Senin, 27 Februari 2012

Pasal 1: Hakekat Dienul Islam (Al Urwah Al Wutsqa)

Pasal 1: Hakekat Dienul Islam

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 112)

Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh…” (Q.S. Luqman [31] : 22)

Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“…Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus….” (Q.S. Al Baqarah [2] : 256)

Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60] : 4)

Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…” (Q.S. An Nahl [16] : 36)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (Q.S. Ali Imran [3] : 19)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Q.S. Ali Imran [3] : 85)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Hak menetapkan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang lurus…” (Q.S. Yusuf [12] : 40)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“…Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja…”(Q.S. Yusuf [12] : 76)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al An’am [6] : 121)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi akan Laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan mereka menunaikan zakat. Terus bila mereka melakukan hal itu maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dari (tindakan) aku kecuali dengan hak Al Islam.” (Al Bukhari dan Muslim)

Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan dia kufur kepada apa yang diibadahi selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah.” (HR. Muslim)

Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga kelompok dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik, dan hingga jumlah besar dari umatku beribadah kepada berhala-berhala.” (HR Al Barqany dalam shahihnya)

Dan dalam riwayat dari Abu Dawud : “Hingga kabilah-kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik.”

Rasullullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang di ibadati.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti beliau dalam apa yang dibawanya, jika seorang hamba tidak mendatangkan hal ini maka dia bukan muslim. Bila dia bukan kafir mu’anid maka dia kafir jahil. Status thabaqah (orang-orang macam) ini adalah mereka itu orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid (membangkang) dan ketidakmembangkangan mereka itu tidaklah mengeluarkan mereka dari statusnya sebagai orang-orang kafir.” [Thariqul Hijratain Wa Babus Sa’adatain : 452]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Islam adalah Istislaam (berserah diri) kepada Allah tidak kepada yang lain-Nya, dia beribadah kepada Allah tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dia tawakkal hanya kepada-Nya, mengharap-Nya, dan takut kepada-Nya saja, dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna yang mana dia tidak mencintai makhluk-mahkluk seperti kecintaan dia kepada Allah… siapa yang menolak beribadah kepada Allah maka dia bukan muslim, dan siapa yang beribadah kepada yang lainnya di samping dia beribadah kepada Allah maka dia bukan muslim.” [Kitab An Nubuwwat : 127]

Dan beliau rahimahullah berkata juga sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah: Dalam Islam itu harus istislaam (berserah diri) kepada Allah saja dan meninggalkan istislaam kepada selain-Nya. Dan ini adalah hakikat ucapan Laa ilaaha illallah. Siapa yang istislaam kepada Allah dan kepada yang lain, maka dia itu musyrik sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan siapa yang tidak istislaam kepada Allah maka dia itu mustakbir (orang yang menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman : “Sesungguhnya orang yang istikbar dari ibadah kepadaku maka mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina” [Al Qaul Al Fashl An Nafis : 160]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Para ulama telah ijma, salaf maupun khalaf dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam dan seluruh ahlus sunnah bahwa seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengan mengosongkan diri dari Syirik Akbar, bara’ (berlepas diri) darinya dan dari para pelakunya, membencinya, memusuhinya sesuai kemampuan dan kekuatan, serta memurnikan amalan-amalan seluruhnya kepada Allah.” [Ad Durar As Saniyyah 11/545]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Islam adalah komitmen (iltizaam) terhadap tauhid, berlepas diri dari syrik, bersaksi akan kerasulan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam dan mendatangkan rukun Islam yang empat.” [Mishbah Adh Dhalam : 328]

Al Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Dan seluruh tokoh-tokoh Islam menggatakan : “Setiap orang yang menyakini dengan hatinya dengan keyakinan yang tidak mengandung keraguan di dalamnya dan dia menyatakan dengan lisannya Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah dan bahwa semua yang beliau bawa itu benar serta dia berlepas diri dari setiap dien selain dien Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam maka sesungguhnya dia itu muslim mukmin, tidak ada atas dia selain hal itu.” [Al Fashl 4/35]

Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang awam yang tidak mengetahui dalil-dalil, bila dia meyakini keEsaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dia beriman akan kebangkitan setelah mati, (iman) kepada surga dan neraka, dan (meyakini) bahwa hal-hal syirik yang dilakukan di Masyaahid (kuburan-kuburan yang dikeramatkan) itu adalah bathil dan sesat, bila dia meyakini hal itu dengan keyakinan yang pasti lagi tidak ada keraguan di dalamnya, maka dia itu muslim meskipun tidak mengutarakan dengan dalil.” [Ad Durar As Saniyyah 10/409]

Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, engkau membencinya, engkau mengkafirkan para pelakunya dan engkau memusuhi mereka.“ [Al Jami’ Al Farid : 308]

Seluruh macam ibadah harus ditujukan kepada Allah saja. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. Al An’am [6] : 162-163)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memvonis kafir orang yang memalingkan salah satu macam ibadah kepada selain-Nya. Dia ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada bakal beruntung.” (Q.S. Al Mukminun [23] :117)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

“…Dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; Sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (Q.S. Az Zumar [39] : 8)

Taat dalam tasyri’ yaitu dalam penghalalan dan pengharaman atau penyandaran wewenang pembuatan hukum dan undang-undang adalah termasuk ibadah. Maka siapa memalingkannya kepada selain Allah maka dia musyrik, siapa saja orangnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. At Taubah [9] : 31)

Bentuk ketuhanan macam apa yang mereka klaim dan bentuk peribadatan macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani kepada alim ulama dan para pendetanya ? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu di dalam hadits hasan dari ‘Adiy ibnu Hatim, ia datang ─saat masih Nashrani─ berkata : “Kami tidak pernah mengibadati mereka”. Di sini ‘Adiy ibnu Hatim dan orang-orang Nashrani merasa tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta, karena mereka tidak pernah sujud dan shalat kepadanya, dan mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan peribadatan dan pentuhanan alim ulama dan pendeta itu, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu seraya berkata : “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya ?”, maka ‘Adiy berkkata : “Ya, benar”, maka Rasulullah berkata lagi : “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka”. (At Tirmidzi, hadits hasan) Yaitu : bukankah mereka membuat hukum dan kalian mematuhi atau menyetujui dan menjadikan hukum mereka sebagai acuan ?, dan ‘Adiy mengiakannya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dan begitu juga Al Bukhturi berkata : “Sesungguhnya mereka (orang-orang Nashrani) tidaklah shalat kepada mereka (ulama dan para rahib), dan seandainya mereka itu memerintahkannya untuk menyembah mereka tentu mereka tidak bakal mentaatinya, akan tetapi mereka itu memerintahkannya, terus mereka menjadikan apa yang Allah halalkan sebagai keharaman dan yang haram mereka jadikan halal, kemudian mereka itu mentaatinya, sehinggah itulah bentuk rubbubiyah (ketuhanan) tersebut.” [Majmu Al Fatawa 7/67-68]

Al ‘Alamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam rangka menjelaskan ayat 121 surat Al An’am : “Ia adalah fatwa dari langit (samawiyyah) dari Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala yang mana di dalamnya Dia menegaskan bahwa orang yang mengikuti hukum syaitan yang menyelisihi hukum Ar Rahman adalah orang musyrik terhadap Allah.”

