Senin, 27 Februari 2012

Pasal 8: Takfir Mu'ayyan dalam Masalah Syirk Akbar dan Masail Dhahirah (Al Urwah Al Wutsqa)

Pasal 8: Takfir Mu'ayyan dalam Masalah Syirk Akbar dan Masail Dhahirah

Dalil-dalil atas takfir mu’ayyan (menetapkan kafir kepada seseorang) adalah sangat banyak lagi tak terhitung, kita menyebutkan darinya apa yang sesuai dengan kesempatan :

I. Al Kitab

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan dia menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan supaya dia menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah : Nikmatilah kekafiranmu sebentar sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka.” (Q.S. Az Zumar [39] : 8)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan mereka menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya mereka menyesatkan dari jalan-Nya. Katakanlah : Nikmatilah (kekafiran kalian) karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah neraka.” (Q.S. Ibrahim [14] : 30)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Katakanlah : wahai orang-orang kafir.” (Q.S. Al Kafirun [109] : 1)

Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita agar mengkafirkan pelaku syirik.

Sebagian para imam dakwah Tauhid berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memeranginya.” [Ad Durar As Saniyyah : 9/291]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an maka sesungguhnya dia itu telah menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berupa tauhid dan konsekuensinya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid : 30]

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Kami katakan dalam masalah takfir mu’ayyan, dhahir ayat-ayat dan hadist-hadist serta perkataan jumhur ulama menunjukan terhadap kekafiran orang yang menyekutukan Allah, dia beribadah kepada yang lain di samping ibadahnya kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dengan yang lainnya. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa Syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dihendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. An Nisa [4] : 48)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“maka bunuhlah orang-orang musyrk itu dimana saja kamu jumpai mereka” (QS. At Taubah [9] : 5) Sedangkan ini mencakup setiap individu dari kaum musyrikin.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/402]

II. As Sunnah

Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bermaksud memerangi Banu Mushthaliq tatkala diberitakam bahwa mereka menolak membayar zakat, hingga akhirnya Allah mendustakan si pembawa berita. [Ad Durar As Saniyyah : 10/67]

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang merubah diennya maka bunuhlah.” Syaikh Aba Buthain rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadist ini : “Dan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/403]

Di dalam hadist shahih bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang sambil membawa panji kepada laki-laki yang menikahi ibu tirinya, agar ia membunuhnya dan mengambil hartanya. [Ad Durar As Saniyyah : 10/67]

III. IJMA

Para sahabat ijma atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya. Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Di antara ada orang-orang yang mendustakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka kembali kepada peribadatan terhadap berhala, serta mereka mengatakan “Seandainya dia (Rasulullah) adalah nabi tentu tidak mati”. Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat namun dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyertakannya dalam kenabian, karena Musailamah mengangkat saksi-saksi palsu yang bersaksi akan kenabian dia (Musailamah) terus dibenarkan oleh banyak orang, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka itu murtaddin meskipun mereka jahil akan hal itu, dan siapa yang meragukan kemurtaddan mereka maka dia kafir. [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, dalam Majmu’ah At Tauhid:23]

Para shahabat ijma untuk membunuh jama’ah masjid Kuffah, juga atas kekafiran dan kemurtaddan mereka tatkala mereka menyatakan ungkapan akan pengakuan kenabian Musailamah, namun para sahabat berselisih pendapat apakah diterima taubat mereka tatkala mereka taubat atau tidak. Dan masalah ini ada dalam shahih Al Bukhari dan Syarh-nya dalam Al Kifalah. [Ad Durar As Saniyyah : 10/68]

Para sahabat ijma atas kafirnya orang yang mengkultuskan Ali, mereka adalah Ghulatur Rafidlah. [Ad Durar As Saniyyah : 10/68]

Ijma para ulama akan kafirnya para penguasa dan kroni-kroni Bani Ubaid. Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Seandainya kita menuturkan orang-orang yang mengaku Islam yang telah dikafirkan oleh para ulama dan mereka fatwakan kemurtaddan dan keharusan membunuhnya tentulah pembahasannya panjang, namun di antara kisah yang paling akhir adalah kisah Bani Ubaid para penguasa Mesir dan jajarannya sedangkan mereka itu mengaku tergolong Ahlul Bait, mereka shalat Jum’at dan jama’ah, serta telah mengangkat para qadli dan mufti. Dan para ulama ijma atas kekafiran mereka, kemurtaddan mereka dan (keharusan untuk) memerangi mereka, dan bahwa negeri mereka adalah negeri harbi yang wajib diperangi, meskipun mereka dipaksa dan benci kepada mereka (para penguasa).” [Tarikh Nejd : 346]

Imam Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah berkata : “Para ulama ijma bahwa orang yang menolak sesuatu yang telah Allah turunkan mereka itu kafir meskipun mengakui semua apa yang Allah turunkan.” [At Tamhid : 4/226, Al Kalimat An Nafi’ah]

Ungkapan beliau ini ditafsirkan oleh Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab di dalam kitabnya Al Mukaffirat Al Waqi’ah : 19, beliau berkata : “Dan makna ucapan Ishaq adalah seseorang menolak sesuatu yang telah Allah turunkan dalam Kitab-Nya atau lewat lisan para Rasul-Nya berupa faraidl (hal-hal yang fardlu), yang wajib, yang sunnah atau yang mustahab setelah mengetahui bahwa Allah menurunkannya dalam Kitab-Nya atau melarangnya, kemudian dia menolaknya setelah itu, maka dia kafir murtad meskipun dia mengakui seluruh apa yang telah Allah turunkan berupa syariat kecuali apa yang ditolak dan dia ingkari karena bertentangan dengan keinginannya dan adatnya atau adat daerahnya. Dan ini adalah makna perkataan para ulama : “siapa yang mengingkari hukum furu’ yang sudah di ijmakan maka dia kafir meskipun tergolong orang yang paling ahli ibadah dan paling zuhud.”

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku Syirik, beliau berkata : “Bila dia masih ragu akan kekafiran mereka atau tidak tahu akan kekafiran mereka, maka dijelaskan kepadanya dalil-dalil dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam yang menunjukan kekafiran mereka. Kemudian bila ragu setelah itu atau bimbang, maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma kaum muslimin bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir.” [Kitab Autsaqu’ural Iman dalam Majmu’ah At Tauhid : 96]

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata : “Masalah yang ditunjukan oleh Al Kitab, As Sunnah dan ijma ulama adalah bahwa dosa seperti syirik dengan cara beribadah kepada yang lain bersama Allah adalah kekafiran. Siapa orangnya melakukan sesuatu dari macam ini dan jenisnya, maka orang ini tidak diragukan lagi kakafirannya dan tidak apa-apa bila engkau mengetahui benar bahwa perbuatan ini muncul dari seseorang, engkau mengatakan si fulan telah kafir dengan sebab perbuatan ini. Dan ini dibuktikan bahwa para fuqaha dalam bab hukum orang murtad menyebutkan banyak hal yang bisa membuat seorang muslim menjadi murtad lagi kafir, dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka : Siapa yang menyekutukan Allah maka dia telah kafir dan hukumnya dia itu disuruh bertaubat, bila dia taubat, dan bila tidak maka dibunuh, sedang istitaabah (menyuruh taubat) itu hanyalah terjadi pada orang mu’ayyan.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/416-417]

Dan berkata juga : “Dan perkataan ulama tentang takfir mu’ayyan adalah banyak sekali, sedangkan macam Syirik yang terbesar ini adalah ibadah kepada selain Allah, dan itu adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin, dan tidak ada larangan dari mengkafirkan orang yang memiliki sifat itu, karena orang yang berzina dikatakan si fulan berzina, dan orang yang memakan riba dikatakan si fulan pemakan riba, wallahu A’lam.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/417]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah : “Perhatikanlah ucapan orang yang menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak mengkafirkan orang mu’ayyan bila orang itu terang-terangan menghina dien para nabi dan bergabung dengan para pelaku syirik dan dia mengklaim bahwa mereka itu ada di atas kebenaran, memerintahkan agar bergabung dengan mereka dan dia mengingkari orang yang tidak mencela Tauhid dan tidak masuk bergabung bersama kaum musyrikin karena dia masih mengaku Islam.

