Sekarang, kita ketahui dengan baik bahwa berjuta-juta ummat muslim hidup di negeri-negeri kufur dan berjuta-juta pula hidup dibawah rezim thaghut di negeri-negeri muslim; Apakah kamu percaya realitanya bahwa mereka diperintah oleh orang-orang muslim untuk menyembah berhala-berhala untuk mengembalikan hak-hak mereka (hak-hak dan kemaslahatan lainnya), apakah dia diperbolehkan untuk melakukannya juga ?
Orang-orang yang berhukum kepada thaghut adalah kufur akan tetapi mereka membawa berbagai alasan untuk mengingkarinya, tidak ada alasan kerena kebodohan, kami tetap akan menyebutnya kafir. Dia menyatakan bahwa dia berada dibawah paksaan sebab mereka hidup dibawah kekufuran, itu tidak bisa dibuat alasan bagi mereka untuk melakukan kekufuran atau kesyirikan.

Dengan demikian, solusi untuk masalah ini adalah :

1. Hijrah

Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengaharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah, 2:218)

Allah SWT berfirman,

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akherat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl, 16:41)

Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya Tuhanmu (Pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl, 16:110)

Allah SWT berfirman,

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisaa’, 4:100)

Ibnu Katsir membuat tafsir ayat, “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia.“ Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar berkata,
“Dimana saja seseorang berhijrah, maka dia akan mendapatkan rizkinya.”
Jalan pertama untuk keluar dari fitnah ini adalah dengan berhijrah, berhijrah dari tempat dimana kamu berada dibawah tekanan menuju tempat dimana kamu tidak berada dibawah tekanan.
Inilah kenapa Ulama berbicara tentang hijrah dari darul Kufur ke darul Islam dan dari tempat fasiq ke tempat tidak ada fasiq atau dari dimana kamu tidak bisa melakukan kewajibanmu ke tempat dimana kamu dapat melaksanakan kewajibanmu.

2. Isolasi (Uzlah)

Dalam hadits Bukhari, terdapat bab yang berjudul “Termasuk bagian dari agama adalah meninggalkan fitnah.” Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri bahwa,
“Kekayaan yang terbaik bagi seorang muslim dan mudah untuk dicapai adalah dia meninggalkan makanannya menuju gunung untuk menghindari fitnah.”
Orang yang tidak bisa meninggalkan tempat fitnah hendaklah dia beruzlah (mengisolasi diri atau menghindari fitnah dan syubhat).

3. Dakwah

Ini dilakukan oleh sebuah jama’ah yang terdiri dari orang-orang yang tidak hendak berhijrah, tidak juga melakukan isolasi, mereka seharusnya membentuk sebuah jama’ah yang terdiri dari orang-orang muslim yang bergabung bersama-sama dan memilih seorang Alim untuk menjadi Amir bagi mereka dan untuk mengatur mereka dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah hingga mereka dapat menentang hukum kufur dan mengambil alih kekuasaan.

Imam Syafi’i dalam Kitabul Umm berkata,
"Kewajiban bagi Imam adalah mengangkat seorang hakim di setiap kota dan setiap daerah serta membuat orang-orang merujuk kepadanya dalam setiap masalah dan jika tidak ada imam maka mereka akan memilih salah satu diantara mereka.”
Ini adalah alternatif yang terbaik dari 2 alternatif lainnya dan mendapatkan tingkatan kedudukan yang lebih baik. Insya Allah.
Menolak Thaghut Dengan Hati, Lisan dan Perbuatan
Salah satu inti Tauhid adalah kufur bit thaghut.
Kufur bit Thaghut datang dari pengingkaran dan itu berarti menolak dan mengingkari semua yang diibadahi selain Allah
,bukti atas ini adalah ketika Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa saja yang mengucapkan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua yang disembah selain Allah SWT; maka darah dan hartanya terlindungi serta perhitungannya adalah dengan Allah SWT.” (HR. Muslim, Tabarani)

Muhammad SAW telah menjelaskan ‘tidak ada Tuhan yang berhak disembah’ dan kemudian mengulang lagi dengan mengatakan “…menolak dan mengingkari semua yang diibadahi selain Allah SWT”, maka mengapa itu disebutkan dua kali? Ini karena itu menunjukkan penting dan berartinya masalah ini, sebagai contoh, sebagian mungkin berkata bahwa mereka beriman kepada Allah tetapi mungkin belum benar-benar memahaminya, selanjutnya penetapan pentingnya iman seseorang belum sempurna sampai dia kufur bit thaghut.