Dan beliau rahimahullah berkata juga : “Maka Rabb langit dan bumi langsung menangani fatwa dengan Dzat-Nya sendiri, kemudian dia menurunkannya berupa Al-Qur’an yang selalu dibaca dalam surat Al An’am seraya dengannya Dia memberitahu makhluk-Nya bahwa setiap orang yang mengikuti aturan, hukum dan undang-undang yang menyelisihi apa yang telah Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia itu musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan apa yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan).”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (Q.S. Yusuf [12] : 40)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat ini menjelaskan bahwa hukum itu termasuk hak-hak khusus uluhiyyah dan bahwa hukum itu adalah dien. Maka siapa yang mengikuti hukum selain Allah maka dia itu telah mengikuti dien selain Islam, sedangkan siapa yang mencari selain Islam sebagai dien, maka tidak akan diterima hal itu darinya dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang rugi. Dan siapa yang ridla dengan selain hukum Allah berarti dia telah rela dengan kekafiran sebagai diennya. Siapa yang memalingkan hukum (hak membuat hukum) kepada selain Allah maka dia musyrik. Maka diketahuilah bahwa demokrasi itu adalah Syirik dan para pendukungnya adalah antara orang-orang musyrik dan para arbab musyarri’un (tuhan-tuhan pembuat hukum).

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Bila amalan-amalanmu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila di antara amalan itu ada penyekutuan untuk makhluk maka kamu adalah musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah: 1/160]

Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata : “Siapa yang memalingkan sebagian dari (ibadah-ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasiq dan sama saja tujuannya itu baik ataupun buruk.” [Ad Durar As Saniyyah : 9/270]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang yang melakukan Syirik itu telah meninggalkan tauhid, karena sesungguhnya keduanya (syirik dan tauhid) itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, sehingga kapan saja syirik itu ada maka tauhid hilang.” [Syarah Ashli Dien Al Islam dalam Al-Jami Al Farid : 380]

Beliau berkata juga : “Siapa yang memalingkan sebagiannya kepada selain Allah maka dia musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/161, cetakan pertama]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Islam dan Syirik adalah dua hal yang berseberangan yang tidak bisa bersatu kedua-duanya dan tidak bisa hilang kedua-duanya.” [Minhaj At Ta’sis : 12]

Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya melafalkan syahadat dengan tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya tidaklah orang mukallaf itu dengannya menjadi seorang muslim, bahkan justru pelafalan itu menjadi hujjah atas anak Adam, dan siapa bersaksi akan Laa ilaaha illallah dan dia beribadah kepada yang lain di samping dia beribadah kepada Allah maka kesaksiannya itu tidak berarti baginya meskipun dia shalat, zakat, shaum dan melakukan hal-hal dari amalan Islam.” [Ad Durar 1/522-523]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang muslim itu tidak meminta kepada selain Allah selama-lamanya, karena sesungguhnya orang yang memohon dan meminta kebutuhannya kepada mayit atau yang gaib sungguh dia itu telah meninggalkan Islam, sebab syirik itu menafikan Islam, merobohkannya, dan mengurainya satu ikatan demi satu ikatan, berdasarkan yang telah lalu bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati , lisan dan anggota badan kepada Allah saja tidak kepada selain-Nya. Orang muslim itu bukanlah orang yang taqlid kepada nenek moyang dan guru-gurunya yang bodoh serta berjalan di belakang mereka tanpa ada petunjuk dan bashirah.” [Al Qaul Al Fashl An Nafis : 31]

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah berkata : “Siapa yang mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui maknanya lagi mengamalkan tuntutannya berupa penafian Syirik, penetapan Wahdaniyyah (Keesaan) bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan makna yang dikandungnya dan mengamalkannya maka dia itu muslim sebenarnya. Bila dia mengamalkan secara dhahir saja tanpa disertai keyakinan maka dia itu kafir meskipun dia mengucapkannya.” [Taisir Al ‘Aziz Al Hamid : 58]

Beliau berkata juga : “Sesungguhnya pengucapan kalimat itu tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya, berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan Syirik dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya hal itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.” [Taisir Al ‘Aziz Al Hamid,Lihat Al Haqaaiq]