Lihat bagaimana beliau (Ibnu Taimiyyah) mengkafirkan orang mu’ayyan meskipun dia ahli ibadah dengan sebab menghalalkan ganja, meskipun dia mengklaim kehalalan bagi orang-orang khusus yang bisa membantu mereka mengalahkan orang-orang kafir, dan beliau berdalil dengan ijma para sahabat atas pengkafiran Qudamah dan sahabatnya bila mereka tidak taubat, sedangkan ucapan beliau ini tentang orang mu’ayyan dan perkataan para sahabat juga tentang orang mu’ayyan, maka apa gerangan dengan masalah kita ini yang mana penghalalan ganja ini tidak sebanding dengan satu bagian darinya. [Mufid Al Mustafid : 81, Aqidatul Muwahhidin]

Abu ‘Abdillah Abdurrahan Ibnu ‘Abdil Hamid rahimahullah berkata : “Sesungguh-nya tawwaqquf dari takfir mu’ayyan secara muthlaq dan hanya mengatakan bahwa jenis (nau’) orang yang melakukan hal ini adalah kafir, tapi orang mu’ayyan bila melakukannya maka kita tidak bisa mengkafirkannya, pernyataan ini tidak lain adalah sia-sia yang tidak ada maknanya, dan pengguguran akan hukum-hukum syariat, serta ibadah yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan ijma para sahabat, tabi’in dan ulama umat ini.” [Al Jawa Al Mufid : 384]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah Berkata dalam Syarh Ashli Dienul Islam tentang salah satu orang yang menyalahi Tauhid : “Macam orang ini tidak mendatangkan makna yang ditunjukan oleh Laa ilaaha illallaah berupa penafian syirik dan apa yang dituntutnya berupa orang yang melakukannya setelah ada bayan secara ijma.” Kemudian beliau berkata : “Dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Al Qur’an maka dia telah menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul, berupa Tauhid dan apa yang dituntutnya.” [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid]

IV. Pernyataan-Pernyataan Para Imam

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata : “Dan seorang dari ahli kiblat tidak boleh dikeluarkan dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau sesuatu dari atsar-atsar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau menyembelih untuk selain Allah atau shalat untuk selain Allah. Dan bila dia melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas dirimu untuk mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila tidak melakukan sesuatu dari hal itu maka dia muslim mukmin secara nama bukan secara hakikat”. [Syarhus Sunnah : poin 49]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata tentang orang yang mengatakan : ‘Sesungguhnya kalian mengkafirkan kaum muslimin’ (padahal orang itu beribadah kepada selain Allah) : “Sesungguhnya orang yang berbicara ini tidak mengetahui Islam dan Tauhid, dan yang nampak adalah tidak sahnya keIslaman orang yang berbicara ini, karena dia tidak mengingkari hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang musyrik pada masa sekarang dan tidak menganggapnya sesuatu (yang mesti diingkari). Sungguh dia itu bukan muslim.” [Majmu’ah Ar Rasail Juz I bagian 3 hal 655 dan Ad Durar As Saniyyah : 10/416]

Oleh sebab itu apa faidahnya mempelajari bab murtad, pembatal-pembatal keIslaman serta konsekuensi-konsekuensi yang mesti diberlakukan terhadap orang yang jatuh ke dalam pembatalan-pembatalan ini bila mereka tidak menerapkannya kepada seorangpun dalam kekafiran yang nampak…? Sungguh ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang amat besar. Kami tidaklah mengada-ada, tetapi inilah pernyataan Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh tentang orang yang tidak mau mengkafirkan mu’ayyan : “Dan saya kira mereka itu tidak mengkafirkan kecuali orang yang langsung dengan nash Al Qur’an dinyatakan kekafirannya, seperti Fir’aun, sedangkan nash-nash (yang ada) tidak menta’yin setiap orang. Dia itu belajar bab hukum orang murtad namun tidak dia terapkan kepada seorangpun. Ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang paling besar”. [Aqidatul Muwahhidin, nukilan dari Majmu Al Fatawa : 1/84]

Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Al Mukaffirat Al Waaqi’ah : 47 : “Dan amatilah perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang mana inti perkataan mereka adalah syirik akbar dan kekafiran yang tidak mungkin Allah ampuni kecuali dengan taubat darinya, dan bahwa itu memestikan terjadinya kemurtadaan dari dien ini dan kekafiran terhadap Rabbul ‘Alamin. Bagaimana beliau tegas-tegasan mengkafirkan dan memvonis murtad dari dien orang yang melakukan hal ini bila telah tegak hujjah dari Al Kitab dan As Sunnah kemudian dia tetap bersikeras di atas perlakuan itu. Ini adalah hal yang tidak mungkin ditentang oleh orang yang mengetahui dienul Islam.”

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencap kafir para pelaku syirik dalam ayat-ayat yang sangat banyak, maka (kalau begitu) haruslah (kita) mengkafirkan mereka juga. Ini adalah tuntutan Laa ilaaha illallaah yang merupakan kalimat ikhlas, sehingga maknanya tidak tegak kecuali dengan mengkafirkan orang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah kepada-Nya, sebagaimana dalam hadist : “Siapa yang mengucapka Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala.”

Sabdanya : “…dan dia kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah…” adalah penguat bagi penafian (Laa ilaaha), sehingga orang tidak terjaga darah dan hartanya kecuali dengan hal itu, kemudian bila dia ragu atau bimbang maka darah dan hartanya tidak terjaga. Hal-hal ini adalah termasuk kesempurnaan Tauhid. [Syarh Ashli Dienul Islam, Majmu’ah At Tauhid : 29]

Mengkafirkan pelaku syirik adalah termasuk tuntutan Laa ilaaha illallaah, apakah ini khusus bagi ulama saja…? Atau atas setiap insan yang ingin selamat…?

Dan beliau berkata juga : “Ini berdasarkan apa yang telah engkau ketahui bahwa Tauhid itu menuntut penafian syirik, berlepas diri darinya, memusuhi para pelakunya, dan mengkafirkan mereka saat hujjah telah tegak atas mereka.” [Majmu’ah At Tauhid : 31 risalah yang sama]

Dua putra Syaikh Muhammad yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah berkata : “Orang yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku syirik atau dia memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya, atau orang yang mengatakan saya tidak mengomentari negatif orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka melakukan kemusyrikan dan kekafiran dan memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya tidak akan mengganggu kubah-kubah (kuburan yang dikeramatkan), maka orang ini adalah bukan orang muslim, justeru dia tergolong orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka :

“Dan mereka mengatakan : ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagain’, dan mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di antara itu. Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya.” (Q.S. An Nisa [4] : 150-151)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Engkau tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…”(Q.S. Al Mujadilah [58] : 22)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Hai orang-orang yang beriman jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayang terhadap mereka…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 1) [Ad Durar As Saniyyah : 10/139-140]

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang orang yang mengatakan : ‘Bahwa peribadatan kepada kubah (kuburan) dan memohon kepada mayit bersama Allah adalah bukan Syirik dan bahwa para pelakunya bukan kaum musyrikin’ : “Maka nampaklah status dia dan kekafiran dan pembangkangannya.” [Ad Durar As Saniyyah : 8/127-128 dan lihat Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak dalam Majmu’ah At Tauhid : 128]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas ahli Tauhid untuk menjauhi mereka (para pelaku syirik), mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka… Kemudian beliau berdalil dengan ayat :

“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah…(Q.S. Maryam [19] : 48)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Maka tatkala dia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Maryam [19] : 49)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Dan (ingatlah) tatkala kalian tinggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Q.S. Al Kahfi [18] : 16)

Kemudian beliau berkata : “Tidak tegak bagi ahli Tauhid, Tauhid mereka kecuali dengan meninggalkan para pelaku syirik, memusuhi mereka dan mengkafirkan mereka.” [Ad Durar As Saniyyah : 11/434]

Syaikh Abdurrahman juga berkata : “Seandainya (si hamba) mengetahui makna Laa ilaaha illallaah tentu dia mengetahui bahwa orang ragu atau bimbang tentang kekafiran orang yang menyekutukan yang lain bersama Allah sesungguhnya dia itu tidak kafir kepada thaghut”.

Apakah kufur kepada thaghut hak ulama saja…? Atau wajib atas setiap orang termasuk kalian, bahkan bukan sekedar wajib tapi Tauhid…?

Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif rahimahullah berkata setelah mengkafirkan orang yang beribadah kepada selain Allah : “Dan siapa yang meragukan kekafirannya setelah tegak hujjah atasnya maka dia kafir.” [Ad Durar As Saniyyah : 10/439-440]

Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Dan makna kufur kepada thaghut adalah engkau berlepas diri dari setiap yang dikultuskan selain Allah, baik berupa jin, manusia, atau yang lainnya dan bersaksi atas kekafiran dan kesesatannya serta engkau membencinya meskipun itu adalah ayahmu atau saudaramu. Dan adapun orang yang mengatakan : ‘Saya tidak beribadah kecuali kepada Allah namun saya tidak akan mengomentari para Syaikh (yang dikultuskan) dan kubah-kubah yang ada di atas kuburan dan yang serupa dengan hal itu’, maka orang ini dusta dalam pengucapan Laa ilaaha illallaah, dia tidak beriman kepada Allah dan tidak kufur kepada thaghut.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/121]

Dan beliau berkata juga : “Dan engkau wahai orang yang telah Allah beri karunia dengan Islam dan mengetahui bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah, jangan kamu kira bahwa engkau bila telah mengucapkan (“Ini memang adalah Al Haq dan saya meninggalkan selainnya, namun saya tidak akan mengomentari negative para pelaku Syirik dan tidak akan mengatakan sesuatupun tentang mereka…”) Jangan kamu kira bahwa hal itu membuat kamu mendapat predikat Islam dengannya, justeru wajib membenci mereka, membenci orang yang mencintai mereka, mencela mereka dan memusuhinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim dan rasul-rasul yang lain :

“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, serta tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Siapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada Al urwah Al wutsqa.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Dan sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (mereka menyerukan) : ‘Beribadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut’…” (Q.S. An Nahl [16] : 36)

Seandainya seseorang mengatakan : “Saya mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan beliau itu di atas Al Haq, tapi saya tidak akan komentari negatif latta dan ‘Uzza serta saya tidak akan komentari Abu Jahl dan yang serupa dengannya tidak ada urusan saya dengan mereka.” Tentu tidak sah keIslamannya. [Ad Durar As Saniyyah : 2/109]

Al ‘Allamah Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Alu Syaikh rahimahullah berkata : “Bila dia mengatakan (“Saya katakan selain mereka adalah kafir dan saya tidak mengatakan mereka itu orang-orang kafir…”), Maka ini adalah vonis dari dia akan keIslaman mereka (para pelaku syirik), karena tidak ada perantara antara kufur dan Islam, bila mereka bukan kafir berarti mereka muslimun, dan saatnya siapa yang menamakan kufur sebagai Islam atau menamakan orang-orang kafir sebagai orang-orang muslim, maka dia kafir, jadi dia adalah orang kafir. [Autsaqu ‘ural Iman, Majmu At Tauhid : 96]

Dua putra Syaikh Muhammad, yaitu Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah ditanya : “Apa pendapat anda orang yang masuk dien ini (Tauhid) dan ia mencintainya, namun dia tidak memusuhi para pelaku Syirik atau dia memusuhi mereka namun tidak mengkafirkannya atau dia mengatakan : Saya muslim namun (tidak bisa) mengkafirkan orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka tidak mengetahui maknanya…? Dan orang yang masuk dien ini namun dia mengatakan : Saya tidak akan mengomentari negative kubah-kubah itu dan saya tahu bahwa itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudlarat tapi saya tidak akan mengganggunya…?

Mereka menjawab : “Sesungguhnya orang itu tidak menjadi muslim kecuali bila dia mengetahui Tauhid, menyakininya, mengamalkan tuntutannya, membenarkan Rasulullah dalam apa yang beliau kabarkan, dan mentaatinya dalam apa yang beliau larang, beriman kepadanya dan kepada apa yang beliau bawa. Siapa orangnya yang mengatakan saya tidak memusuhi para pelaku Syirik atau dia memusuhinya namun tidak mengkafirkannya, atau mengatakan saya tidak akan mengomentari negatif orang-orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah meskipun mereka itu melakukan kekafiran dan kemusyrikan serta memusuhi dien Allah, atau orang yang mengatakan saya tidak akan mengomentari negative kubah-kubah itu, maka orang seperti ini bukan muslim, namun dia tergolong orang-orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan :

“Dan mereka mengatakan : ‘kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian.’ dan mereka menginginkan menjadikan jalan (tengah) di antara itu. Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya, dan Kami siapkan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S. An Nisa [4] : 150-151)

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah mewajibkan memusuhi orang-orang pelaku syirik, meninggalkan mereka dan mengkafirkannya….” [Ad Durar As Saniyyah : 10/139]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu Taimiyyah : (Ibadah kepada selain Allah adalah lebih kafir daripada meminta tolong kepada selain Allah. Bila orang menyembelih untuk selain Allah dalam rangka taqarrub kepadanya, tentulah haram meskipun membaca bismillah di dalamnya sebagaimana yang dilakukan oleh segolongan dari kaum munafiqin umat ini, dan meskipun mereka itu murtaddin yang sembelihannya sama sekali tidak halal, namun pada sembelihannya terkumpul dua larangan. Dan inilah yang biasa dilakukan di kota Mekkah dan yang lainnya, berupa sembelihan buat jin (tumbal) –selesai perkataan Syaikh–)

Syaikh Muhammad berkata : “Dan dialah yang mana musuh-musuh dien ini menisbatkan kepada beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan mu’ayyan. Coba lihatlah semoga Allah memberimu petunjuk pengkafiran beliau terhadap orang yang menyembelih untuk selain Allah dari kalangan umat ini, serta penegasan beliau bahwa orang munafiq menjadi murtad. Ini adalah pada orang mu’ayyan karena tidak terbayang sembelihan menjadi haram kecuali sembelihan mu’ayyan.” [Al Mufid Al Mustafid : 52]

Kemudian berkata seraya mengomentari perkataan Ibnu Taimiyyah : “Maka lihatlah –semoga Allah merahmatimu– kepada sang imam ini yang mana orang yang Allah sesatkan hatinya menisbatkan kepada beliau tidak mengkafirkan mu’ayyan. Bagaimana beliau menyebutkan tentang orang seperti Al Fakhru Ar Razi yang mana dia adalah tergolong tokoh besar kalangan Syafi’iyyah, dan seperti Abu Mi’syar yang mana dia adalah tergolong penulis besar yang masyhur dan yang lainnya, bahwa mereka itu murtad dari Islam. Al Fakhru ini adalah yang Syaikh sebutkan dalam Ar Raddu ‘Alal Mutakallimin tatkala beliau menyebutkan kitab tulisannya yang beliau sebutkan disini, beliau berkata : (‘Dan ini adalah riddah sharihah (kemurtaddan yang jelas) dengan kesepakatan kaum muslimin’)” [Mufid Al Mustafid : 54]

Syaikh Muhammad berkata juga setelah menuturkan perkataan Ibnu Taimiyyah tentang orang-orang yang divonis oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu dengan riddah (murtad) : perhatikanlah ungkapan beliau rahimahullah dalam takfir mu’ayyan dan kesaksian atasnya masuk neraka bila telah dibunuh, serta istri dan anak-anaknya dijadikan tawanan (budak) karena (mereka) menolak membayar zakat. Padahal beliau inilah yang mana musuh-musuh dien menisbatkan kepadanya bahwa beliau tidak takfir mu’ayyan. [Mufid Al Mustafid : 64]

Beliau berkata juga : Ibnu Qayyim berkata dalam kitab Iqhatsatul Luhafan tentang pengingkaran akan pengangungan kuburan: (“Masalahnya telah menghantarkan kaum musyrikin sampai-sampai sebagian orang-orang yang ekstrim di antara mereka mengarang dalam hal itu satu kitab yang dinamakan (Manasik Al Masyahid) dan tidak diragukan bahwa ini adalah keluar dari dien Islam dan masuk dalam dien para penyembah berhala”) : “Orang yang disebutkan Ibnu Qayyim ini adalah tergolong laki-laki yang tergolong banyak mengarang yang terkenal dengan julukan Ibnul Mufid. Sungguh saya telah melihat isi kitab itu dengan mata kepala saya sendiri, maka bagaimana orang mengingkari takfir mu’ayyan.” [Mufid Al Mustafid : 66]

Beliau berkata juga : “Abul Abbas rahimahullah berkata : (Ibnul Khudlairiy memberitahu saya dari ayahnya dari Syaikh Al Khudlairiy imam madzhab Hanafi di zamannya, beliau berkata : Para fuqaha Bukhara pernah mengatakan tentang Ibnu Sina : “dia adalah orang kafir yang cerdik”). Ini imam madzhab Hanafi pada zamannya menghikayatkan dari semua fuqaha Bukhara bahwa Ibnu Sina adalah kafir, sedangkan ia adalah orang mu’ayyan yang banyak menulis yang pura-pura menampakan Islam.” [Al Mufid : 66]

Beliau berkata : Ibnu Hajar berkata saat menjelaskan hadist Ibnu Abbas “Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah” dalam Syarh Arba’in, yang maknanya : Sesungguhnya orang yang menyeru selain Allah maka dia kafir, dan dalam hal ini beliau menulis satu kitab khusus yang diberi nama Al I’lam Bi Qawathi’il Islam, di dalamnya beliau menyebutkan banyak ucapan dan perbuatan yang masing-masing darinya bisa mengeluarkan dari Islam dan dengannya orang mu’ayyan dikafirkan yang pada umumnya tidak menyamai seper seratus apa yang menjadi tema bahasan kita. [Al Mufid : 67]

Syaikh Muhammad berkata dalam rangka membantah orang yang enggan mengkafirkan secara mu’ayyan orang yang menyekutukan Allah : “Apakah pernah ada seorang saja dari semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur –Al Bahuty– bahwa mereka (pelaku syirik) itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyan ?.” [lihat risalah beliau kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy dalam Tarikh Nejd : 346, juga Ad Durar As Saniyyah : 10/69]

Membedakan nau’ dengan mu’ayyan dalam syirik akbar tak lain adalah bid’ah, oleh karena itu Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah tatkala menuturkan orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Syaikh Muhammad padahal mereka itu jauh dari manhajnya : “Dan setelah diteliti mereka itu tidak mengkafirkan pelaku syirik kecuali secara umum saja dan untuk menerapkannya di antara mereka, mereka sangat enggan, kemudian merebaklah bid’ah dan syubhat mereka itu sampai akhirnya laris dikalangan ikhwan-ikhwan khusus. Itu wallahu a’lam disebabkan (mereka) meninggalkan kitab-kitab induk dan tidak memperhatikannya serta tidak takut dari kesesatan”. [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan, dalam Aqidatul Muwahhidin: 149]

Beliau berkata : “Sesungguhnya sebagian orang yang kami isyaratkan tadi telah saya tanya tentang masalah ini, maka dia berkata : Kami mengatakan kepada para pengagung kubah (kuburan) yang mereka ibadati dan orang yang di dalamnya : “Perbuatan kamu adalah syirik tapi dia bukan musyrik.” Coba lihatlah dan pujilah Rabbmu dan mintalah ‘afiyah, sesungguhnya jawaban ini adalah termasuk jawaban (Dawud Ibnu Jirjis) Al Iraqiy yang telah dibantah oleh Syaikh Abdullathif. Dan orang yang mengatakan hal itu kepadaku menuturkan bahwa ia pernah ditanya oleh sebagain penuntut ilmu tentang hal itu dan landasannya, maka ia mengatakan: (Kafirkan nau’ dan tidak menta’yin seseorang kecuali setelah diberi penjelasan)” [Hukmu Takfri Al Mu’ayyan : 160]

Beliau berkata juga : “Dan masalah kita ini –yaitu, ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya serta bara’ dari peribadatan selain-Nya dan bahwa orang yang beribadah kepada yang lain di samping ibadah kepada Allah maka sungguh dia telah menyekutukan-Nya dengan syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam–, adalah pokok dari segala pokok dan dengannya para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, dan hujjah telah tegak atas manusia dengan Rasul dan Al Qur’an. Dan begitulah engkau dapatkan jawaban dari para imam dien ini dalam pokok ajaran itu saat mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhya dia itu disuruh taubat, bila dia taubat, bila tidak maka dia dibunuh, mereka tidak menyebutkan ta’rif (pemberian penjelasan terlebih dahulu) dalam masalah-maslah pokok, mereka hanya menyebutkan ta’rif dalam masalah-masalah khafiyyah (yang samar) yang terkadang samar atas sebagian kaum muslimin dalilnya, seperti masalah-masalah yang diyakini oleh sebagian ahlul bid’ah seperti Qodariyah dan Murji’ah atau dalam masalah-masalah yang samar seperti Sharf dan ‘Athf (pelet). Dan bagaimana ‘Ubaddul Qubur itu diberi penjelasan sedangkan mereka itu bukan kaum muslimin dan mereka tidak masuk dalam nama Islam, apakah ada amalan tersisa bersama adanya syirik…!!?” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan : 150-151]

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata : “Kami katakan dalam takfir mu’ayyan : Dhahir ayat-ayat, hadits-hadits serta perkataan jumhur ulama menunjukkan kafirnya orang yang menyekutukan Allah, dimana ia ibadah kepada yang lain disamping kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya” dan firman-Nya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian dapatkan mereka”, sedangkan dalil ini umum bagi setiap individu dari kalangan para pelaku syirik. Dan semua para ulama dalam kitab-kitab fiqh menyebutkan hukum orang murtad, sedangkan kemurtadan dan kekafiran yang paling mereka sebutkan pertama adalah syirik, mereka mengatakan : “Sesungguhnya siapa yang berbuat syirik maka dia kafir”, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil, dan “Siapa yang mengklaim Allah itu punya istri atau anak maka dia kafir”, dan mereka tidak kecualikan orang jahil, “Siapa yang menuduh ‘Aisyah berzina maka dia telah kafir”, Dan siapa yang memperolok-olok Allah atau para Rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya, maka telah kafir dengan ijma berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala : “Jangan kalian cari-cari alasan sungguh kalian telah kafir setelah iman kalian”. Dan mereka menyebutkan banyak hal yang diijmakan kekafiran pelakunya dan mereka tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, kemudian mereka mengatakan: “Siapa yang murtad dari Islam maka dia dibunuh setelah disuruh taubat (istitaabah)”, mereka telah menghukumi kemurtaddannya sebelum hukuman istitabah. Jadi istitaabah adalah setelah vonis kemurtadan, sedangkan istitaabah hanyalah pada orang mu’ayyan. Dan dalam bab ini mereka menyebutkan hukum orang yang mengingkari wajibnya salah satu dari ibadah yang lima, atau menghalalkan susuatu dari hal-hal yang diharamkan, seperti khamr, babi dan yang lainnya, atau meragukannya, maka dia kafir bila orang seperti dia tidak jahil akannya, dan mereka tidak mengatakan hal itu dalam syirik akbar dan yang lainnya yang mana sebagiannya telah kami sebutkan, bahkan mereka memutlakan kekafirannya dan tidak mengecualikannya dengan sebab kejahilan, dan mereka juga tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, serta sebagaimana yang telah kami sebutkan istitabah hanya terjadi pada orang mu’ayyan. Apakah boleh bagi orang muslim meragukan kekafiran orang yang mangatakan bahwa Allah memiliki istri atau anak atau berkata Jibril salah dalam menyampaikan risalah atau orang yang mengingkari hari kebangkitan setelah kematian atau mengingkari salah seorang Nabi…? Dan apakah orang muslim membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya dalam hal itu dan yang lainnya, sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan : “Siapa yang mengganti diennya, maka bunuhlah dia”. Sedangkan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya, sedangkan penggantian dien yang paling dahsyat adalah menyekutukan Allah dan ibadah kepada yang lainnya. [Ad Durar As Saniyyah : 10/401]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : Inti dien Islam dan kaidahnya ada dua :

Pertama :

- Perintah ibadah hanya kepada Allah tidak ada sekutu baginya

- Dorongan yang kuat akan hal itu

- Melakukan loyalitas di dalamnya

- Mengkafirkan orang yang meninggalkannya

Kedua :

- Penghati-hatian dalam syirik dalam ibadah kepada Allah

- Kecaman yang keras akan hal itu

- Melakukan permusuhan di dalamnya

- Dan mengakfirkan pelakunya. [Ashlu Dienil Islam, Majmu’ah At Tauhid : 28]

Kemudian beliau berkata tentang orang yang menyalahi inti dienul Islam itu: “Dan di antara mereka –yaitu yang paling bahaya– adalah orang yang mengamalkan tauhid namun tidak mengetahui kedudukannya, dia tidak membenci orang yang meninggalkannya dan tidak mengkafirkan mareka. [Ashlu Dienil Islam, Majmu’ah At Tauhid : 29]

Pensyarah, Abdurrahman Ibnu Hasan berkata : Ucapan beliau rahimahullah “yaitu yang paling berbahaya” karena dia tidak mengetahui kedudukan apa yang diamalkannya dan tidak mendatangkan apa yang meluruskan tauhidnya berupa syarat-syarat yang berat yang mesti dipenuhi, ini berdasarkan apa yang telah kamu ketahui bahwa Tauhid itu menuntut penafian syirik, bara darinya, memusuhi para pelakunya serta mengkafirkan mereka saat hujjah tegak atas mereka. [Majmu’ah At Tauhid : 31]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, bara darinya dan mengkafirkan pelakunya.” [Majmu’ah At Tauhid : 29]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata seraya mengakui dan menganggap bagus apa yang dilakukan oleh seorang Arab Badui yang awam : “Dan sungguh indah sekali apa yang dikatakan seorang Arab badui tatkala ia datang kepada kami dan telah mendengar sesuatu dari Islam (Tauhid) ini, ia berkata : “Saya bersaksi bahwa kami adalah orang –orang kafir –yaitu dia dan seluruh orang-orang badui– dan saya bersaksi bahwa Muthawwi (ustadz)[14] yang mengatakan bahwa kami adalah orang-orang Islam, dia adalah kafir.” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah : 23 dalam Majmu’ah At Tauhid]

Ketahuilah bahwa pernyataan yang mengharuskan penegakan hujjah sebelum mengkafirkan pelaku syirik adalah hanyalah syubhat yang tak berdalil sama sekali.

Sebelum akhir, saya memberikan hadiah bagi orang-orang yang kalah di hadapan para thaghut dan para pelaku syirik, yang mana mereka itu membedakan antara nau’ dan mu’ayyan dalam syirik akbar dan yang menuduh para muwahhidin yang mengkafirkan para thaghut dan para pelaku syirik dengan tuduhan-tuduhan yang keji dan nama-nama yang menjijikan. Saya hadiahkan :

Perkataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah dalam risalahnya kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy, si musuh Tauhid yang yang mengakui kebenaran tauhid yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad, namun dia membedakan nau’ dan mu’ayyan dalam syirik akbar dengan berlandaskan pada pemahaman yang salah akan perkataan Ibnu Taimiyyah : Dan kamu –wal ‘iyadzu billah– jatuh terpuruk setingkat demi setingkat, pertama kalinya (kamu jatuh) ke dalam keraguan, negeri syirik, loyalitas kepada mereka , shalat di belakang mereka, serta bara kamu dari kaum muslimin karena mudaahanah (basa-basi) terhadap mereka (musyirikin). [Ad Durar As Saniyyah : 10/64, Tarikh Nejed: 343]

Dan beliau mengatakan kepadanya : “Apakah ada seseorang semenjak zaman sahabat hingga zaman manshur yang mengatakan bahwa mereka itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyannya…?” [Ad Durar As Saniyyah : 10/69, Tarikh Nejed: 346]

Dan beliau berkata seraya mengingkari orang yang mengingkari pengkafiran orang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallaah bila melakukan syirik akbar atau kekafiran : “Dan tidak pernah mendengar seorangpun dari kalangan terdahulu dan orang-orang kemudian bahwa ada seorang yang mengingkari sesuatu dari hal itu atau mempermasalahkannya karena alasan para pelaku syirik itu masih mengaku Islam, atau karena alasan pengucapan Laa ilaaha illallaah, atau karena penampakan sesuatu dari rukun-rukun Islam, kecuali apa yang kami dengar dari orang-orang terlaknat itu pada masa sekarang padahal mereka mengakui bahwa ini syirik, namun orang yang melakukannya atau memperindahnya atau ia bersama para pelakunya (bergabung) atau mencela Tauhid atau memerangi para muwahhid karena alasan tauhidnya atau membenci mereka karenanya, bahwa dia itu tidak kafir karena mengucapkan Laa ilaaha illallaah atau karena dia melaksanakan rukun-rukun Islam yang lima…!! Pernyataan ini sama sekali tidak pernah didengar kecuali dari orang-orang kafir yang jahil lagi dzalim itu.” [Tarikh Nejd : 381, Mufid Al Mustafid]

Sebagian orang-orang jahil di masa sekarang mengatakan: “Buat apa mengkafirkan pelaku syirik, tidak ada urusan saya dengan mereka, bukan kewajiban kita, ini hak ulama…!” Kemudian mereka setelah itu mengingkari orang yang mengkafirkan pelaku syirik itu seraya mengatakan : “Awas jauhi orang sesat ini, dia mengkafir-kafirkan kaum muslimin…!!!” Subhanallah, apakah ‘Ubbadul Qubur itu muslim…???

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata : “Siapa yang kamu maksud dengan kaum muslimin yang kamu bela-bela agar tidak dikafirkan, bila mereka itu adalah Jahmiyyah dan ‘Ubbadul Qubur, maka sungguh mereka itu bukan orang-orang Islam yang wajib kamu bela-bela, justeru mereka itu adalah musuh-musuh Allah, Rasul-rasul-Nya, syariat-Nya, dan dien-Nya. [Kasyfu Asy Syubhatain : 64 ]

Beliau berkata juga : “Dan ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut Ahlus Sunnah dinamakan Al Ghaliyah (orang-orang yang ghuluw terhadap makhluk) karena keserupaannya dengan orang-orang Nashrani dalam hal ghuluw pada para Nabi, para wali dan shalihin. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan terhadap mereka dan kebencian terhadapnya, menghati-hatikan orang agar tidak duduk-duduk dengan mereka serta berupaya keras untuk menjauhkan (orang-orang) darinya, maka sungguh dia telah mengikuti jalan kaum mukminin, menapaki tuntunan para imam mujtahidin dan menyelisihi apa yang dijadikan pegangan oleh Khawarij dan Rafidlah, berupa mengkafirkan kaum muslimin. Maka siapa yang menjadikan pengkafiran mereka itu seperti mengkafirkan kaum muslimin, maka sungguh dia tergolong orang-orang yang telah membuat pengkaburan, dan orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, serta mencari jalan orang-orang yang bengkok. Kita berlindung kepada Allah dari dosa-dosa yang menutupi dan hati-hati yang terpuruk.” [Kasyfu Asy Syubhatain : 103]

Dan berkata juga : “Dan begitu juga ‘Ubbadul Qubur, sesungguhnya mereka itu bukanlah tergolong ahlul ahwa wal bida’, tapi mereka dinamakan oleh salaf sebagai Al Ghulah karena penyerupaan mereka terhadap orang-orang Nashrani dalam sikap ghuluw terhadap para Nabi dan orang-orang saleh.” [Kasyfu Asy Syubhatain : 40]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Dan adapun ‘Ubbadul Qubur, mereka itu menurut salaf dan ahli ilmu dinamakan Al Ghaliyah karena perbuatan mereka menyerupai ghuluwnya orang-orang Nashrani terhadap para nabi, orang-orang saleh, dan para ahli ibadah.” [Minhaj At Ta’sis : 101]

Dan beliau berkata juga : “Bila orang-orang jahil ‘Ubbadul Qubur berkata : Mana orang yang beribadah kepada selain Allah…?, maka dikatakan kepada mereka : “Kalianlah orangnya dan yang sebangsa dengan kalian…!” [Minhaj At Ta’sis : 71]

Dan berkata juga setelah menafsirkan ayat 112 surat Al Baqarah : “Ia adalah bantahan atas ‘Ubbadul Qubur dan Ash Shalihin yang istighasah kepada selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah dan ihsan dalam beramal itu tidak ada pada mereka serta mereka tidak mendapatkannya.” [Minhaj At Ta’sis : 70].

Dan tadi sudah dijelaskan bahwa para pengusung undang-undang buatan dan orang-orang yang loyal kepada thoghut murtad adalah termasukdalam jajaran ‘Ubbadul Qubuur.

Ketahuilah bahwa orang yang mengingkari orang yang mengkafirkan pelaku syirik atau melontarkan berbagai syubhat dalam rangka membela-belanya, maka dia itu haruslah dihajr.

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Bila kalian telah tahu akan hal itu, maka thaghut-thaghut yang dikultuskan orang-orang dari kalangan para penduduk Al Kharaj dan yang lainnya, mereka itu terkenal dikalangan khusus dan umum dengan sikap tersebut dan bahwa mereka itu memposisikan diri untuk itu dan memerintahkan orang-orang untuk (mengkultuskannya), semuanya adalah kuffar murtaddin dari Islam, siapa yang membela-bela mereka atau mengingkari kepada orang yang mengkafirkan mereka dan dia mengklaim bahwa perbuatan mereka ini meskipun bathil namun tidak mengeluarkan mereka kepada kekafiran, maka status menimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq yang tulisan dan kesaksiaannya tidak boleh diterima serta tidak boleh shalat bermakmum padanya, bahkan dienul Islam tidak sah kecuali dengan bara’ dari mereka dan mengkafirkannya”. [Ad Durar As Saniyyah : 10/52-53]

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman dan Syaikh Abdullah Ibnu Syaikh Abdullathif tatkala ditanya tentang orang yang tawaqquf dari mengkafirkan quburiyyun, mereka menjawab : “Tidak sah status keimanan orang yang tidak mengkafirkan Jahmiyyah dan Quburiyyun atau ragu dalam mengkafirkan mereka. Dan masalah ini adalah tergolong masalah-masalah yang paling jelas dilkalangan para penuntut ilmu dan ahlul atsar”. [Ad Durar As Saniyyah : 10/437]

Siapa orangnya yang menuduh kaum muwahhidin yang mengkafirkan para thaghut, kaum Quburiyyun, para pengusung undang-undang buatan serta para pembuat hukum di negeri ini dan negeri lainnya sebagai Khawarij, sungguh dia itu telah mencela semua para rasul dan tidak paham akan dien ini.

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar tergolong bab ini (aqidah khawarij), maka sungguh dia telah mencela para Rasul dan ulama umat ini, dia tidak bisa membedakan antara dien para Rasul dengan madzhab Khawarij dan sungguh dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan mengikuti selain jalan kaum mukmin. [Mishbah Adh Dhalam : 72]

Dan biasanya para pemegang fikrah Inhizaahmiyyah yang loyal kepada pemerintah-pemerintah murtad yang mengklaim bahwa mereka itu adalah orang-orang yang paling salafiy, mereka itu menjadikan para muwahhid sebagai musuh sedangkan para thaghut dan kaum musyrikin sebagai sahabat, mereka persilahkan orang-orang kafir itu untuk hadir dalam acara-acara mereka.

Syaikh Muhammad rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang-orang yang keberatan dengan masalah takfir, bila engkau amati mereka ternyata para muwahhid adalah musuh-musuh mereka yang mereka benci dan dongkol dengannya, sedangkan orang-orang musyrik dan munafiq adalah sahabat mereka yang mana mereka merasa dekat dengannya. Tapi ini telah terjadi pada orang-orang yang ada didekat kami di Dar’iyyah dan Uyainah yang (akhirnya) murtad dan benci akan dien (ini). [Ad Durar As Saniyyah : 10/91]

Bila mereka jahil atau ragu tentang kafirnya ‘Ubbadul Qubur dan ‘Ubbadul Dustur, maka dijelaskan kepada mereka dalil-dalil tentang kekafirannya, bila masih ragu atau bimbang setelah itu maka mereka kafir.

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik itu, beliau menjawab : “Bila dia ragu akan kekafiran mereka atau tidak tahu akan kekafirannya maka dijelaskan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang menunjukan kekafiran mereka, kemudian bila dia ragu setelah itu atau bimbang maka sesungguhnya dia adalah kafir dengan ijma para ulama bahwa orang yang ragu akan kekafiran orang kafir adalah kafir. [Autsaqu ‘Ural Iman : 96 dalam Majmu’ah At Tauhid]

Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membela-bela kaum Quburiyyun dan Dusturiyyun, keadaannya tidak lepas dari tiga keadaan, silahkan kalian pilih salah satunya bagi diri kalian. Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam rincian tiga keadaaan tentang orang-orang yang membela Jahmiyyah, Ibadliyyah dan kaum murtaddin dari kalangan ‘Ubbadul Qubur:

  1. Bisa jadi mereka telah kalian dakwahi dengan hikmah dan mauidhah hasanah (pengajaran yang baik) serta kalian mendebat mereka dengan dalil-dalil yang bisa diakui dan diterima oleh setiap orang, terus mereka itu menerima apa yang kalian ajak kepadanya berupa petunjuk dan dien yang haq, dan mereka rujuk dari kesesatannya serta taubat, kembali dan komitmen dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bila keadaannya seperti ini maka berarti orang yang memusuhi mereka dan yang protes kepada kalian dan kepada mereka adalah salah, dzalim lagi aniaya.
  2. Dan bisa jadi mereka tidak menerima ajakan kalian berupa petunjuk, dienul haq dan jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan justeru mereka ngotot, membangkang, keras kepala, dan melawan Allah layaknya unta yang melawan pemiliknya, maka berarti hujjah telah tegak atas mereka. Bila demikian maka tak ada larangan dari mengkafirkan mereka, menampakan permusuhan kepada mereka, bara’ darinya, memusuhinya, mentahdzirnya, menjauhinya dan memutus hubungan dengan mereka karena hujjah telah sampai dan tegak atas mereka.
  3. Dan bisa jadi kalian itu tidak mendakwahinya dan tidak menasehatinya, maka berarti kalian tergolong pendukung dan kroni-kroni mereka serta para pembela-bela mereka sebelum mendakwahi mereka kepada dienullah dengan hikmah, mau’idhah hasanah dan penegakan hujjah atas mereka.

“Inilah kalian yang membela-bela mereka di dunia ini, maka siapa yang bisa membela-bela mereka dari (adzab) Allah di hari kiamat, atau siapa orangnya yang bisa melindungi mereka…?”

Kalian jadikan diri kalian sebagai tameng mereka di mana kalian menulis tulisan untuk membantah orang yang memusuhi mereka, berusaha mengalahkan mereka, membenci mereka dan menyebarkan keburukan, kebusukan serta kesesatan mereka.

Apakah kalian tidak takut suatu hari yang mana kalian di hari itu dikembalikan kepada Allah…??! [Kasyfu Asy Syubhatain : 55-56]

Syaikh Abdullah Ibnu ‘Abdillathif rahimahullah berkata tatkala ditanya tentang Turki Utsmaniy : “Orang yang tidak tahu kafirnya negara ini dan tidak bisa membedakan antara mereka dengan para pemberontak dari kalangan kaum muslimin, maka dia tidak mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Kemudian bila di samping itu dia menyakini bahwa (pemerintah) negara itu adalah orang-orang islam, maka ia lebih dahsyat dan lebih bahaya, dan ini adalah keraguan terhadap kekafiran orang yang kafir kepada Allah dan menyekutukan-Nya, sedangkan orang yang mendatangkan mereka dan membantunya untuk menyerang kaum muslimin dengan macam bantuan apa saja maka ini adalah kemurtaddan yang jelas. [Ad Durar As Saniyyah : 10/429]

Sebagian imam-imam dakwah ini berkata: “Di antara sikap yang mengharuskan pelakunya dikafirkan adalah sikap tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu prihal kekafiran mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk penggugur dan pembatal keIslaman. Maka siapa yang memiliki sifat ini berarti dia telah kafir, halal darah dan hartanya, serta wajib diperangi sampai mau mengkafirkan para pelaku syirik. Dan dalil atas hal itu adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya.” Beliau menggantungkan keterjagaan harta dan darah atas dua hal. Hal pertama, pengucapan Laa ilaaha illallaah. Dan kedua, kufur kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah.

Sehingga tidak terjaga darah dan harta seorang hamba sehingga dia mendatangkan dua hal ini. Pertama : Ucapannya Laa Ilaaha Illallaah, dan yang dimaksud adalah maknanya bukan sekedar lafadhnya, sedangkan maknanya adalah mentauhidkan Allah dengan semua macam ibadah. Hal Kedua : Kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, sedangkan yang dimaksud adalah mengkafirkan para pelaku Syirik dan bara’ dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati bersama Allah

Maka siapa yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik dari kalangan negara Turki dan ‘Ubbadul Qubur seperti penduduk Makkah dan yang lainnya yang beribadah kepada orang-orang shaleh, dia berpaling dari Tauhidullah kepada syirik dan dia merubah Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan bid’ah, maka dia kafir seperti mereka meskipun membenci ajaran mereka, tidak menyukai mereka dan mencintai Islam dan kaum muslimin, karena orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik adalah tidak membenarkan Al Qur’an, sebab Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhinya dan memeranginya. [Ad Durar As Saniyyah : 9/291]

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad,keluarga dan para sahabat. Wal hamdu lillaahi Rabbil ‘Alamin.

-------------------------------------------

[14] Di mana si ustadz dan masyarakatnya mengaku muslim namun melakukan kemusyrikan.

Pasal 7: Risalah Fii Makna Ath Thoghut (Al Urwah Al Wutsqa)

Pasal 7: Risalah Fii Makna Ath Thoghut

Ketahuilah bahwa orang itu tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman kepada Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“…Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)

Ar Rusydu adalah agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan Al Ghayy[13] adalah agama Abu Jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqa adalah kesaksian Laa ilaaha illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan penetapan. Penafian semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagiNya.

Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :

  1. 1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
    1. 2. Engkau meninggalkannya,
    2. 3. Engkau membencinya,
    3. 4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
    4. 5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)

Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :

  1. I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.

Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firmanNya Ta’ala :

“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (Al Mukmin : 60)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda : “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah diantara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.

Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman :

“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (Al An’am : 162-163)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”(HR Muslim). Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.

Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu :

“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka : “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (Al An’am : 136)

Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.

Wewenang ( menentukan / membuat ) hukum/ undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Ta’ala berfirman :

“(Hak) menentukan hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf : 40)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firmanNya :

“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (Al An’am : 121)

Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya (agar berkata) :, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” Hadits ini diriwayatkan Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih.

Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, atau agar setuju dengan penyandaran kewenangan pembuatan hukum walaupun satu hukum saja kepada selain Allah, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman :

“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan alim ulama dan para Rahib (ahli ibadah) mereka sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)

Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut :

- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib

- Mereka telah beribadah kepada selain Allah

- Mereka telah musyrik.

- Mereka telah melanggar laa ilaaha illallaah.

- Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut telah Allah vonis sebagai orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai Arbaab.

Dalam atsar yang diriwayatkan At Tirmidzi yang dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radliyallaahu ‘anhu dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat itu di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah ibadah kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka itu”

Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada selain Allah, yaitu kepada ahli ilmu dan para rahib. Sedangkan pada masa sekarang, banyak orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang pembuatan hukum/undang-undang kepada selain Allah, yaitu rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik akbar, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut sehingga dia itu belum muslim.

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas :

“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil” (Luqman : 30)

juga firmanNya Ta’ala :

Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil” (Al Hajj : 62)

Allah adalah Tuhan yang haq, peribadatan kepada-Nya adalah haq, penyandaran kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada-Nya adalah haq, hukum/undang-undang Allah adalah haq dan mengikuti hukum/undang-undang yang Allah turunkan adalah haq. Sedangkan sembahan dan para pembuat hukum selain Allah adalah bathil, peribadatan kepada selain Allah adalah bathil, penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah adalah bathil, hukum dan undang-undang selain yang Allah turunkan adalah bathil, serta mengikuti hukum dan undang-undang tersebut adalah kebathilan.

  1. II. Engkau meninggalkannya

Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Mashlahat Dakwah’ lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’

Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Ini berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan IJma para ulama.

Adapun Al Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Sesungguhnya mereka dahulu bila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallaah ilaaha illallaah, mereka menyombongkan diri (tidak mau menerima), dan mereka berkata:”Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan tuhan-tuhan kami karena seorang penyair gila?” (Ash Shaaffaat:35-36).

Di dalam ayat ini orang-orang kafir arab paham bahwa konsekuensi mereka bila mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah harus meninggalkan segala bentuk kemusyrikan, sedangkan mereka merasa keberatan dengannya maka mereka menolak untuk mengucapkannya.

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (Az Zukhruf : 26-27)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik akbar, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, & Minhajut Ta’sis : 61).

Ketika Abu Thalib mau meninggal dunia, di mana dia itu mengakui kebenaran dakwah Rasul dan bahkan ikut melindungi Rasulullah, Rasulullah dating sedang di sisi Abu Thalib sudah ada abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah. Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah ilaaha illallaah, suatu kalimat yang akan saya jadikan hujjah untuk membelamu di sisi Allah!” Maka keduanya (Abu Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah) berkata kepadanya:”Apakah kamu (Abu Thalib) tidak suka ajaran Abdul Muthallib? Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengulanginya dan mereka berduapun mengulangi ucapannya. Maka akhir ucapan Abu Thalib adalah bahwa ia di atas ajaran Abdul Muthallib dan enggan menucapkan laa ilaaha illallaah.”(HR Al Bukhari dan Muslim).

Di sini mereka paham bahwa konsekuensi pengucapan laa ilaaha illallaah aadalah meninggalkan segala kemusyrikan.

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545).

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid : “Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama”.

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata : “Para ‘ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadurrasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).

Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.

Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata : “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik ataupun buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya” (syarh Ashli Dienil Islam, AqidatulMuwahhidin:209)

Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.

  1. III. Engkau Membencinya

Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam :

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati…” (Az Zukhruf : 26)

Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”(HR Ahmad dari Al Bara Ibnu ‘Azib).

Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh : Orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman :

“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (An Nisa : 140)

Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut walaupun dia mengaku benci dengan hatinya.

Seandainya kalau tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan : “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.

Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah yang berjumlah 170 orang saat salah seorang di antara mereka mengatakan pembenaran kenabian Musailamah dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya atau tidak pergi darinya. (Riwayat para penyusun As Sunan / Ashhabus Sunan)

Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.

  1. IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.

Kita harus mengkafirkan para pelaku syirik akbar karena 2 hal:

Pertama: Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya :

“Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan) : “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan diantara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar : 3)

Dan firmanNya Ta’ala :

“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” ( Al Mukminun : 117)

Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa di dalam vonis-Nya.

Kedua: Karena Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, diantaranya adalah firmanNya :

“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (Az Zumar : 8)

Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah(HR. Muslim)

Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam,Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”, maksud kalimat tersebut adalah : Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati (Ad Durar As Saniyyah: 9/291).

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.

Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata:” Tidak seorangpun dari ahli kiblat ini boleh dikeluarkan dari Islam, sehingga dia menolak stu ayat dari Al Qu’an atau sesuatu dari atsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau shalat (beribadah) kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain-Nya, dan barangsiapa melakukan sesuatu dari hal itu maka telah wajib atas kamu untuk mengeluarkan dia dari Islam.” (Syarhus Sunnah no:49)

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam, Majmu’atut Tauhid:24)

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam – Majmu’ah Tauhid:29)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhallam : 28).

Beliau berkata lagi : [“Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan RasulNya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam :29)]

Para imam dakwah Nejd berkata : “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Mereka juga mengatakan : “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik adalah dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)

Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ‘ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murji-ah. Orang yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah para rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata : “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan (ulama) umat ini, dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum mu’minin” (Mishbahuzh Zhallam : 72)

Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah kepada orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku syirik secara ta’yin itu maka dia kafir juga, karena mendustakan vonis Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, akbar pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik itu dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Banyak orang yang tidak mengkafirkan para penguasa murtad, dan pada akhirnya mereka tawalli kepada para penguasa kafir murtad itu.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “ Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa : ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah : 10/53)

Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah : [“Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir (pelaku syirik akbar), bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah : 10/92)]

  1. V. Engkau Memusuhi Mereka

Kita harus memusuhi orang-orang kafir karena 2 alasan:

Pertama: Karena Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah mencap orang-orang kafir itu sebagai musuh, sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:

Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (An Nisa:101).

Kedua: Karena Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhi mereka, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (Fathir:6).

Sedangkan syaithan itu ada dua, syaithan manusia (yaitu orang kafir) dan syaithan jin (yaitu jin kafir), sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:

“Dan demikianlah, Kami telah jadikan musuh bagi setiap nabi itu, yaitu syathan-syaithan manusia dan (syaithan-syaithan) jin.”(Al An’am:112).

Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para nabi yang bersamanya :

“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah : 4)

dan firmanNya Ta’ala :

“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (Al Mujaadilah : 22)

Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan : [Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…..”] (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid : 21)

Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (Al Maidah : 51)

Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman :

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (At Taubah : 5)

KE DUA : Iman Kepada Allah

Adapun makna iman kepada Allah adalah :

  1. I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi
  2. II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah
  3. III. Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah
  4. IV. Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid
  5. V. Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

  1. I. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati

Orang yang membolehkan tumbal, sesajen, permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta memegang sistem demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum adat. Orang yang meyakini bahwa ada yang berhak membuat hukum dan undang-undang selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa maka dia itu meyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak diibadati dengan ketaatan, sehingga dia itu tidak dikatakan telah beriman kepada Allah walaupun dia itu mengaku telah beriman kepada-Nya.

Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah Ta’ala berfirman :

“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas : 1)

Dan firmanNya Ta’ala :

“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (An Nahl : 51).

Dan Dia Ta’ala berfirman:

Hak menetapkan hukum itu hanyalah di Tangan Allah.”(Yusuf:40).

Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudah mati yang mereka ajukan permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung demokrasi dan para penyembah undang-undang adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai C dan seterusnya, di mana para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.

  1. II. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan memerintahkan ibadah kepadaNya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya orang hanya ibadah kepadaNya, dan tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firmanNya :

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh Dien (ketundukan) hanya kepadaNya” (Al Bayyinah : 5)

juga firmanNya Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang sangat kokoh (tauhid/Islam)” (Luqman : 22)

Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia Ta’ala berfirman :

“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan) maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka itu tidaklah bersedih” (Al Baqarah : 112)

Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata : “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubbadul qubur yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selainNya, karena penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak ada pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis:70)

‘Ubbadul qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb, tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali atau orang-orang yang beribadah kepada tuhan yang lain di samping mereka beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jadi ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.

Syaikh Ali Al Khudlair di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa di antara golongan yang termasuk ‘ubbadul qubur adalah : Para penyembah penguasa (thaghut), para penganut ideologi-ideologi dan falsafah-falsafah (kafir), para penyembah negara-negara kafir, para budaknya, para penganut sistim-sistim kafir, para hamba hukum dan perundang-undangan buatan, serta yang lainnya.(Kitab Ath Thabaqat:3).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hak Allah atas hamba-hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun denganNya” (HR Al Bukhari dan MUslim dari Mu’adz Ibnu Jabal)

Orang yang berbuat syirik, berarti dia telah melanggar hak Allah. Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni kubur atau membuat hukum dan undang-undang atau menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah atau mengkomitmeni undang-undang buatan atau membelanya, maka mereka itu dianggap tidak beriman kepada Allah (dia bukan muslim).

Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : [Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka, memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah : 11/545)]

Perkataan seseorang : ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata : [Iman itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah apa yang terpatri di dalam hati dan dibenarkan dengan amalan]

  1. III. Menafikan ibadah itu dari selain Allah

Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir :

“Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (Al Kaafirun : 2).

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: Ulama telah ijma bahwa barangsiapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, walaupun dia itu mengucapkan laa ilaaha illallaah, dan walaupun dia itu shalat, shaum serta mengaku muslim. (Ibthalut Tandid:76).

  1. IV. Engkau Mencintai Dan Loyal (Wala) Kepada Orang Yang Bertauhid

Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Al Hujurat : 10)

dan firmanNya dalam ayat yang lain :

“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (At Taubah : 71)

Oleh sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala (loyalitas) terhadap kaum muslimin.

  1. V. Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka

Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semua-Nya yang harus kita ikuti :

“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Al Mumtahanah : 4)

Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.

Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau tidak memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Dan tidak selamat dari jeratan syirik akbar ini kecuali orang yang memurnikan tauhid kepada Allah dan memusuhi kaum musyrikin karena Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci mereka. (Dari Mufudul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed:371)

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : [Sesungguhnya keislaman itu tidak sah kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik akbar, dan bila dia tidak memusuhi mereka maka dia itu termasuk bagian dari mereka walaupun dia tidak melakukan syirik itu] (Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, lihat Tarikh Nejed:372).

-------------------------------------------

[13] Rusydu adalah jalan kebenaran, sedangkan Al Ghayy adalah jalan kesesatan