Maka ketika Muhammad SAW berkata mendeklarasikan keingkarannya itu berarti mendeklarasikan kufur kepada Thaghut, Ibnu Taimiyah berkata,
“Seseorang tidak bisa menjadi Muwahidin kecuali dengan menolak Asy Syirik dan mendeklarasikan bara’ah kepadanya juga mendeklarasikan Takfir kepada siapa saja yang terlibat dalam syirik.”

Adalah perkara yang mudah bagi manusia untuk beribadah kepada Allah SWT, jika kita memerintahkan masyarakat untuk beribadah kepada Allah mereka akan dengan mudah melaksanakannya, tetapi di sisi lain sangat sulit untuk menolak dan mengingkari Thaghut, selanjutnya menjadi perkara yang sangat penting untuk mengetahui bahwa seorang Muslim tidak bisa mempunyai kufur dan iman pada saat yang sama. Rasulullah SAW bersabda,
“Iman dan kufur tidak bisa ada bersamaan dalam hati seseorang.” (Silsalat Us Sahiha Syekh Al Bani No 1050)

Pada masalah ini seseorang mungkin bertanya, sekarang kita mengetahui apa itu Thaghut, terus bagaimana kita ambil bagian dalam kufur bit thaghut?
Sebagaimana kita mengatakan iman adalah di dalam hati, lisan dan perbuatan, sama halnya kita harus ambil bagian dalam kufur bit Thaghut dengan hati, lisan dan perbuatan.

Ada Muslim yang melakukan syirik dan tidak menolak, mengingkari Thaghut, sebagian dari kita mungkin menemukan mereka berdo’a kepada kuburan atau meninggikan kedudukan seseorang seperti Nabi, dan lainnya, kita mungkin mendengar seruan orang-orang untuk menaati hukum buatan manusia dan berpartisipasi dalam pemilu, dan sebagian dari kita melihat ada yang bersekutu dan membantu musuh-musuh Allah di Iraq dan Afghanistan memerangi Muslim, tetapi Allah akan menggolongkan mereka sebagai orang-orang kafir walaupun jika mereka juga menyibukkan diri dalam shalat, puasa dan haji.
Orang-orang Pagan Quraisy adalah orang-orang yang menyembah Allah SWT, tetapi Allah mencap mereka sebagai orang-orang Kafir karena mereka telah gagal untuk menolak dan kufur kepada Thaghut dengan hati, lisan dan perbuatan. Lebih lanjut, jika seseorang mengabaikan kufur bit Thaghut dari apa yang dirahasiakan dan dilahirkan, imannya tidak sempurna dan berapa banyak orang-orang di masa lalu dan sekarang beribadah kepada Allah tetapi gagal untuk menolak dan mengingkari semua yang diibadahi selain Allah? Allah SWT berfirman,

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah",” (QS Al Ankabut, 29: 63)

Kufur Bit Thaghut dengan hati
Mengingkari dengan hati adalah membenci dan memusuhi thaghut, tergantung, apakah bisa mempunyai kemampuan (mengingkari toghut) secara fisik atau tidak, karena mengabaikan menolak thaghut dengan hati mengindikasikan hilangnya iman dari hati. Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada sisa iman diluar ini (membenci kemunkaran dengan hati).” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)
Ini menggambarkan hati itu tidak bisa ditekan dengan paksaan, maka jika kita tidak membencinya dalam hati maka kebalikannya adalah bahwa kita senang dangannya. Sebagai tambahan disini bahwa mengingkari dengan hati membutuhkan seseorang menjadi absent (tidak hadir dan tidak mendukung) dari kancah kemunkaran dan dalam kasus penguasa murtad yang ada, itu berarti manjauhi mereka. Allah SWT berfirman,

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut…” (QS An Nahl, 16: 36)

Kufur Bit Thaghut dengan perkataan
Kita harus kufur bit thaghut dengan lidah di depan pemimpin thaghut, menjelaskannya, memperingati orang-orang dari mereka. Kita berada pada Millah Ibrahim A.S. dan siapa saja yang tidak mengikuti Milah Ibrahim A.S. menjadi tidak berarti dan membodohi dirinya sendiri. Millatul Ibrahim berbicara kepada orang-orang secara terang-terangan. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al Mumtahanah, 60 : 4)

Rasulullah SAW bersabda,
“Salah satu dan sebaik-baik bentuk Jihad adalah menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa zalim.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Mu’awiyah bin Hayda yang berkata,
“Aku berkata kepada Nabi SAW, ‘Yaa Nabi Allah! Apa yang Allah SWT telah sampaikan ke kamu untuk kami?’ Beliau SAW menjawab, ‘Islam’. Aku berkata, ‘Apa tanda-tanda Islam?’ beliau SAW menjawab, ‘ucapkan: Aku mengabdikan diriku kepada Allah SWT dan aku telah meninggalkan sesuatu yang lain; melaksanakan shalat membayar zakat; seorang Muslim kepada Muslim lainnya adalah suci; dan mereka saling menolong satu dengan lainnya…” (Sunan An Nisa’i, Hadits No. 2408

Sebuah tanda dari seseorang dalam Islam adalah bahwa dia membicarakan keimanannya, dan ini adalah sebenar-benarnya pengertian Islam. Seseorang dalam Islam harus menolak thaghut dengan lisan dan mendeklarasikan bara’ dan melakukan Takfir kepada orang-orang yang Kafir dan yang terlibat dalam syirik.

Juga sebagai tambahan bahwa ‘Siapa saja yang tidak mentakfir orang-orang kafir, maka dia Kafir.’
Sebagian orang mungkin mengatakan kita berada dalam masa lemah?
Tidak ada keraguan kita berada dalam kondisi yang lemah, maka seseorang yang tidak mampu diringankan tetapi seseorang yang tidak lemah dan bisa berbicara tidak ada keringanan. Mungkin, tidak realistis untuk pergi ke Istana Thaghut, tetapi kita bisa berbicara dan memperingati teman, keluarga dan lainnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Nabi SAW bersabda :
“Jika aku menginstruksikan kalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah sebisa kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kufur Bit Thaghut Dengan Perbuatan
Jika seseorang mengatakan dia melakukan Kufur Bit Thaghut dengan hati dan lisan, tidak berarti apa-apa karena dia harus datang dengan hati, lisan dan perbuatan. Kufur bit Thaghut dalam perbuatan berarti memerangi mereka dan tidak bersekutu juga mendukung mereka. Allah SWT berfirman,

“…perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu…” (QS At Taubah, 9: 12)

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (kufur) lagi dan (sehingga semua) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah…” (QS Al Baqarah, 2: 193)

Iman kita kepada Allah tidak akan diterima oleh Allah SWT sampai kita menolak dan kufur kepada Thaghut dengan hati, lisan dan perbuatan,karena Allah SWT berfirman,
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah. maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah, 2: 256)
Wallahu’alam bis Showab

Syrik Akhir Zaman

Para pembaca yang budiman, diantara musibah besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini adalah acuh terhadap urusan agama dan sibuk dengan urusan dunia. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan Alloh karena sedikitnya pemahaman tentang permasalahan-permasalahan agama. Dan jurang terdalam yang mereka masuki yaitu lembah hitam kesyirikan.

Perbuatan dosa yang paling besar inipun begitu samar bagi kebanyakan manusia karena kejahilan mereka dan rajinnya setan dalam meyesatkan manusia sebagaimana yang dikisahkan Alloh tentang sumpah iblis, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.” (Al-A'rof: 16).

Bahkan kesyirikan hasil tipudaya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini lebih parah daripada kesyirikan yang terjadi pada zaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam…!! Kenapa bisa demikian ?

Kemusyrikan Zaman Dahulu Hanya di Waktu Lapang

Sesungguhnya orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh melakukan kesyirikan hanya ketika dalam keadaan lapang saja. Namun tatkala mereka dalam keadaan sempit, terjepit, susah dan ketakutan mereka kembali mentauhidkan Alloh, hanya berdo'a kepada Alloh saja dan melupakan segala sesembahan selain Alloh.

Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Alloh tentang keadaan mereka, “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Al-Isra': 67). “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Alloh) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka'.” (Az-Zumar: 8).

Itulah keadaan musyrikin zaman dahulu, lalu bagaimana keadaan musyrikin pada zaman kita ini? Ternyata sama saja bagi orang-orang musyrik zaman kita ini, baik dalam waktu lapang ataupun sempit tetap saja mereka menjadikan bagi Alloh sekutu.
Tatkala punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Tatkala sesuatu ketika terkena musibah, mereka beranggapan bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin penunggu) kampungnya kemudian meminta ampun dan berdoa kepadanya agar menghilangkan musibah itu atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya. Ini adalah bentuk kesyirikan kepada Alloh yang amat nyata.

Alloh berfirman, “Hanya bagi Alloh-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan sesuatu yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ro'du: 14)

Sesembahan Musyrikin Dulu Lebih Mending Sholehnya

Orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam menjadikan sekutu bagi Alloh dari dua kelompok,

Yang pertama adalah hamba-hamba Alloh yang sholeh, baik dari kalangan para nabi, malaikat ataupun wali.
Dan yang kedua adalah seperti pohon, batu dan lainnya.

Lalu bagaimana keadaan orang-orang musyrik zaman kita?

Saking parahnya keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat maksiatpun mereka sembah dan diharapkan berkahnya.

Lihat betapa banyak orang yang berbondong-bondong ngalap berkah ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen.

Diceritakan bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh, kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal. Konon sebelum meninggal Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika melakukan seperti apa yang ia lakukan bersama ibu tirinya. Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk mendapat berkah di sana, harus dengan berselingkuh dulu…!! Allohu Akbar!

Musyrikin Zaman Dahulu Tidak Menyekutukan Alloh Dalam Rububiyah-Nya
Tauhid Rububiyah adalah mengikrarkan bahwa Alloh lah satu-satunya pencipta segala sesuatu, yang memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan serta hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Alloh.

Ini semua diakui oleh orang-orang musyrik zaman dahulu.
Dalilnya adalah firman Alloh, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:

“Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: ‘Alloh', maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Alloh )?.” (Az-Zukhruf: 87).

Juga firman-Nya, “Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh.' Maka katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?'.” (Yunus: 31).

Akan tetapi titik penyimpangan mereka yaitu kesyirikan dalam Tauhid Uluhiyah (mengikrarkan bahwa hanya Alloh sajalah yang berhak ditujukan kepada-Nya segala bentuk ibadah, seperti do'a, nadzar, menyembelih kurban dan lain-lain). Inilah yang diingkari oleh musyrikin zaman dulu. Mereka berdoa kepada patung atau penghuni kubur bukan dengan keyakinan bahwa patung itu bisa mengabulkan do'a mereka atau punya kekuasaan untuk mendatangkan keburukan, namun yang mereka maksudkan hanyalah supaya patung (sebagai perwujudan dari orang sholeh) atau penghuni kubur itu dapat menyampaikan do'a mereka kepada Alloh.

Mereka berkeyakinan bahwa orang sholeh itu yang telah diwujudkan/dilambangkan dalam bentuk gambar/patung tersebut mempunyai kedudukan mulia di sisi Alloh. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat, sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Alloh, tetapi harus melalui perantara. Inilah yang mereka kenal dengan meminta syafa'at pada sesembahan mereka Mereka (orang-orang musyrik) mengatakan,

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat- dekatnya.” (Az-Zumar: 3)

Lalu bagaimana keadaan musyrikin sekarang ini?

Diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa yang memberikan jatah ikan bagi nelayan, yang mengatur ombak laut selatan adalah Nyi Roro Kidul. Sungguh tidak seorang pun dapat menciptakan seekor ikan kecil pun, ini adalah hak khusus Alloh dalam Rububiyah-Nya, tetapi mereka menisbatkannya kepada Nyi Roro Kidul. Allohu akbar!
Betapa keterlaluan dan lancangnya terhadap Pencipta alam semesta!!! Sehingga tidaklah heran pula jika banyak diantara masyarakat yang takut memakai baju hijau tatkala berada di pantai selatan, karena khawatir ditelan ombak yang telah diatur oleh Nyi Roro Kidul.

Fenomena Taqlid pada Nenek Moyak dan Budaya Barat

Dan apabila dikatakan kepada mereka:

"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"
(Al Baqarah : 170)

Diantara fenomena taqlid pada nenek moyang dan budaya barat, orang-orang musyrik sekarang ini adalah, mereka selalu mengikuti ajaran-ajaran nenek moyang yang dibungkus modernisasi (seperti Persaudaraan dalam Wathaniyah/ Nasionalisme/ Bhinneka Tunggal Ika), Sekularisme, Pluralisme, Libelarisme, Demokrasi (Kedaultan Rakyat).
Lihatlah, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk-bentuk kesyirikan dan samarnya hal tersebut sudah seharusnya setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari segala macam bentuk kesyirikan. Sungguh betapa jahilnya orang yang mengatakan “Untuk apa belajar tauhid sekarang ini?”
Akhirnya kita memohon kepada Alloh agar memberikan kepada kita taufik dan menjauhkan diri kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan yang merupakan sebab kehancuran di dunia maupun di akhirat.

Makna Al Wala wal Baraa'

Al Walaa Wal Baraa’ adalah salah satu bagian dari Usul ud Dien. Usul ul Dien terbagi menjadi tiga bagian:
1. Tauhid
2. Al Walaa’ Wal Baraa’
3. Al Jihad dan Al Hijrah

Al Walaa Wal Baraa’ terbagi menjadi dua bagian:

Walaa’ dan Baraa’ adalah salah satu bagian dalam usul ud dien, kita membenci kuffar sebagai sebuah masalah dalam dien hanya karena Allah (Swt) semata. Kita tidak membenci Yahudi karena pandangan mereka; Allah (swt) adalah yang menciptakan pandangan mereka, kebencian kita terhadap mereka semata-mata hanya karena Allah SWT.
Al Walaa wal Baraa’ terbagi menjadi dua:

1. Al Hubb
Mencintai karena Allah, Al Muwalaat. Al Muwalaat secara bahasa berarti ‘mencintai dalam hati.’ Abdullah ibnu Abbas berkata:
“Al Muwalaat adalah mencintai dalam hati dan mendukung penuh dengan anggota tubuh dan lidah untuk dien Islam semata.”
Aturan ini diluar untuk kuffar, Walaa’ adalah selalu untuk Allah (dan dien Allah) saja, dan semua Baraa’ adalah untuk kufur dan syirik.
Allah berfirman dalam kitabNya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS An Nisa 4: 144)

Dengan demikian kita hanya bisa mempunyai Al Muwalaat dengan orang-orang yang beriman saja. Tetapi apa itu Al Muwalaat? Itu adalah:
- Mencintai
- Mendekati
- Berteman
- Bersahabat
- Membantu
- Menghormati
- Memuliakan
- Beraliansi
- Mendukung
Semua karena Allah (swt) dan orang yang telah ditunjuk untuk ber Muwalaat dengan mereka, tidak untuk kuffar.

2. Al Bughud (Membenci)
Membenci hanya karena Allah (swt), atau Al Mu’adaat, ini adalah kebalikan dari Al Muwalaat, itu adalah:
- Membenci
- Menjaga jarak
- Memusuhi
- Meninggalkan
- Menolak untuk memberi pertolongan
- Merendahkan
- Tidak beraliansi
- Tidak mendukung
Allah (swt) memerintahkan kita untuk mempunyai Baraa’ kepada kuffar dari kufur dan syirik. Allah (swt) memerintahkan kepada kita untuk mempunyai walaa dengan para Nabi dan kepada orang-orang yang beriman. Namun tidak perlu bingung dengan Al Birr. Al Birr adalah keadaan tertentu dengan orang-orang kuffar dimana kita melakukan perjanjian dengan mereka.
Allah (swt) berfirman:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS Al Mumtahanah 60: 8)

Al Walaa wal Baraa’ telah banyak dideklarasikan pada ayat-ayat Al Qur’an dengan jelas, lebih banyak setelah Tauhid, ini bukan sesuatu dimana kita bisa berargumentasi atau bahkan membantahnya.

Telah diketahui dalam membicarakan masalah Al Walaa wal Baraa’ dan Tauhid ini paling banyak diantara para Shahabat dan Imam empat Mahzab, setelah mereka – Syeikh ul Islam ibnu Taimiyah dan Syeikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab.

Pada topik dari Walaa wal Baraa’, Syeikh Abdur Rahman bin Hasan berkata:
“Tiga hal peniadaan dien adalah Muwalaat dengan Musyrikin, bersekutu dengan mereka, menyandarkan diri kepada mereka dan mendukung mereka dengan tangannya dan kekayaannya. Sebagaimana Allah (swt) berfirman: “…janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (QS Al Qashash 28: 86)
Beliau kemudian pergi untuk mencari ayat yang lain dimana Allah (swt) juga berfirman:

“Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerah- kan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang- orang yang berdosa.”
(QS Al Qashash 28: 17)

lebih lanjut Allah berfirman dalam surah Al Mumtahanah ayat 9:

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Disini Allah menggunakan kata Az Zhalimun dan itu telah diketahui bahwa pada saat Allah (swt) menggunakan kata Az Zalimun dengan ‘Az’, sebagaimana menentang hanya untuk Zalimun, Dia (Swt) mengartikan ‘Al kafir’.
Allah (swt) berfirman dalam Qur’an:

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.
Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): "Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan", sedang Allah mengetahui rahasia mereka.” (QS Muhammad 47: 25-26)

Disini Allah (swt) telah mendeklarsikan orang-orang yang menaati hukum kufur bahkan hanya dalam bagian-bagiannya saja, meninggalkan tanpa keringanan untuk mereka, bahkan tanpa paksaan, tetapi kita harus berteriak untuk melawan kejahatan, bahkan untuk diam saja tidak dibolehkan. Ini telah didemonstrasikan pada masa Muhammad (saw)…

Khalid bin Walid telah memerangi Musailamah Kazab, yang mengaku sebagai nabi palsu. Khalid bin Walid telah memerangi kota dimana Musailamah berasal. Dia menangkap para pemimpin-pemimpin kabilah disana. Dia telah bertanya kepada para pemimpin-pemimpin itu tentang temannya (Musailamah), Khalid berkata: “Dia adalah Rasul Allah disamping Rasul yang lain.” Itu cukup bagi Khalid untuk memerintahkan “bunuh mereka semua.”
Namun pada saat semua pemimpin kabilah disana telah terbunuh, dia berkata: “mulai dari Muja’a” ini karena Maja’a adalah seorang Muslim dan seorang figure besar dalam kabilah. Maja’a berbicara kepada Khalid dengan berkata, “Wahai Khalid aku adalah seorang Muslim; saya tidak pernah berimana pada Musailamah, dia adalah orang dari kabilahku, itu adalah jalan tengah; Aku akan memenjarakan dia sampai Allah (swt) menunjukkan kepadaku sebuah jalan.” Maja’a berfirkir bahwa telah memenjarakannya dengan harapan menggali informasi tentang Musailamah, kemudian dia berkata lagi: “Wahai Khalid, kamu telah mengetahui bahwa aku adalah orang-orang yang telah memberikan bai’at kepada Muhammad (saw). Apakah aku telah melakukan kesalahan? Itu terjadi hanya karena dia berasalah dari kabilahku. Dan Allaj (swt) berfirman:

“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (QS Al Al An’aam 6: 164)
Khalid berkata:

“Kesalahanmu adalah bahwa kamu tidaka pernah menolak kejahatan. Kamu adalah orang yang mengetahui hal itu dengan baik tetapi diam saja. Apakah kamu teleh berbicara untuk memeranginya seperti orang-orang yang telah melakukannya? Berbicara (begini dan begini), berbicara (begini dan begini). Jika kamu tidak bermaksud untuk melakukan yang demikian, apakah kamu telah mengrimkan sebuah surat kepada aku? Apakah kamu meminta bantuanku? Mengapa kamu tidak hijrah?
Khalid tidak memberikan dia keringan, dan faktanya Majaa’a berkelakuan seperti seorang yang murtad, terancam kematian jika dia tidak bertobat, namun Majaa’a mundur, tetapi masih dihkum Ta’zir.

Al Muwalaat adalah dilarang kepada Kuffar
“Hal itu dilarang untuk ber-Muwalaat dengan kuffar, apakah dia kafir asli atau murtad.”
Allah (Swt) telah menetapkan itu dengan jelas bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk mempunyai Al Muwalaat kepada kuffar:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS An Nisa 4: 144)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka…” (QS Ali Imran 28)
Allah adalah wali bagi orang-orang yang beriman, dan orang-orang beriman harus mempunyai walaa kepada Allah, kuffar sangat tidak pantas untuk mendapatkan walaa dari orang yang beriman.
Jika seorang Muslim mempunyai walaa kepada kuffar, maka dia berdosa, namun jika mereka bersekutu dengan mereka maka mereka Murtad. Tetapi jika dia bersekutu dengan mereka dan memerang kaum Muslim, dia menjadi murtad harbi.
Kita membenci kuffar semata-mata hanya kepada Allah, dan kita juga membenci Munafiqun hanya karena Allah, jika seseorang tidak melakukan demikian maka dia meninggalkan ikatan Islam.
Al Muwalaat kepada Muslim adalah kewajiban
Allah (SWt) berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS At Taubah 9: 71-72)
Al Muwalaat adalah kewajiban bagi orang-orang yang beriman, Allah (swt) telah menggambarkan kita sebagai sebuah saudara, membedakan kita dari orang-orang kafir.
Allah (swt) berfirman:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al Hujarat 49: 10)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana." Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.

Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS Al Ma’idah 5: 51-57)

Lebih lanjut Abu Huraira meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersada:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya.”
Keharusan Al Wala dan Sikap Bara terhadap Jahiliyah
Termasuk ke dalam pokok aqidah al Islamiyyah, bahwa seorang muslim wajib berpegang teguh dengan aqidah ini, memberikan wala' / loyalitas kecintaan kepada ahlinya dan memberikan sikap bara' / antipati kebencian terhadap musuh-musuhnya.
Maka wajib mencintai ahli tauhid dan ikhlas dan menolong mereka serta membenci ahli syirik dan memusuhinya. Yang demikian itu adalah milahnya Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya di mana kita diperintah untuk mengikutinya.

Allah berfirman, "Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS Al Mumtahanah: 4).

Ia juga sebagai diennya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."
(QS Al Maidah: 51).

Dan Allah juga berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia." (QS Al Mumtahanah: 1).

Bahkan Allah telah mengaharamkan kaum muslimin berloyalitas kepada orang-orang kafir walaupun mereka kerabat dekatnya. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudaramu pemimpin-pemimpinmu. Jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zholim." (QS At Taubah: 23).

Allah berfirman, "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapaknya atau anak-anaknya atau saudara-saudaranya ataupun keluarganya." (QS Al Mujaadilah: 22).

Sungguh telah banyak dari kaum muslimin yang bodoh akan prinsip yang agung ini, bahkan sebagian yang menisbatkan dirinya pada ilmu dan da'wah sekalipun! Dengan alasan kemaslahatan agama dan persamaan kemanusiaan serta segudang alasan-alasan lainnya mulai terjerumus untuk menyerukan persamaan dan penyatuan agama, innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Perhatikanlah beberapa bahaya yang akan menimpa kaum muslimin dari seruan syaithon ini:

Pertama:
menghalalkan persaudaraan dengan Yahudi dan Nashrani.

Kedua:
menahan tulisan-tulisannya kaum muslimin dan lisan-lisannya dari mengkafirkan Yahudi dan Nashrani dan yang lainnya yang telah dikafirkan Allah dan rasul-Nya.

Ketiga:
menggugurkan hukum-hukum Islam yang diwajibkan atas kaum muslimin di hadapan kaum kafirin dan kaum fasigin(baca: sekuler, nasional/ wathaniyah, demokrat, komunis) yang tidak beriman dengan Islam atau ragu-ragu akan solusi Islam dalam kehidupannya.

Keempat:
meninggalkan jihad yang ia sebagai puncak ketinggian Islam.

Kelima:
menghancurkan kaidah Islam dan pondasinya yakni al wala' dan al bara' serta masih banyak lagi yang lainnya.

Oleh karena itu dengan bahayanya seruan ini bagi Islam dan muslimin, maka Lembaga Fatwa dari kalangan para ulama yang diketuai ketika itu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa bernomor 19402 pada tanggal 25/1/1418 H. Yang isinya kurang lebih, "Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama jika muncul dari seorang muslim maka berarti ia telah murtad dengan kemurtadan yang jelas karena telah melabrak pokok-pokok aqidah, ridlo dengan kekufuran terhadap Allah dan menggugurkan kebenaran Al Quran serta menolak bahwa Al Quran telah menghapus seluruh syariat dan ajaran sebelumnya, berdasarkan atas hal itu maka ia adalah fikroh (pemikiran) tertolak secara syariat, diharamkan secara pasti dengan seluruh dalil-dalil baik Al Quran, Sunnah, maupun ijma'."

Seperti halnya Allah telah mengharamkan memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, Allah juga mewajibkan memberikan loyalitas kepada orang-orang mu'min. Allah berfirman, "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah. Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang." (QS Al Maidah: 55-56).

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka."
(QS Al Fath: 29).

"Sesunggunya orang-orang mu'min adalah bersaudara." (QS Al Hujuraat: 10).

Maka orang-orang yang beriman adalah bersaudara dalam agama dan aqidah walaupun berjauhan nasab, tempat, dan zaman. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS Al Hasyr: 10).