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : Dan adapun perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadist shahih : “Dan dia kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah”, ini adalah syarat yang agung yang mana pengucapan Laa ilaaha illallah tidak sah tanpa keberadaannya. Dan bila ini tidak ada maka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah ini tidak terjaga darah dan hartanya, karena ini adalah makna Laa ilaaha illallah, sehingga pengucapan ini tidak bermanfaat tanpa menghadirkan makna yang ditunjukan olehnya, berupa penanggalan syirik dan pelepasan diri darinya dan dari pelakunya. Bila dia mengingkari peribadatan segala sesuatu yang diibadati selain Allah, berlepas diri darinya dan dia memusuhi orang yang melakukan hal itu, maka dia menjadi muslim yang terjaga darah dan hartanya.” [Ad Durar As Saniyyah : 2/156, cetakan lama]

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata : “Para ulama telah ijma bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua macam doa[1] kepada selain Allah, maka dia itu musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha illallah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim.” [Ibthal At Tandid : 76]

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata : “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, menjadikan tandingan bagi Rabbnya dan menyamakan antara-Nya dengan yang lainnya dalam hak khusus-Nya, maka pantas dikatakan atasnya bahwa dia itu musyrik yang sesat bukan muslim, meskipun dia itu memakmurkan masjid dan mengumandangkan seruan adzan, karena dia itu tidak komitmen dengannya. Sedangkan sumbangan harta dan berlomba-lomba atas amalan yang nampak bila disertai dengan meninggalkan hakikatnya (yaitu tauhid) maka hal itu tidaklah menunjukan akan Islam.” [Mishbah Adh Dhalam : 17]

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Seandainya kita menyebut satu persatu orang-orang yang telah dikafirkan oleh para ulama padahal mereka itu mengaku Islam dan para ulama telah menfatwakan kemurtaddan dan vonis bunuh baginya, tentulah pembicaraan menjadi panjang, akan tetapi di antara kisah yang terakhir adalah kisah Bani Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka itu mengaku sebagai ahlu bait, mereka shalat jama’ah dan Jum’at, mereka telah mengangkat para qadhi dan mufti, namun para ulama ijma terhadap kekafiran mereka, kemurtaddannya dan (keharusan) memeranginya, serta negeri mereka adalah negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci kepada mereka.” [Tarikh Nejed : 346]

Syaikh Abdullatif rahimahullah berkata tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Ya, siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (berbuat kebajikan), maka baginya pahala disisi Rabbnya, dan tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati…”, Ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap ‘Ubbaadul Qubuur (para penyembah kuburan)[2] dan penyembah orang-orang shaleh yang beristiqhatsah kepada selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah dan ihsan dalam beramal itu telah hilang dari mereka dan tidak mereka dapatkan.” [Minhaj At Ta’sis : 70]

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, wahai saudara-saudaraku pegang teguhlah pokok dien kalian, yang pertama dan paling akhir, pangkalnya dan kepalanya, yaitu kesaksian atas Laa ilaaha illallah, kenalilah maknanya, cintailah orang-orang yang merealisasikannya dan jadikanlah mereka itu sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka itu jauh. Kafirlah kalian kepada para Thaghut, musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka atau yang mendebat dalam membela-bela mereka atau orang yang tidak mau mengkafirkan mereka atau orang yang berkata : “Tak ada urusan saya dengan mereka.” Sungguh telah dusta orang ini atas nama Allah dan mengada-adakan, justeru Allah telah membebani dia untuk (mengomentari negatif) mereka dan memfardhukan atasnya untuk kufur terhadap mereka dan berlepas diri dari mereka meskipun mereka itu saudara-saudaranya atau anak-anaknya.” [Hadiyyah Thayyibah dalam Majmu’ah At Tauhid:86]

---------------------------------------

[1] Doa ada dua, doa permintaan seperti isti’aanah, stighatsah dan isti’aadzah, dan doa ibadah seperti shalat, shaum, penyandaran wewenang hukum dan yang lainnya.

[2] Termasuk dalam jajaran ‘Ubbaadul Qubuur adalah semua orang-orang musyrik dari kalangan penyembah undang-undang buatan dan para penyembah pemerintah kafir. (Lihat Kitab Ath Thabaqat, Syaikh Ali Al Khudlair: 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar